BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengelolaan kekayaan negara (aset) merupakan salah satu
representasi fungsi Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN).
Pengelolaan kekayaan negara sebagai suatu fungsi pada Kementerian Keuangan,
berkembang secara signifikan setelah fungsinya dilaksanakan secara full dedicated dalam unit setingkat
eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), pada tahun 2006.
Dan secara fungsi, bentuk mature-nya
telah terakomodasi dalam pasal 28, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015,
dimana ruang lingkup kekayaan negara yang dikelola meliputi barang milik Negara
(BMN), kekayaan negara dipisahkan (KND), dan kekayaan negara lain-lain (KNL).
Selain melaksanakan fungsi kekayaan negara, DJKN juga melaksanakan fungsi
penilaian, pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun
2015 s/d 2019, dari sisi nilai, potensi aset yang dimiliki oleh pemerintah
sangat besar. Hal ini salah satunya terlihat dari nilai barang milik negara
(BMN) berupa aset tetap yang mengalami peningkatan secara signifikan, dari
nilai BMN per 31 Desember 2005 sebesar Rp237,78 triliun, pada tahun 2014 telah
mencapai Rp1.796,73 triliun (Semester I LKPP 2014). Kemudian untuk kekayaan
negara lain-lain tercatat sebesar Rp 191,38 triliun. Selain itu, kekayaan
negara yang berupa investasi pemerintah (kekayaan negara dipisahkan) juga
memiliki nilai yang tidak kalah potensial. Berdasarkan Rencana Strategis
Kementerian Keuangan Tahun 2015 s.d. 2019, nilai inventasi pemerintah s.d.
tahun 2013 tercatat sebesar Rp1.218 triliun atau kurang lebih 34,15% dari
total aset yang tersaji pada LKPP. Sampai dengan tahun 2016, nilai ini terus
meningkat.
Pertumbuhan nilai aset yang cukup signifikan, terutama untuk
nilai BMN berupa aset tetap, merupakan hasil dari pelaksanaan inventarisasi dan
penilaian atas seluruh aset Kementerian/Lembaga yang dilaksanakan pada tahun
2007 s.d. 2012. Pelaksanaan inventarisasi dan penilaian merupakan bagian dari
perbaikan tata kelola aset, yang juga terbukti mampu mendongkrak opini BPK atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dari opini Tidak Menyatakan Pendapat
(TMP)/disclaimer menjadi Wajar Dengan
Pengecualian pada tahun 2009.
Salah satu penyebab opini disclaimer atas LKPP sebelum tahun 2009 (2004 s.d. 2008) adalah
terkait dengan penyajian data aset pada neraca yang belum dapat diyakini
kewajarannya. Oleh karena itu, mulai tahun 2007, Kementerian Keuangan (dhi.
DJKN) menggulirkan program 3 T, yaitu Tertib Administrasi, Tertib Fisik, dan
Tertib Hukum, dimana salah satu kegiatan prioritasnya adalah pelaksanaan
inventarisasi dan penilaian. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
akuntabilitas pengelolaan aset dari sisi administrasi dan fisik, sekaligus
memperbaiki penyajian nilai aset pada LKPP.
Sampai dengan saat ini, perbaikan tata kelola aset negara
senantiasa terus dilakukan secara berkelanjutan. Beberapa kegiatan yang saat
ini masih berjalan diantaranya adalah sertifikasi BMN berupa tanah. Kegiatan
ini merupakan bagian dari program tertib hukum atas aset. Perkembangan
sertifikasi BMN berupa tanah dapat diilustrasikan pada grafik berikut ini.
Program percepatan sertifikasi dimulai pada tahun 2012, yaitu melalui kegiatan
identifikasi dan pendataan atas BMN berupa tanah. Pada tahun tersebut, BMN
berupa tanah telah teridentifikasi sejumlah 87.497 bidang. Sebagian
diantaranya, yaitu 46.193 bidang, telah bersertifikat, sementara sisanya
sejumlah 41.304 akan disertifikatkan secara bertahap. Program percepatan
sertifikasi dilaksanakan mulai tahun 2013 dengan prioritas pada penyelesaian
atas BMN berupa tanah yang telah berstatus free
and clean (bukti kepemilikan lengkap, fisik dikuasai oleh K/L, dan tidak
dalam sengketa).
Melihat data tren pencapaian sertifikasi BMN berupa tanah,
dapat disimpulkan bahwa rata-rata realisasi penyelesaian sertifikasi per tahun
hanya mencapai 3.070 bidang. Oleh karena itu, diperkirakan proses sertifikasi
akan memerlukan waktu penyelesaian kurang lebih selama 13 tahun. Namun
demikian, Kementerian Keuangan (dhi. DJKN) senantiasa terus mengakselerasi
program sertifikasi BMN dengan melakukan crash
programme bersama Kementerian ATR/BPN dan Bappenas, sehingga diharapkan
penyelesaian sertifikasi bisa lebih cepat atau paling tidak sejalan dengan
target Reforma Agraria Kementerian ATR/BPN, dimana seluruh bidang tanah di
Indonesia pada tahun 2025 harus sudah bersertifikat.
Perbaikan tata kelola aset melalui program tertib
administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum merupakan standar minimal yang
harus dilakukan (the minimum standard of
state asset management). Oleh karena itu, simultan dengan pelaksanaan
program tersebut, hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh Kementerian
Keuangan adalah memastikan bahwa aset negara telah digunakan secara optimal.
Indikator kinerja “rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap” merupakan
indikator yang dipilih untuk memantau utilisasi/penggunaan atas aset negara.
Selain bertujuan untuk memastikan tertib administrasi/pencatatan aset,
indikator ini juga dapat memberikan informasi tentang seberapa nilai aset yang
digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian atau Lembaga,
nilai aset yang under capacity
sehingga dapat dimanfaatkan/dikerjasamakan dengan pihak ketiga, nilai aset yang
diserahkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan progam pemerintah (hibah),
atau nilai aset yang digunakan sebagai penyertaan modal negara. Artinya,
melalui indikator ini, pertumbuhan portofolio nilai aset berikut utilisasinya
senantiasa dipantau.
Dalam perkembangannya, pengelolaan aset mengalami pergeseran
paradima, dari asset administrator
menjadi asset manager. Oleh karena
itu, pada tahun 2017, Kementerian
Keuangan mulai mengukur kinerja pengelolaan aset ditinjau dari seberapa besar
manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan aset negara. Manfaat ekonomi
tersebut diukur dari nilai penerimaan negara dan nilai penghematan belanja yang
dihasilkan dari kegiatan pengelolaan aset. Melalui pengukuran ini, diharapkan
aset yang dimiliki oleh negara tidak hanya sebatas pada penggunaan, namun juga
dikelola secara optimal dan profesional sehingga nantinya juga berkontribusi
dalam mendukung kapasitas keuangan negara. Pola optimalisasi penerimaan negara
melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema sewa, kerja sama
pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya. Sementara pola
optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga
kepada instansi lain yang membutuhkan baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi
maupun mendukung program prioritas pemerintah. Contoh dukungan aset terhadap
program prioritas pemerintah pada tahun 2016 adalah penyediaan aset di
Lampung, Batam, Padang, dan Gowa untuk program sejuta rumah.
Selain hal tersebut, pada tahun 2016, Kementerian Keuangan
juga telah membentuk Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), sebagai salah satu
unit yang bertugas secara khusus melakukan optimalisasi atas aset-aset idle yang berada di bawah pengelolaan
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Selain sebagai operator
aset idle, LMAN juga diberikan mandat
oleh pemerintah untuk melaksanakan fungsi special
land bank, yang berperan dalam penyediaan dan pendanaan lahan untuk proyek
strategis nasional.
Pengelolaan
aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius
sedang berupaya untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak
lagi dipandang sebagai sumber daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola
dan dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Strategi yang akan digunakan
untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan pembangunan basis data
aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi pengelolaan aset
berbasis prinsip the highest and best use.
Harapannya, setiap nilai aset yang dimiliki oleh negara ini dapat memberikan
imbal balik atau return yang positif
sesuai dengan potensi terbaik atas aset tersebut.
B.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan-tujuan
atas judul makalah yang kami buat saat ini, yakni:
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari
Pengelolaan Keuangan Negara.
2. Untuk mengetahui arti dan tujuan
Pengelolaan Keuangan Negara.
3. Untuk mengetahui pentingnya Pengelolaan
Keuangan Negara.
4. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme
Pengelolaan Keuangan Negara.
5. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan
Pengelolaan Kekayaan Negara antara masa lampau, masa kini, dan masa mendatang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kajian
Teori
1.
Definisi Keuangan Negara
a.
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 Ketentuan Umum Pasal 1
Semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b.
A. Hamid
S. Attamimi
”Keuangan negara tidak hanya bersumber dari APBN saja, akan
tetapi juga meliputi keuangan negara yang berasal dari APBD, BUMN maupun BUMD
dan pada hakekatnya seluruh harta kekayaan negara merupakan keuangan
negara”.
c.
Menurut
Arifin P. Soeria Atmadja
”Definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN,
APBD, keuangan negara pada Perjan, Perum, dan sebagainya, sedangkan definisi
keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang
berwenang mengelola dan bertanggung jawab”.
d.
Menurut Geodhart
Keuangan Negara
merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang
memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode
tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup
pengeluaran tersebut.
e.
Menurut M.
Subagio
”Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajibannya itu”.
1)
Hak
dan Kewajiban Negara
a.
Hak Negara
Hak-hak negara yang dapat dinilai
dengan uang adalah antara lain :
Ø Hak menarik sejumlah uang atau barang
tertentu dari penduduk yang dapat dipaksakan dengan bentuk peraturan
perundang-undangan, tanpa memberi imbalan secara langsung kepada orang yang
bersangkutan. Contoh bentuk penarikan dana ini adalah: pajak, bea cukai,
retribusi, dan sebagainya. Dengan demikian negara akan memperoleh penerimaan
yang menjadi haknya untuk membiayai tugas negara;
Ø Hak monopoli mencetak uang dan
menentukan mata uang sebagai alat tukar dalam masyarakat;
Ø Hak untuk mengadakan pinjaman paksa
kepada warga negara (obligasi, sanering uang, devaluasi nilai mata uang);
Ø Hak teritorial darat, laut dan udara
serta segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang merupakan sumber yang
besar dalam penggunaannya yang dapat dinilai dengan uang.
b.
Kewajiban Negara
Kewajiban-kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang antara lain:
§ Kewajiban menyelenggarakan tugas negara
untuk kepentingan umum (masyarakat). Antara lain meliputi :
v Pemeliharaan keamanan dan ketertiban
v Pembuatan, pemeliharaan jalan-jalan
raya, pelabuhan, dan pangkalan udara
v Pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah
sakit
v Pembuatan dan pemeliharaan pengairan
v Pembangunan pemeliharaan alat
perhubungan (pos, telepon, dsb).
§ Kewajiban membayar hak tagihan dari
pihak-pihak yang melakukan sesuatu atau perjanjian dengan pemerintah, misalnya
pembelian barang-barang untuk keperluan pemerintah, pembangunan gedung
pemerintah, dan sebagainya.
2)
Dasar Hukum Keuangan Negara Republik Indonesia
Penyelenggaraan tugas negara pada
hakekatnya merupakan hubungan antara negara dengan rakyat, yang umumnya diatur
dengan konstitusi atau undang-undang. Hubungan hukum tersebut disamping
menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara, juga menimbulkan hak dan kewajiban
bagi rakyat sebagai salah satu pihak lainnya. Dasar hukum keuangan negara
adalah:
·
Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Pasal 23.
·
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
3)
Arti & Tujuan Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara mempunyai
arti luas dan sempit. Pengelolaann keuangan negara dalam arti luas adalah
manajemen keuangan negara. Dalam arti sempit pengelolaan keuangan negara adalah
administrasi keuangan negara atau tata usaha keuangan negara. Tujuan
pengelolaan keuangan negara secara umum adalah agar daya tahan dan daya saing
perekonomian nasional semakin dapat ditingkatkan dengan baik dalam kegiatan
ekonomi yang semakin bersifat global, sehingga kualitas kehidupan masyarakat
dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan. Adapun yang menjadi arti penting/alasan
mengapa keuangan negara harus dikelola dengan baik, adalah karena keuangan
negara dapat digunakan untuk:
ü Mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
ü Menjaga stabilitas ekonomi.
ü Merealokasi sumber daya ekonomi, dan
ü Meredistribusi pendapatan.
4)
Ruang Lingkup Keuangan Negara
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ruang
lingkup keuangan negara meliputi:
a) Pengelolaan Moneter
Hal ini dilakukan melalui serangkaian kebijakan di
bidang moneter. Kebijakan moneter adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah agar ada keseimbangan yang dinamis antara jumlah uang yang beredar
dengan barang dan jasa yang tersedia di masyarakat.
b) Pengelolaan Fiskal
Pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi
pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran,
administrasi perpajakan administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan
keuangan. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan
dengan penerimaan (pendapatan) dan pengeluaran (belanja) pemerintah.
c) Pengelolaan Kekayaan negara
Khusus untuk proses pengadaan barang kekayaan
negara, yang termasuk pengeluaran Negara telah diatur secara khusus dalam Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Instansi Pemerintah. Di samping itu terdapat pula kekayaan negara yang
dipisahkan (pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan yang seluruh
modalnya/sahamnya dimiliki oleh negara). Perusahaan semacam ini biasa disebut
Badan Usaha Milik Negara dan Lembaga-lembaga Keuangan Negara (BUMN/BUMD).
5)
Asas-Asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Asas-asas
umum pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, yang terdiri dari:
a. Azas
tahunan,
artinya membatasi masa berlakunya atau periode anggaran untuk suatu tahun tertentu,
mulai dari 1 Januari s/d 31 Desember.
b. Asas
universalitas,
mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.
c. Asas
spesialitas,
mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas
peruntukannya.
d. Asas
kesatuan,
menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam
satu dokumen anggaran.
e. Akuntabilitas
berorientasi pada hasil, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara, khususnya pengelolaan keuangan negara
harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
f. Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karena
itu, sumber daya manusia di bidang keuangan negara harus profesional, baik di
lingkungan Bendahara Umum Negara/Daerah maupun di lingkungan Pengguna
Anggaran/Barang.
g. Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara, serta teralokasinya
sumber daya yang tersedia secara proporsional terhadap hasil yang akan dicapai.
h. Keterbukaan, yaitu asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara dalam setiap
tahapannya, baik dalam perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran,
pertanggung-jawaban, maupun hasil pemeriksaan, dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
i.
Pemeriksaan keuangan oleh badan
pemeriksa yang bebas dan mandiri, artinya pemeriksaan atas tanggung jawab dan
pengelolaan keuangan negara/daerah dilakukan oleh badan pemeriksa yang
independen, dalam hal ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Asas-asas umum tersebut diperlukan
juga untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah,
sehingga dengan dianutnya asas-asas umum tersebut dalam paket Undang-undang di
bidang keuangan negara, selain dapat mewujudkan pengelolaan keuangan negara
yang bebas korupsi dan kolusi, efektif dan efisien serta transparan dan
akuntabel, juga diharapkan dapat memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6)
Paradigma Baru dalam Manajemen Keuangan Negara
Mulai tahun 2000 Pemerintah telah
merubah struktur dan format APBN dari format T-account menjadi I-account.
Format APBN yang lama menggunakan T-account yaitu seperti huruf T. Pada
sisi kiri dicantumkan rincian penerimaan negara, baik penerimaan dalam negeri
maupun penerimaan pembangunan (yang berasal dari pinjaman luar negeri). Pada
sisi kanan dicantumkan pengeluaran negara, yang terdiri dari pengeluaran rutin
dan pengeluaran pembangunan. Dengan format ini jumlah penerimaan negara selalu
sama besarnya dengan jumlah pengeluaran negara karena pinjaman luar negeri
dimasukkan dalam pos penerimaan pembangunan. Format APBN yang baru disusun
menurut I-account, yaitu seperti huruf I.
Adapun yang menjadi tujuan dari
perubahan tersebut antara lain adalah:
a) Untuk meningkatkan transparansi dalam
penyusunan APBN;
b) Untuk mempermudah analisis, pemantauan,
dan pengendalian dalam pelaksanaan dan pengelolaan APBN;
c) Untuk mempermudah analisis komparasi
(perbandingan) dengan budget negara lain;
d) Mempermudah perhitungan dana
perimbangan, baik dana bagi hasil penerimaan maupun dana alokasi umum;
e) Untuk mengembalikan komponen penerimaan
migas dan penerimaan lainnya selain pajak kepada pos penerimaan bukan pajak;
f) Untuk menampung komponen peneriman
berupa:
o Hasil divestasi saham Pemerintah pada
BUMN (privatiasi);
o Hasil penjualan kekayaan perbankan (asset
recover);
o Penjualan obligasi Pemerintah di dalam
negeri.
Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan
keuangan negara yang dilaksanakan sampai saat ini perlu diadakan penyempurnaan
terutama dalam mengatasi kelemahan seperti kurangnya keterkaitan antara
perencanaan nasional, penganggaran, dan pelaksanaannya, kemudian kelemahan
dalam pelaksanaan pengganggaran yang menggunakan line-item budget
(penyusunan anggaran yang didasarkan kepada dan dari mana dana berasal/pos-pos
penerimaan dan untuk apa dana tersebut digunakan/pos-pos pengeluaran), aspek
perubahan anggaran yang lebih bersifat perubahan pada sejumlah dana tertentu
yang ditambahkan secara incremental
atas anggaran sebelumnya, adanya pemisahan anggaran pembangunan dan
anggaran rutin, serta klasifikasi anggaran yang belum terbagi berdasarkan
fungsi.
Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdapat berbagai perubahan mendasar dalam
tiga hal yang meliputi:
a) Pendekatan penganggaran dengan
perspektif jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework).
KPJM merupakan pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan yang dilakukan
dalam perspektif waktu lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan
implikasi biaya pada tahun berikutnya yang dinyatakan sebagai prakiraan maju (forward
estimate). Sedangkan prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana
untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan guna
memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi
dasar penyusunan anggaran berikutnya.
b) Penerapan penganggaran secara terpadu (Unified
Budget) Pendekatan penganggaran terpadu merupakan pendekatan penganggaran
yang mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran ke dalam satu
proses. Sebelumnya, penganggaran untuk belanja rutin dan pembangunan dilakukan secara
terpisah dengan menggunakan dua dokumen yang terpisah pula yaitu DIP dan DIK.
Melalui pendekatan anggaran terpadu, proses perencanaan dan penganggaran serta
dokumen penganggarannya telah disatukan. Selain itu, klasifikasi belanja rutin dan
pembangunan telah ditiadakan dan dilebur menjadi belanja pemerintah pusat.
c)
Penerapan
penganggaran berdasarkan kinerja (Performance Budget) Anggaran Berbasis
Kinerja (performance based budgeting) adalah model pendekatan penganggaran
yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran
dalam bentuk output dan outcome yang diharapkan termasuk
efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Input (masukan)
adalah besaran sumber-sumber daya dalam bentuk: dana, SDM, material/bahan,
waktu dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan. Output
(keluaran) menunjukkan produk (berupa barang atau jasa) yang dihasilkan
dari program atau kegiatan sesuai dengan input yang digunakan. Sedangkan outcomes
(hasil) menunjukkan berfungsinya output.
Pada
tangal 14 Januari 2004, telah disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
merupakan ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut atas disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tersebut, yang dimaksud dengan Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,
termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan,
yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Seiring
dengan konsepsi di atas, pelaksanaan anggaran dilakukan melalui pembagian tugas
antara Menteri Keuangan selaku pemegang kewenangan kebendaharaan dengan menteri
negara/lembaga selaku pemegang kewenangan adminitratif. Dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dijelaskan bahwa kewenangan administratif yang
dimiliki menteri negara/lembaga mencakup kewenangan untuk melakukan perikatan
atau tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran
negara, kewenangan melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan
kepada menteri negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan
yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran. Sedangkan dalam upaya melaksanakan kewenangan kebendaharaan,
Menteri Keuangan merupakan pengelola
keuangan yang berfungsi sebagai kasir, pengawas keuangan, dan sekaligus sebagai manager keuangan.
B.
Analisis
1.
Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan
Indonesia merupakan Negara yang
berpotensi besar di bidang kekayaan alam. Kekayaan ini tersebar dari darat dan
laut dan dari Aceh sampai Papua. Kekayaan alam dapat berupa hasil tambang
batubara, minyak bumi, gas alam dan lain-lain. Kekayaan laut meliputi ikan,
kerang, biota laut, dan lain-lain. Kekayaan hutan meliputi hutan tropis, hutan
hayati, hutan holtikultura dan lain-lain. Kekayaan perkebunan meliputi kelapa
sawit, jati, kopra, dan lain-lain.
Untuk mengatur kekayaan alam
Indonesia mengelola dengan prinsip kerakyatan. Seperti termaktub dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3. Ayat 1
berbunyi,”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.” Ayat 2 berbunyi,”Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.” Sedangkan
pada ayat 3 berbunyi,”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat,”
Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945
tersebut kita ditugaskan untuk mengelola kekayaan alam dengan sebaik-baiknya
demi kepentingan rakyat. Hal ini sesuai dengan mukadimah UUD 1945 yang
menyebutkan tujuan Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum.
Pemerintah telah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN
ini mengelola kekayaan Negara yang hasilnya untuk meningkatkan perekonomian
Negara. Pengelolaan oleh BUMN ini berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.
Tujuan pemisahan kekayaan ini adalah agar kekayaan Negara dikelola secara
korporasi yang menguntungkan bagi Negara. Negara dalam hal ini sebagai pemilik
modal/pemegang saham. Kekayaan awal dari BUMN berasal dari kekayaan Negara.
Kekayaan Negara dipisahkan diatur dalam
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu pasal 2 huruf
g, Pasal 3 ayat 1, Pasal 6 ayat 2, dan pasal 24 ayat 3. Pasal 2 huruf g
berbunyi,”kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain yang berupa uang, surat berharga, piutang, barang atau hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
Negara/daerah. Pasal 3 ayat 1 berbunyi,”keuangan Negara dikelola secara tertib,
taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, tranparan
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pasal 6
ayat 2 berbunyi,”kekuasaan sebagaimana dimaksud ayat 1: a. dikuasakan kepada
Menteri Keuangan. Pasal 24 ayat 3 berbunyi,”Menteri Keuangan melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan Negara.
Pelaksanaan kekayaan Negara
dipisahkan berupa penyertaan modal pemerintah pada BUMN dan Perusahaan
Terbatas. Misalnya BP Migas yang pengelolaannya berdasarkan PP No. 42 tahun
2002 (sekarang diserahkan ke ESDM), Lembaga Penjamin Simpanan yang
pengelolaannya berdasar UU No 24 tahun 2004, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor
Impor yang pengelolaannya berdasar UU No. 2 tahun 2009. Selain tersebut di atas
ada lagi perusahaan Sarana Multi Infrastruktur, Sarana Multigriya Financial,
dan Penjamin Infrastruktur Indonesia.
Permasalahan pengelolaan kekayaan
Negara dipisahkan antara lain laporan pengelolaan LPS yang belum tepat dan
akurat, batas wewenang pengelolaan antara Kementerian Keuangan dengan
Kementerian ESDM, dan batas wewenang pengelolaan antara Kementerian Keuangan
dengan Kementerian BUMN.
2.
Pengelolaan Kekayaan Negara yang Optimal
Dalam rangka mewujudkan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble,
Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan
kekayaan negara termasuk didalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar
memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh
kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang
dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara
(domein privat).
Sejak reformasi keuangan Negara
bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang
kuat untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup
perubahan yang terjadi sangat mendasar dan menyeluruh yang termasuk di
dalamnya adalah pengelolaan aset Negara. Hal ini dimulai dengan lahirnya 3
(tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2005 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang
telah menjadikan lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.
Dasar pemikiran diterbitkannya
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan
bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu
dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi di bidang
administrasi keuangan negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya
meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang,
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, Undang-undang
Perbendaharaan Negara telah mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan
administrasi dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah.
Negara dapat menguasai atau memiliki
suatu kekayaan. Pengertian kekayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia identik
dengan harta (benda) yang menjadi milik orang. Dalam hukum, orang itu bisa
berarti orang (persoon) dan badan hukum (persoonrecht). Negara
merupakan badan hukum publik, dengan demikian dapat diartikan bahwa kekayaan
negara adalah harta (benda) yang menjadi milik negara. Dalam Bab I Pasal 1
Rancangan Undang-undang Kekayaan Negara, kekayaan negara juga diartikan sebagai
benda berwujud dan tak berwujud, baik bergerak maupun tak bergerak yang
mempunyai nilai, yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh negara.
Kekayaan negara dalam pengertian
barang milik negara yang mengacu pada pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah. Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara/daerah meliputi :
1. barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D
2. barang
yang dibeli berasal dari perolehan lain yang sah.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 2
disebutkan bahwa barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi :
1. barang
yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2. barang
yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
3. barang
yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang;atau
4. barang
yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Kekayaan Negara ditinjau dari
lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki
maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang
tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kekayaan yang dimiliki negara adalah
kekayaan dimana melekat hak milik negara (domein privat). Domein privat
ini merupakan hak untuk “memiliki” suatu barang atau jasa. Kekayaan yang
dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan
negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945. Kekayaan
negara yang dipisahkan dapat berupa investasi pemerintah pada BUMN dan
investasi pemerintah lainnya. Sedangkan kekayaan negara yang tidak dipisahkan
berupa Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan keseluruhan barang yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau perolehan
lainnya yang sah.
Pengaturan kekayaan negara dalam
domein privat yang mengacu pada Pasal 23 UUD 1945, selama ini
diatur dalam berbagai undang-undang yang mengatur mengenai perbendaharaan
negara dan keuangan negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Kekayaan yang dikuasai negara adalah
kekayaan dimana melekat mandat hukum atau kewenangan negara untuk mengelola dan
mempergunakan kekayaan tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (domein
publik). Domein publik adalah hak untuk “menguasai” suatu kekayaan yang
diberikan oleh UUD 1945 kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Berdasarkan hak menguasai
tersebut, UUD 1945 memberikan kewenangan kepada negara untuk “mengatur”
pengelolaan kekayaan negara agar kekayaan negara itu dapat dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak mengatur ini merupakan hak publik,
sehingga hak tersebut bersifat ekslusif, artinya hak ini hanya dapat dimiliki
oleh negara dan tidak dapat dimiliki oleh pihak-pihak lain.
Di dalam pengertian negara menguasai
kekayaan, terkandung maksud agar penggunaannya dapat diarahkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pemerataan dan kesinambungan manfaat untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketentuan mengenai pengelolaan
Barang Milik Negara diatur secara singkat dalam Undang-Undang 1 Nomor Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dan pengaturan yang lebih rinci dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Selain Undang-Undang 1 Nomor Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, mengenai pengelolaan keuangan negara diatur pada
beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara,
Saat ini, pengelolaan kekayaan
negara dalam domein privat termasuk ruang lingkup keuangan negara,
sehingga kekayaan negara harus dilihat dari perspektif yuridis
keuangan negara. Pemahaman tentang keuangan negara mempunyai keterkaitan
dengan konsepsi hukum administrasi negara, karena perencanaan atas anggaran
negara merupakan bagian dari “tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public
service)”.
Dengan adanya reformasi ekonomi,
maka saat ini pengelolaan kekayaan negara telah menjadi bagian yang sangat
penting dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Tujuan dari optimalisasi
pengelolaan kekayaan negara menurut Doli D. Siregar adalah sebagai berikut:
v menciptakan
transparansi dan kejelasan arah dari kebijakan pemerintah tentang pengelolaan
harta kekayaan negara yang sangat berguna sebagai arahan dalam pemanfaatan
maupun pengelolaannya;
v menciptakan
sinergi dan keterpaduan gerak antara pengelolaan harta kekayaan negara dan
berbagai kebijakan dan program pemerintah terutama dalam rangka mendukung
program penyehatan perekonomian nasional;
v meningkatkan
pendayagunaan dan sistem operasi pengawasan dalam penguasaan dan pemanfaatan
harta kekayaan negara dengan tujuan untuk mengarahkan, mengendalikan dan
mengamankan pengelolaan harta kekayaan negara demi tercapainya pemerataan
kemakmuran rakyat;
v menciptakan
sistem dan mekanisme pengelolaan harta kekayaan negara yang terpadu, efisien
dan efektif serta memiliki kewenangan dan otoritas yang jelas.
Manfaat yang bisa dirasakan dari
pengelolaan kekayaan negara adalah sebagai berikut:
v mengetahui
nilai terkini dan nilai potensi serta lokasi harta kekayaan negara yang sangat
bermanfaat dalam rangka mendukung penguatan struktur ekonomi nasional;
v mempermudah
pengendalian, efisiensi pemanfaatan dan optimalisasi pemanfaatan harta kekayaan
negara;
v mendukung
dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan bisnis bagi institusi yang
menguasai dan mengeloa harta kekayaan negara;
v mendukung
dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan bisnis bagi institusi yang
menguasai dan mengelola harta kekayaan negara dalam rangka mengoptimalkan
manfaat dan potensi yang ada.
3.
Kasus Kacaunya
Pengelolaan Kekayaan Negara
v Kasus
lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada Desember 2002 merupakan satu bukti
nyata kacaunya pengelolaan kekayaan Negara.Lemahnya pengawasan dan kurangnya
perhatian dari pemerintah dianggap sebagai biang dari lepasnya kedua pulau
tersebut. Lemahnya posisi tawar pemerintah dalam pemberian konsesi pertambangan
juga sering kali terjadi sehingga kekayaan alam kita lambat laun hancur dan
dikeruk habis oleh negara lain sementara kompensasi yang diterima Indonesia
tidaklah sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Belum lagi kasus dimana
kekayaan negara yang tidak jelas status hukumnya seperti kasus klaim dari
pemerintah Cina atas sejumlah aset di Indonesia.
v Singapura
negara tetangga kita telah mengeduk secara besar-besaran pasir laut kita untuk
tujuan memperluas wilayah negaranya. Diatas wilayah perluasan baru hasil
reklamasi dari pasir Indonesia tersebut didirikan pusat bisnis dan pertokoan,
apartemen dan juga resor. Pembangunan fisik yang menggunakan bahan baku
utamanya pasir itu selanjutnya disewa atau dibeli kembali oleh orang-orang
Indonesia yang berduit dengan harga mahal.Kita tahu, akibat dari pengedukan
pasir besar-besaran, Indonesia berpotensi kehilangan pulau-pulau terdepan yang
berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Tanpa harus bersusah payah
mencari sebabnya, tidak lain karena pengelolaan kekayaan negara belum memberi
manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
v Penguasaan
Tambang Emas Indonesia yang merupakan tambang emas terbesar di dunia oleh
Freeport McMoran.Total pemberian pemasukan PT.Freeport kepada Republik
Indonesia hanya 10-13% pendapatan bersih di luar pajak atau 46 juta dollar (460
miyar rupiah).Bandingkan dengan pemasukan yang didapat oleh Freeport McMoran
yang mencapai 380 juta dollar (hamper 3,8 trilyun)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Definisi
Keuangan Negara menurut UU No. 17 Tahun 2003 Ketentuan Umum Pasal 1 adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hak yang dapat dinilai
dengan uang adalah hak menarik sejumlah uang atau barang tertentu, hak
monopoli, hak untuk mengadakan pinjaman paksa kepada warga negara, hak
territorial darat, laut, dan udara. Untuk Kewajiban Negara yang dapat dinilai
dengan uang adalah Kewajiban menyelenggarakan tugas negara untuk kepentingan
umum (masyarakat). Kewajiban membayar hak tagihan dari pihak-pihak yang
melakukan sesuatu atau perjanjian dengan pemerintah. Dasar hokum pada konsep
keuangan negara adalah Amandemen UUD 1945 Bab 8 Pasal 23. Pengelolaan Keuangan
Negara mempunyai arti luas dan sempit. Pengelolaan keuangan negara dalam arti
luas adalah manajemen keuangan negara. Dalam arti sempit pengelolaan keuangan
negara adalah administrasi keuangan negara atau tata usaha keuangan negara.
Tujuan pengelolaan keuangan negara secara umum adalah agar daya tahan dan daya
saing perekonomian nasional semakin dapat ditingkatkan dengan baik dalam
kegiatan ekonomi yang semakin bersifat global, sehingga kualitas kehidupan
masyarakat dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan.
B.
Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk
saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain
akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.
LAMPIRAN
Robert B.
Denhardt, seorang
sarjana dan
penulis, lahir di Kentucky pada tahun 1942. Ia menerima gelar Ph.D. di
Administrasi Publik dari University of Kentucky pada tahun 1968.
Denhardt terkenal karena karyanya dalam
teori administrasi publik dan perilaku organisasi, terutama kepemimpinan dan
perubahan organisasional. Dalam The New
Public Service: Melayani, bukan Mengarah, dia mengembangkan model
pemerintahan baru yang menekankan perlunya melibatkan warga negara dalam
pemerintahan masyarakat mereka.
Denhardt memulai karirnya sebagai
Asisten Profesor di University of Central Florida. Ia mengajar di Universitas
New Orleans, Universitas Kansas, Universitas Missouri, Universitas Colorado,
dan Universitas Delaware. Saat ini, Denhardt adalah Profesor Bidang Kepemimpinan
dan Etika Lincoln, Direktur Sekolah Urusan Publik di Arizona State University,
dan seorang Sarjana Pariwisata yang terhormat di University of Delaware.
Denhardt adalah Presiden Lembaga Administrasi
Publik untuk
Amerika Serikat (ASPA) yang lalu, sebuah organisasi akademisi dan
praktisi nasional di bidang administrasi publik di semua tingkat pemerintahan.
Dia adalah pendiri dan ketua pertama Kampanye Nasional untuk Pelayanan Publik
ASPA, sebuah upaya untuk menegaskan martabat dan nilai layanan publik di seluruh negeri. Dia
juga anggota Akademi Administrasi Publik Nasional dan anggota Pusat
Pengembangan Manajemen Kanada. Dia menerima Dwight Waldo Award untuk pencapaian
seumur hidup dalam bidang beasiswa dari American Society for Public Administration pada tahun 2004. Dia adalah
seorang sarjana Fulbright di Australia pada tahun 1990. Pada tahun 2007, dia
ditunjuk sebagai Profesor Bendahara Universitas Negeri Arizona.
Denhardt telah menerbitkan sembilan
belas buku, termasuk The Dance of
Leadership, The New Public Service, Managing Human Behavior in Public and
Nonprofit Organization, The Pursuit of Significancei, In The Shadow of Organization, Public
Organization Theory, Public Administration: Action Orientation, Executive
Leadership in Public Service, Revitalization of Public Service, and Pollution
and Public Policy. Dia telah menerbitkan lebih dari seratus artikel di
jurnal profesional.
Denhardt saat ini melakukan pelatihan,
fasilitasi, konseling, dan intervensi dalam pengembangan kepemimpinan dan
keterlibatan warga. Workshop Dance of
Leadership didasarkan pada bukunya, "The Dance of Leadership", dan berfokus pada seni kepemimpinan,
menggunakan materi dari seni, musik, dan terutama untuk menemukan cara berpikir
baru tentang kepemimpinan dan cara baru untuk mengasah pendapat dan skill seseorang kepemimpinan.
B.
Kasus
Penerapan NPS dalam Perspektif Masyarakat
Data Indeks Demokrasi Indonesia di
atas masih dapat dijadikan rujukan melihat perspektif masyarakat terhadap
layanan publik. Data menunjukkan bahwa sekalipun ruang kebebasan sipil sudah
dibuka namun tingkat partisipasi masyarakat masih tetap rendah. Kita bisa menggunakan
indikator komunikasi untuk menjawab persoalan ini.
Sebuah survei publik yang
dilakukan oleh RSUD AW. Sjahranie Kalimantan Timur tentang
layanan di Rumah Sakit tersebut menunjukkan bahwa persoalan komunikasi
antara penyedia layanan (rumah sakit) dengan masyarakat
pengguna layanan yaitu pasien dan keluarga pasien
merupakan persoalan yang banyak disoroti oleh responden. Terdapat salah
persepsi dari masyarakat terhadap layanan yang diberikan rumah sakit karena salah
komunikasi dan ketidakpahaman atas prosedur layanan. Tiga kesimpulan dan
rekomendasi yang diberikan atas penelitian ini yaitu: Pertama, komunikasi
yang terjadi antara penyedia dan pengguna layanan
rumah sakit tersebut selama ini kurang
interaktif dan kurang efektif; Kedua, pentingnya
komunikasi dalam pelayanan publik karena komunikasi bisa menjadi
penyebab dan juga bisa menjadi solusi untuk memecahkan
persoalan dalam proses penyelenggaraan pelayanan; Ketiga,
komunikasi efektif bila pesan bisa diterima dengan baik dan dipahami
kemudian menghasilkan respon yang positif.
Berangkat dari contoh kasus ini maka
kita dapat berkesimpulan bahwa dalam konteks layanan publik di Indonesia,
terdapat persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap layanan publik karena
kurangnya komunikasi antara penyedia layanan maupun penerima layanan.
Masyarakat juga kurang terlibat dalam proses layanan publik karena
ketidaktahuan akan peran dan fungsinya serta ketidaktahuan atas sistem dan
prosedur yang mengatur interaksi antara keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tjandra, W. Riawan. 2006. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT.
Grasindo
Abimayu, Anggito. 2009. Era
Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta:
Kompas.
Agus, Dwiyanto. 2005. Mewujudkan
Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hesti Puspitosari, dkk. 2012. Filsafat Pelayanan Publik. Malang: Setara Press.
Pasalong, Harbani. 2007. Teori
Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Tri Kadarwati. 2001. Administrasi
Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not
Steering. New York: M.E Sharpe.
Siregar, D, Doli. 2002. Optimalisasi
Pemberdayaan Kekayaan Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Thoha,
Miftah. 2009. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Tjokrowinoto,
Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar