STUDY KEPENDUDUKAN
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk merupakan
keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan
kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Secara terus menerus
penduduk akan di pengaruhi oleh jumlah bayi yang lahir (fertilitas), tetapi
secara bersamaan pula akan di kurangi oleh jumlah kematian (mortalitas) yang
terjadi pada semua golongan umur, serta perpindahan penduduk (mobilitas) juga
akan mempengaruhi bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah
atau negara. Di dalam Garis-garis besar Haluan Negara dinyatakan bahwa jumlah
penduduk yang besar baru menjadi modal dasar yang efektif bagi pembangunan
nasional hanya bila penduduk yang besar tersebut berkualitas baik. Namun dengan
pertumbuhan penduduk yang pesat sulit untuk meningkatkan mutu kehidupan dan
kesejahteraan secara layak dan merata. Hal ini bahwa penduduk yang besar dengan
kualitas yang tinggi tidak akan mudah tercapai.
Perkembangan penduduk tanpa
disertai dengan kontrol untuk mengukur jumlah penduduk yang di inginkan, hanya
akan menumbuhkan masalah sosial ekonomis dengan segala pertumbuhan penduduk
yang tinggi dari tahun ketahun memerlukan tambahan investasi dan sarana di
bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya. Hal itu tentu saja
merupakan masalah yang rumit bagi pemerintah dalam usahanya untuk membangun dan
meningkatkan taraf hidup negaranya. Pengetahuan tentang pendidikan adalah
penting untuk diketahui oleh masyarakat luas yang mana dapat merangsang
timbulnya kesadaran dan membina tingkah laku yang yang bertanggung jawab
terhadap masalah kependudukan, sehingga masalah–masalah yang ada di atasi
bersama dengan penuh perhatian dan memungkinkan setiap timbulnya masalah dapat
di cegah atau di hindari
Berkurangnya atau bertambahnnya
penduduk di suatau daerah mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan
teknologi yang dimilikinya. Semakin tinggi teknologi yang dimiliki oleh suatu
golongan penduduk, semakin luas kemungkinan memperbesar hasil –hasil produksi
kebutuhan hidup dan semakin luas pula mata pencaharian untuk pertambahan
penduduk. Setiap pendapatan baru dari lapangan teknologi sangatlah besar
pengaruhnya terhadap perkembangan penduduk. Untuk mengetahui banyaknya penduduk
suatu daerah atau negara pada waktu tertentu maka di laksanakan sensus penduduk
atau perhitungan cacah, survei, serta catatan-catatan untuk di analisis di
susun menjadi angka. Data inilah yang akan di pergunakan sebagai bahan untuk
perencanaan ataupun sasaran-sasaran pembangunan dimasa yang akan datang.
PENDUDUK
·
Orang yang tinggal di
daerah tersebut
·
Orang yang secara
hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain
orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan
dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan
unit-unit ekonmi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial. Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi
jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal.Beberapa pengamat
masyarakat percaya bahwa konsep kapasitas muat juga berlaku pada penduduk bumi,
yakni bahwa penduduk yang tak terkontrol dapat menyebabkan katastrofi Malthus. Beberapa menyangkal
pendapat ini. Grafik berikut menunjukkan kenaikan logistik penduduk. Negara-negara
kecil biasanya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, di antaranya: Monako, Singapura, Vatikan, dan Malta. Di antara negara besar yang memiliki kepadatan penduduk tinggi
adalah Jepang dan Bangladesh.
1.
Kebijaksanaan dan Langkah-langkah
Pembangunan di bidang kependudukan yang telah dirintis sejak Repelita I
dimaksudkan untuk mengatasi masalah tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
dan persebaran penduduk yang kurang merata. Jumlah penduduk yang besar mempunyai
dampak terhadap proses dan hasil usaha pembangunan. Jumlah penduduk yang besar
tersebut apabila mampu berperan sebagai tenaga kerja yang berkualitas akan
merupakan modal pembangunan yang besar dan akan sangat menguntungkan bagi
usaha-usaha pembangunan di segala bidang. Sehubungan dengan itu, pembangunan di
bidang kependudukan di samping diarahkan pada upaya
pencapaian sasaran-sasaran yang langsung ditujukan pada
penurunan laju pertumbuhan penduduk, juga dititikberatkan pada upaya
peningkatan kualitas penduduk sebagai pelaku dan sasaran pembangunan bangsa dan
negara. Upaya-upaya peningkatan kualitas penduduk antara lain meliputi upaya
peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan
kemasyarakatan, dan peningkatan pendidikan masyarakat.
Pembangunan di bidang
kependudukan lebih diarahkan pada upaya pengembangan sumber daya manusia agar
penduduk makin menjadi kekuatan yang efektif dan produktif bagi pembangunan.
Dalam upaya ini diusahakan ditingkatkan keterpaduan dan koordinasi upaya
pengendalian kelahiran dengan berbagai kegiatan pembangunan lainnya, khususnya
upaya pembangunan di bidang kesehatan, transmigrasi, pengendalian urbanisasi,
pendidikan, pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja. Usaha penurunan
tingkat pertumbuhan penduduk dilaksanakan melalui pengendalian tingkat
kelahiran dan penurunan tingkat kematian, terutama kematian bayi dan anak.
Upaya pengendalian kelahiran dilaksanakan melalui program keluarga berencana
(KB). Sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat luas KB bertujuan mengatur
kelahiran anak dan meningkatkan kesejahteraan ibu. Selanjutnya upaya penurunan
tingkat kematian dilaksanakan dengan memperluas dan meningkatkan jangkauan
serta mutu pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat. Dari pengalaman selama
hampir lima Repelita ini nyata sekali bahwa dalam melaksanakan upaya
pembangunan kependudukan peran serta masyarakat merupakan faktor yang sangat
menentukan.
Dalam memperbaiki persebaran
penduduk yang kurang merata dilaksanakan kebijaksanaan perpindahan penduduk
dari daerah yang mempunyai kepadatan yang tinggi ke wilayah yang kurang padat.
Kebijaksanaan ini juga diarahkan pada perluasan lapangan kerja bagi penduduk
yang dipindahkan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih optimal di
wilayah-wilayah pemukiman yang baru. Upaya lain yang ditempuh dalam rangka
memperbaiki persebaran penduduk adalah pembangunan kota-kota kecil dengan
tujuan mengurangi dorongan penduduk untuk pindah ke kota besar. Peningkatan
kualitas penduduk baik fisik maupun non fisik terus ditingkatkan melalui
berbagai usaha, seperti peningkatan gizi, pendidikan, perluasan kesempatan
berusaha, dan sebagainya. Peningkatan kualitas penduduk yang dicapai dengan
cara demikian diharapkan akan menunjang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan,
mengurangi kemiskinan dan menghilangkan sumber-sumber kemiskinan serta
menyumbang kepada keberlanjutan pembangunan. Dalam rangka memadukan berbagai
dimensi masalah kependudukan serta mengatasinya ke dalam usaha pembangunan
secara menyeluruh amat dibutuhkan informasi statistik kependudukan yang
terpercaya. Dalam hubungan ini terus dikembangkan berbagai upaya meningkatkan
mutu dan liputan statistik kependudukan termasuk statistik yang dihasilkan dari
pelaksanaan registrasi penduduk.
2.
Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a.
Pertumbuhan Penduduk, Kelahiran, dan Kematian
Jumlah penduduk Indonesia selama
ini terus bertambah. Sejak tahun 1968 penduduk Indonesia bertambah dari 115,0
juta orang menjadi 147,5 juta orang pada tahun 1980 dan 179,9 juta orang pada
tahun 1990. Laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1971-1980 adalah 2,32%
per tahun sedangkan selama kurun waktu 1980-1990 menurun menjadi 1,97% per
tahun. Pada akhir PJPT I jumlah penduduk diperkirakan akan berjumlah 192,1 juta
orang. Dengan demikian jumlah penduduk selama PJPT I telah bertambah sebanyak
77,1 juta orang atau 67,0 % dari jumlah penduduk tahun 1968. Laju
pertumbuhan penduduk tersebut diperkirakan akan terus menurun sehingga dalam
kurun waktu 1990-1994 pertumbuhan penduduk diperkirakan menjadi 1,65% per
tahun. Jelaslah bahwa usaha-usaha pembangunan di bidang kependudukan selama
PJPT I telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara
berkelanjutan.
Berdasarkan proyeksi sebelum
Sensus Penduduk 1990, jumlah penduduk pada tahun 1987 diperkirakan sebanyak
172,0 juta dan pada tahun 1992 sebanyak 189,5 juta orang. Hal ini berarti
selama lima tahun diperkirakan terdapat pertambahan penduduk sebanyak 17,6 juta
orang. Namun proyeksi berdasarkan data sensus tahun 1990, jumlah penduduk pada
tahun 1992 ternyata adalah sebanyak 185,8 juta orang sehingga terdapat
pertambahan penduduk sebanyak 13,8 juta orang selama lima tahun terakhir.
Jumlah ini lebih kecil dari proyeksi sebelumnya dengan 3,8 juta orang. Penurunan
laju pertumbuhan penduduk dari 2,32% menjadi 1,65% dalam waktu sekitar 20 tahun
pada umumnya dan lima tahun terakhir khususnya mempunyai dampak yang amat
positif bagi pencapaian berbagai sasaran pembangunan. Adanya penurunan ini
mengurangi secara langsung beban pengeluaran investasi untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan lain-lain yang seyogyanya perlu
dikeluarkan kalau tingkat pertumbuhan penduduk tidak berkurang. Namun demikian
karena pertumbuhan penduduk ternyata menurun maka dana bagi peningkatan mutu kesejahteraan
rakyat telah dapat ditingkatkan. Dengan demikian berkurangnya laju pertumbuhan
penduduk telah menyumbang langsung bagi percepatan peningkatan kesejahteraan
rakyat. Percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat pada gilirannya mempunyai
dampak positif bagi pemerataan dan stabilitas sosial.
Keberhasilan penurunan
pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan dalam kondisi pembangunan
sosial-ekonomi masyarakat yang belum tinggal landas telah mendapat pengakuan
dunia secara luas. Presiden Republik Indonesia telah mendapatkan penghargaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kepemimpinan beliau dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang kependudukan. Selain itu Indonesia dijadikan model bagi
pelaksanaan KB yang berhasil. Pengalaman Indonesia telah dipelajari oleh banyak
negara. Sampai dengan tahun 1992/93, Indonesia telah memberi latihan KB dan
Kependudukan bagi 1.412 pejabat dari 64 negara. Pelaksanaan KB yang berhasil
ternyata juga telah dapat meningkatkan posisi dan martabat Indonesia khususnya
di kalangan negara-negara yang sedang membangun dan negara-negara anggauta
Gerakan Non Blok. Penurunan laju pertumbuhan penduduk tersebut terutama
disebabkan oleh penurunan tingkat kelahiran berkat peran serta masyarakat dalam
berkeluarga berencana. Angka kelahiran kasar di Indonesia yang pada tahun 1971
diperkirakan sebesar 44,0 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1983 menurun
menjadi 33,5 kelahiran per seribu penduduk. Angka tersebut ternyata menurun
lagi menjadi 28,7 kelahiran per seribu penduduk pada akhir Repelita IV; bahkan
pada tahun 1992 diperkirakan menjadi 24,9 kelahiran per seribu penduduk. Dengan
demikian selama kurun waktu 1971-1988 telah terjadi penurunan tingkat
kelahiran sebesar 2,7% per tahun sedangkan penurunannya selama kurun waktu 1988
– 1992 lebih besar lagi, yaitu 3,6% per tahun. Selama itu telah tercipta
kecenderungan makin kecilnya jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita
selama hidupnya. Rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita
selama masa suburnya selama jangka waktu tersebut menurun secara berarti; yaitu
dari 5,6 anak per wanita pada kurun waktu 1967-1970 menjadi 3,0 anak per wanita
pada kurun waktu 1986-1989.
Menurunnya jumlah anak yang
dilahirkan akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada ibu-ibu untuk membina
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka. Lebih besarnya kesempatan
membina anak-anak bagi para ibu tersebut dapat diharapkan akan meningkatkan
kesiapan anak-anak dalam menghadapi proses pendewasaan, yang selanjutnya dapat
diharapkan akan meningkatkan kualitas penduduk dan mendukung usaha-usaha
pengembangan sumber daya manusia. Adapun angka kematian bayi sejak Repelita I
juga terus menurun. Angka kematian bayi pada tahun 1971 sebagai ternyata dari
hasil Sensus Penduduk 1971 adalah 131,2 kematian per seribu kelahiran. Angka
tersebut telah menurun menjadi 63 kematian per seribu kelahiran pada tahun 1990
sebagai yang ternyata dari hasil Sensus Penduduk 1990. Dengan demikian selama
kurun waktu 19 tahun tersebut keseluruhan telah terjadi penurunan angka
kematian bayi sebesar 52%, atau 3,8% per tahun. Penurunan angka kematian bayi
tersebut merupakan petunjuk bahwa selama jangka waktu yang bersangkutan keadaan
kesehatan dan gizi penduduk makin membaik. Makin membaiknya derajat kesehatan
dan gizi penduduk jelas akan memperpanjang umur penduduk Indonesia, yang
diperkirakan mencapai rata-rata 61,5 tahun pada tahun 1990.
Dari uraian di atas dengan
singkat dapat dikemukakan bahwa pembangunan kependudukan selama PJPT I bukan
saja telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan
melainkan juga telah berhasil mempercepat laju penurunan pertumbuhan penduduk
selama lima tahun terakhir. Di samping itu pembangunan yang dilakukan telah
pula meningkatkan mutu penduduk Indonesia.
b.
Penundaan umur perkawinan
Salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kelahiran penduduk adalah usia perkawinan pertama. Dengan
melangsungkan perkawinan lebih muda seorang wanita akan mempunyai kesempatan
melahirkan lebih besar. Oleh sebab itu salah satu upaya di bidang kependudukan
adalah mendorong dan memotivasi generasi muda untuk berpartisipasi di bidang
kependudukan dengan jalan melaksanakan peningkatan usia perkawinan. Di samping
mengurangi kesempatan melahirkan peningkatan umur perkawinan akan lebih
mendewasakan para calon orang tua sehingga lebih siap di saat kelahiran bayi
dan dengan demikian akan lebih terjamin kesehatan ibu dan anak. Sejak Repelita
III telah diberikan penerangan tentang manfaat peningkatan umur perkawinan
kepada para remaja dan pemuda. Kepada generasi muda yang belum menikah
diberikan motivasi agar melaksanakan perkawinan apabila umurnya telah lebih
dari 20 tahun bagi wanita dan telah lebih dari 25 tahun bagi pria. Pemberian
penerangan tersebut ternyata berhasil meningkatkan kesadaran para remaja tentang
masalah kependudukansehingga setelah mencapai usia dewasa mereka dapat
diharapkan akan menunda perkawinan hingga mencapai umur tersebut. Usaha
pemberian penerangan dan motivasi bagi para remaja tentang masalah kependudukan
ternyata berhasil. Pada tahun 1971 rata-rata para wanita kawin untuk pertama
kalinya pada usia 19,6 sedangkan pada tahun 1980 para wanita kawin untuk
pertama kalinya pada usia 20,0 tahun. Angka ini selanjutnya mengalami kenaikan
menjadi 21,9 tahun pada tahun 1990.
c.
Peningkatan Tingkat Pendidikan
Peningkatan derajat
pendidikan penduduk merupakan upaya penting dalam pengembangan sumber daya
manusia. Selama lima Repelita telah terus dikembangkan penyediaan sarana
pendidikan dengan pembangunan prasarana sekolah dan peningkatan mutu tenaga
pengajar. Dengan makin memadainya persediaan sarana pendidikan, maka pada tahun
1984 dapat dicanangkan kebijaksanaan wajib belajar bagi anak-anak usia 7-12
tahun. Melalui kebijaksanaan wajib belajar angka partisipasi murni SD, yaitu
rasio jumlah murid SD usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun,
dapat ditingkatkan menjadi 99,6% pada tahun 1992 dari 98,9% pada tahun 1989.
Sementara itu pada tahun keempat Repelita V angka partisipasi pendidikan
tingkat SLTP adalah 46,4% dan angka partisipasi tingkat SLTA adalah 33,6%
sedang pada tahun 1984 angka partisipasi tersebut baru mencapai 44,4% dan
28,1%. Sementara itu dalam rangka meningkatkan pengertian, pemahaman dan
kesadaran serta menumbuhkembangkan sikap dan tingkah laku bertanggung jawab
atas masalah kependudukan, sejak Repelita II terus dilaksanakan pendidikan
kependudukan dan pendidikan KB.
d.
Peningkatan Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
Penanganan masalah
kependudukan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat
luas. Dalam hubungan ini sejak Repelita IV telah dirintis usaha-usaha untuk
menumbuhkan peran serta aktif masyarakat dalam pemecahan masalah kependudukan.
Dalam kaitan ini telah dikembangkan partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) antara lain melalui upaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka di bidang
manajemen LSM Kependudukan. Selama Repelita IV telah dilaksanakanpelatihan yang
diikuti oleh 150 wakil LSM. Selanjutnya selama 4 tahun Repelita V telah
dilaksanakan pelatihan yang diikuti oleh 70 peserta wakil LSM. Usaha lain dalam
rangka meningkatkan peran masyarakat di bidang pembangunan kependudukan
dilaksanakan melalui kerja sama dengan lembaga masyarakat lainnya seperti
Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan
Dewan Gereja Indonesia (DGI). Dengan adanya kerja sama tersebut telah tergalang
kesepakatan-kesepakatan dalam usaha-usaha yang mendukung upaya pemecahan
masalah kependudukan.
e.
Peningkatan Pusat Studi Kependudukan
Kesadaran mengenai keterkaitan
masalah-masalah kependudukan dengan pembangunan semakin meningkat baik di
tingkat nasional, regional, maupun di tingkat lokal. Permasalahan kependudukan
yang dihadapi di tingkat nasional dan di daerah-daerah cukup bervariasi. Di
propinsi-propinsi di pulau Jawa dan Bali masalah kependudukan utama yang
dihadapi adalah masalah yang berkaitan dengan tingginya kepadatan penduduk per
km2. Di banyak propinsi di luar Jawa-Bali masalah-masalah kependudukan yang
dihadapi berhubungan dengan rendahnya kepadatan penduduk per km2. Oleh karena itu
peran Pusat Studi Kependudukan (PSK) cukup berarti dalam rangka pengembangan
informasi baik secara umum maupun sebagai masukan bagi perencanaan baik di
tingkat nasional maupun di tingkat regional. PSK-PSK ini merupakan bagian dari
universitas negeri setempat.
Dalam rangka mendukung
pengembangan dan peran PSK sejak Repelita IV telah diselenggarakan pelatihan
teknik analisis dan pelatihan manajemen bagi 31 PSK. Di samping itu dalam
rangka meningkatkan kemampuan analisis para peneliti kepada PSK juga telah diberikan
peralatan komputer melalui dana program kependudukan. Sementara itu sejak tahun
1987 telah diberikan beasiswa bagi 139 orang peneliti dari PSK untuk program
pendidikan S-2 dan S-3 di berbagai bidang keilmuan yang berkaitan dengan
kependudukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Adapun bidang-bidang
keilmuan yang diberikan prioritas meliputi demografi, kesehatan masyarakat,
geografi, ekonomi, sosiologi, dan perencanaan daerah. Dengan demikian mereka
diharapkan dapat memperkuat PSK di berbagai perguruan tinggi di daerah.
f.
Keserasian Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Pola pembangunan berkelanjutan
mengandung makna mendayagunakan sumber alam yang tersedia dengan tetap
memelihara secara memadai agar dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan
kegiatan-kegiatan pembangunan di masa depan. Unsur-unsur terciptanya
pembangunan berkelanjutan adalah interaksi yang serasi antara perkembangan
kependudukan dan keadaan lingkungan dalam proses pembangunan. Dalam upaya
memantau keserasian perkembangan kependudukan dan keadaan lingkungan hidup
mulai Repe- lita IV telah disusun Neraca Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) di seluruh propinsi. Penyusunan NKLD merupakan
faktor penting dalam perencanaan daerah. Hal ini disebabkan NKLD merangkum
secara terkait dan terintegrasi informasi mengenai masalah-masalah kependudukan
dan lingkungan hidup di masing-masing daerah. Selanjutnya dalam Repe-
lita V dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan kelengkapan data
NKLD dan terciptanya Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nasional (NKLN).
Untuk meningkatkan wawasan
keserasian kependudukan dengan lingkungan hidup telah diselenggarakan penataran
bagi para widyaiswara Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA), Sekolah
Pimpinan Administrasi Tingkat Madya (SEPADYA) dan Sekolah Pimpinan Administrasi
Tingkat Lanjutan (SEPALA) di berbagai departemen. Sementara itu pendidikan
kependudukan yang berwawasan lingkungan telah tercakup dalam kurikulum
pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dengan mengintegrasikannya dalam
materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Melalui jalur keagamaan telah
dikembangkan pula modul kependudukan dan lingkungan hidup. Dengan demikian
pemahaman masyarakat tentang permasalahan pembangunan di bidang kependudukan
dan lingkungan hidup diharapkan akan semakin dalam dan luas.
g.
Registrasi Penduduk
Data yang dihasilkan dari
registrasi penduduk merupakan data yang sangat diperlukan bagi perencanaan
pembangunan. Hal ini sangat diperlukan oleh karena data yang dihasilkan oleh
registrasi merupakan data yang bersumber dari unit administrasi pemerintahan
yang terendah dan dengan demikian akan membantu upaya khususnya perencanaan
pembangunan dari bawah. Untuk meningkatkan mutu registrasi penduduk diupayakan
berbagai langkah seperti perbaikan tata cara pencatatan, pelatihan aparat
pelaksana dan memotivasi masyarakat agar menyadari pentingnya registrasi
penduduk. Upaya peningkatan mutu registrasi penduduk telah dimulai
sejak awal Repelita V dengan dilaksanakannya pelatihan petugas
pencatatan dan pelaporan data kependudukan hingga tingkat desa. Untuk itu telah
diselenggarakan pelatihan bagi petugas registrasi yang diikuti oleh wakil-wakil
dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Biro Pusat Statistik
(BPS) di 58 kabupaten.
KELUARGA BERENCANA
1.
Kebijaksanaan dan Langkah-langkah
Program keluarga berencana
bertujuan untuk membangun manusia Indonesia sebagai obyek dan subyek
pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga. Di
samping itu pelaksanaan program KB juga diarahkan untuk menurunkan tingkat
kelahiran atas dasar kesadaran dan tanggung jawab seluruh masyarakat dengan
cara memilih metode kontrasepsi sward sukarela. Dengan demikian program KB akan
merupakan cermin dari upaya menurunkan tingkat kelahiran dan sekaligus membangun
keluarga sejahtera. Langkah-langkah pelaksanaan program KB diawali dengan pendekatan
klinik selama Repelita I. Dalam hal ini semua pelayanan KB pada saat itu
dilakukan melalui klinik. Sejalan dengan semakin diterimanya program KB di
kalangan masyarakat luas maka dilaksanakan pendekatan kemasyarakatan pada awal
Repelita III. Dalam hal ini klinik tetap berfungsi sebagai pusat pelayanan dan
rujukan tetapi beberapa macam pelayanan KB lainnya dilakukan lewat masyarakat,
misalnya pemberian penerangan dan motivasi serta pelayanan ulang kontrasepsi
pil dan kondom.
Melalui pendekatan kemasyarakatan
tersebut telah berhasil dibentuk dan dikembangkan kelompok-kelompok peserta KB
di kalangan masyarakat yang sekaligus merupakan upaya peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan program KB. Dengan makin diterimanya KB sebagai kebutuhan
dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia dan dengan telah meningkatnya peran
serta masyarakat maka mulai dirintis kemandirian dalam pelaksanaan program.
Kebijaksanaan ini dirintis sejak awal Repelita V yang sekaligus menjadikan
pelaksanaan program KB sebagai gerakan KB. Bersamaan dengan itu dilakukan pula
upaya peningkatan kualitas pelayanan KB. Dari segi liputan wilayah, pelaksanaan
program KB berawal dari daerah Jawa-Bali yang padat penduduknya. Berdasarkan
pengalaman selama Repelita I tersebut, sejak awal Repelita II program KB mulai
dirintis di 10 propinsi lain di luar Jawa-Bali. Selanjutnya pada awal Repelita
III, mulai dirintis pelayanan program KB di sebelas propinsi lainnya.
Dengan demikian sejak Repelita III liputan
program KB telah mencakup seluruh wilayah Indonesia. Untuk mencapai tujuan
program KB yang juga merupakan kegiatan pembangunan di bidang sumber daya
manusia diperlukan berbagai sasaran kebijaksanaan di bidang keluarga berencana.
Hingga kini telah dilakukan beragam upaya seperti penerangan dan motivasi,
pelembagaan KB di masyarakat, pendidikan Kependudukan dan KB, pendidikan dan
pelatihan petugas pengelola program, pelayanan kontrasepsi, pengadaan sarana
dan pemantauan hasil kegiatan.
2.
Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a.
Penerangan dan Motivasi
Kebijaksanaan penerangan dan
motivasi KB pada awal Repelita I ditujukan untuk membangkitkan perhatian
masyarakat tentang keluarga berencana dan masalah kependudukan. Selanjutnya
pada Repelita III ditanamkan kesadaran masyarakat tentang sikap dan praktek
keluarga berencana serta norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (NKKBS). Selama
Repelita V pelaksanaan penerangan dan motivasi lebih ditekankan pada usaha
pelembagaan NKKBS dalam rangka upaya pemindahan tanggung jawab pelaksanaan
program KB kepada masyarakat. Sementara itu sebagai wujud dari usaha
pelembagaan dan pembudayaan program KB, secara bertahap pengelolaan program
telah diarahkan menuju kemandirian. Pada tahap pertama sasaran kemandirian
adalah kelompok masyarakat yang secara sadar siap untuk ber-KB namun masih
memerlukan bantuan sarana dan pelayanan KB secara penuh dari pemerintah.
Pada tahap selanjutnya sasaran
kemandirian adalah kelompok masyarakat yang secara sadar siap ber-KB tetapi
hanya memerlukan bantuan pemerintah untuk memenuhi keperluan sarana. Dengan
demikian mereka diajak mandiri dalam pelayanan KB-nya. Sasaran pada tahap ke
tiga adalah kelompok masyarakat yang secara sadar siap ber-KB dan sudah mampu
memenuhi sarana dan pelayanan KB. Penerangan tentang ragam dan ciri
kontrasepsi juga ditingkatkan sehingga peserta KB dapat menentukan alat
kontrasepsi yang paling sesuai untuk dirinya. Selain itu juga diberikan
penjelasan tentang penggunaan alat kontrasepsi yang tepat guna, yaitu alat
kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan dalam waktu yang lebih lama. Dalam
kegiatan penerangan dan motivasi disampaikan pula penjelasan tentang
pusat-pusat pelayanan KB, baik penerangan KB secara umum maupun penerangan
medis KB.
Upaya pemberian penerangan dan
motivasi KB juga dilakukan dengan meningkatkan peran kelompok masyarakat dalam
memasyarakatkan program KB. Penerangan kelompok utamanya ditujukan kepada
kelompok yang mempunyai peran di kalangan masyarakat seperti para pemuka agama,
kelompok kegiatan wanita seperti Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK),
organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna, dan perseorangan seperti para
tokoh masyarakat. Selama periode Repelita IV telah pula dilibatkan perusahaan
swasta dan organisasi profesi untuk meningkatkan penerangan dan motivasi
dilingkungan mereka melalui kampanye Keluarga Kecil Mandiri, dan kegiatan KB
Perusahaan. Kampanye Ibu Sehat Sejahtera (KISS) yang dicanangkan sebagai wahana
untuk menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera diluncurkan pada tahun
1991/92. Kegiatan KISS mengutamakan pelayanan bagi ibu dan anak dengan harapan
angka kesakitan dan kematian dikalangan mereka akan menjadi lebih kecil dari
pada sebelumnya. Dengan adanya kegiatan KISS diharapkan kesertaan untuk ber-KB
menjadi meningkat karena dipadukan dengan kegiatan peningkatan gizi keluarga,
kampanye Air Susu Ibu (ASI), pendidikan keterampilan bagi wanita dalam usaha
meningkatkan pendapatan keluarga, pendewasaan usia kawin pertama, serta
pengaturan kehamilan pertama.
Adapun kegiatan penerangan KB
pada umumnya dilakukan melalui media cetak dan elektronik. Peningkatan
penerangan melalui media cetak dilakukan melalui kerja sama dengan Persatuan
Wartawan Indonesia. Sementara itu pesan-pesan KB yang disiarkan melalui media
elektronik seperti radio dan televisi disampaikan dalam acara sandiwara,
sinetron, iklan, wayang orang, dan ketoprak. Khusus untuk penyelenggaraan
kegiatan penerangan dan motivasi di daerah terpencil dilaksanakan oleh Unit Penerangan
Keliling dan Tim Keluarga Berencana Keliling (TKBK). Dalam pelaksanaannya
kegiatan penerangan di daerah ini dipadukan dengan kegiatan pelayanan
kontrasepsi di tempat yang sama. Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan
kepada masyarakat, selama lima tahun terakhir ini telah dilakukan pengadaan
mobil unit penerangan keluarga berencana keliling.
b.
Pelembagaan Program
Pelembagaan program merupakan
proses lanjutan setelah upaya menanamkan kesadaran masyarakat untuk
melaksanakan program KB berlangsung. Upaya ini dilakukan dengan membentuk
kelompok peserta KB di berbagai lapisan masyarakat. Pesan-pesan KB di tingkat
desa disampaikan oleh kelompok yang disebut Pembina Peserta KB Desa (PPKBD)
sedang pada tingkatan di bawah desa oleh Sub-PPKBD. Pembentukan PPKBD dan
Sub-PPKBD di mulai pada awal Repe- lita II sehingga pada akhir Repelita II
jumlahnya sudah sebanyak 90,1 ribu buah dan pada akhir Repelita III sudah
menjadi 184,2 ribu buah (Tabel XIX-1). Pada akhir Repelita IV
jumlah tersebut telah menjadi 301,1 ribu buah atau bertambah 63,5 persen dari
jumlah pada akhir Repelita III. Hingga tahun keempat Repelita V, jumlah
PPKBD dan Sub-PPKBD sudah mencapai 384,0 ribu buah. Jika jumlah ini
dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1987/88 ternyata
terdapat kenaikan jumlah PPKBD dan Sub-PPKBD sebanyak 96,6 ribu buah.
Perkembangan jumlah PPKBD dan
Sub-PPKBD menunjukkan semakin besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
program KB. Sementara itu penyebaran PPKBD dan Sub-PPKBD sampai ke tingkat
pedukuhan memberikan kemudahan pelayanan kontrasepsi kepada peserta KB
khususnya para peserta yang tinggal jauh dari klinik KB dan memakai alat
kontrasepsi pil atau kondom yang tidak memerlukan pelayanan medis pada saat
pelayanan ulang. Dengan demikian para peserta KB tidak lagi tergantung kepada
pusat-pusat pelayanan yang disediakan pemerintah. Dalam usaha melestarikan
kesertaan masyarakat dalam program KB dan meningkatkan kesejahteraan keluarga
peserta KB, telah ditumbuh kembangkan usaha peningkatan pendapatan keluarga
akseptor (UPPKA). Sasaran utama kegiatan UPPKA adalah peserta KB di
daerah yang miskin, padat penduduk, dan telah membentuk organisasi
kekeluargaan atau kelompok peserta KB. Melalui kegiatan ini mereka diberi
bantuan modal untuk usaha kegiatan kelompok seperti koperasi simpan
pinjam, industri kecil, dan kerajinan rumah tangga. Di samping itu
juga dilaksanakan pelatihan keterampilan bagi wanita dan
pemuda yang dilaksanakan melalui jalur organisasi kekeluargaan atau kelompok
peserta KB di bawah naungan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) maupun
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Menyadari pentingnya balita yang
pada saatnya akan berperan sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, maka
sejak Repelita IV telah dilaksanakan kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB).
Sasaran kegiatan adalah para ibu yang mempunyai balita dan melalui kegiatan ini
mereka diharapkan dapat membina dan mendidik anak balitanya dengan baik. Selama
lima tahun terakhir jumlah kelompok BKB yang dibentuk telah meningkat menjadi
hampir empat puluh lima kali lipat, yaitu dari 1.224 kelompok pada tahun
1987/88 menjadi 53,5 ribu kelompok pada tahun 1992/93. Peningkatan jumlah BKB
ini akan mempunyai dampak langsung pada peningkatan kualitas sumber daya
manusia generasi muda. Kegiatan integrasi KB lainnya adalah KB-Kesehatan yang
dilaksanakan melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan merupakan keterpaduan
antara kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan keluarga berencana. Kegiatan
ini meliputi pelayanan KB, peningkatan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi,
penanggulangan diare dan pemberian imunisasi yang diselenggarakan secara
sukarela oleh masyarakat. Hingga kini telah terbentuk lebih dari 231,9 ribu
kelompok. Di samping itu, pelayanan terpadu KB juga
dilaksanakan di daerah pemukiman transmigrasi(KB-Transmigrasi) dan telah
dimulai sejak awal Repelita IV di lima propinsi serta mencakup 595 Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT). Sampai pada saat ini kegiatan telah mencakup 13
propinsi penerima transmigran yang meliputi 640 UPT. Kegiatan sejenis telah
pula dilakukan di wilayah kumuh, didaerah perkotaan, daerah pantai, daerah
kepulauan serta kawasan industri. Sementara itu telah pula dilakukan
keterpaduan kegiatan KB dengan upaya pembangunan lain, seperti industri,
koperasi, pertanian, kehutanan dan sebagainya.
c.
Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Generasi muda berperan penting
dalam penanggulangan masalah kependudukan dan KB karena pada saatnya mereka
akan memasuki gerbang perkawinan dan mempunyai anak. Untuk itu dikalangan
mereka perlu ditanamkan pengertian dan ide KB melalui pendekatan
pendidikan. Pelaksanaan pendidikan kependudukan melalui jalur
pendidikan formal telah dikoordinasikan dengan sektor pendidikan dengan
mengintegrasikan materi kependudukan dan KB ke dalam 5 bidang studi yaitu
pendidikan agama,. ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa
Indonesia dan pendidikan moral Pancasila. Untuk maksud tersebut telah dilakukan
penataran terhadap 35,9 ribu guru tingkat dasar, menengah, atas dan dosen
perguruan tinggi. Peserta diberi bekal pengetahuan tentang masalah kependudukan
serta Cara-cara mengintegrasikan materi kependudukan dan KB ke dalam bidang
studi masing-masing. Dalam Repelita III materi pendidikan kependudukan telah
mengalami penyempurnaan lebih lanjut dan telah dilaksanakan penataran terhadap
88,4 ribu peserta. Jumlah peserta penataran dalam Repelita IV telah mengalami
peningkatan menjadi 224,6 ribu peserta atau meningkat dengan 154,1% jika
dibandingkan dengan Repelita III. Di samping itu telah pula diadakan buku
panduan guru dan bacaan siswa. Selanjutnya sejak Repelita V pendidikan kependudukan
dan KB menjadi semakin penting dan telah diintegrasikan ke dalam kegiatan
pendidikan umum.
Adapun pendidikan kependudukan
dan KB di luar sekolah dilakukan melalui berbagai kegiatan pemuda dan generasi
muda. Materi pendidikan yang diberikan mencakup pengetahuan kehidupan
berkeluarga dan reproduksi. Untuk memasyarakatkannya, pada tahun kedua Repelita
V telah diadakan jambore kependudukan yang dihadiri oleh 108 peserta dari
berbagai organisasi pemuda. Di samping itu telah diadakan pula lomba pidato yang
berkaitan dengan kependudukan dengan menyertakan unsur Karang Taruna dan Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Salah satu dampak dari pendidikan
Kependudukan dan Keluarga Berencana tercermin antara lain melalui peningkatan
rata-rata umur perkawinan pertama, yaitu dari 20,0 tahun pada tahun 1980
menjadi 21,9 tahun pada tahun 1990. Pada tahun 1990/91 pendidikan KB telah
diintegrasikan dalam kegiatan Badan Penasehat Perkawinan dan
Perceraian (BP4) Departemen Agama. Di samping itu telah dilakukan
orientasi pendidikan KB bagi petugas Konseling Pra Nikah di lingkungan
Katolik dan Kristen. Sasaran kegiatan ini adalah pasangan-pasangan yang akan
menikah, sehingga mereka punya cukup bekal pengetahuan dalam mempersiapkan
kehidupan berkeluarga.
d.
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Program
Keterampilan teknis operasional
tenaga program merupakan unsur penting dalam mencapai tujuan program KB. Untuk
itu keterampilan mereka ditingkatkan terus guna melipatgandakan kualitas
pengelolaan dan pelaksanaan program. Dibandingkan dengan keadaan Repelita I
hingga IV, jumlah tenaga yang mengikuti pelatihan dalam Repelita V telah
mengalami peningkatan pesat. Selama Repelita I telah dilatih 42,4 ribu orang
tenaga program yang meliputi berbagai kategori (Tabel XIX-2) sedangkan selama
Repelita II jumlah tersebut telah meningkat menjadi 84 ribu orang. Selanjutnya
jumlah ini mencapai 4 kali lipat dalam Repelita III atau 347,8 ribu orang dan
menjadi 507,2 ribu orang dalam Repelita IV. Dalam tiga tahun pertama Repelita V
telah dilatih sebanyak 1,3 juta tenaga program KB atau 50 persen dari target
Repelita V, sedangkan dalam tahun 1992/93 telah dilatih sebanyak 543,2 ribu
orang tenaga program. Kebijaksanaan yang menonjol selama lima tahun terakhir
adalah dimulainya kembali pelatihan KB untuk bidan. Pada tahun 1990/91 dan
1991/92 peserta pelatihan terdiri dari petugas lapangan KB dan kesehatan yang
mempunyai latar belakang pendidikan paramedis. Sejak tahun 1992/93 pesertanya
hanyalah petugas lapangan kesehatan yang mendapatkan pendidikan bidan. Jumlah
peserta pelatihan selama lima tahun yang lalu terus meningkat hingga mencapai
8.662 orang pada tahun 1991/92. Pada tahun 1992/93 jumlah peserta menurun
menjadi 3.001 orang karena disesuaikan dengan jumlah tenaga paramedis yang
mendapatkan pendidikan bidan. Mereka dididik menjadi bidan dan selanjutnya
ditempatkan di desa. Peningkatan ini sangat bermanfaat bagi efektifitas
berbagai pelayanan kesehatan dan KB pada tingkat keluarga dan desa. Bidan-bidan
tersebut dapat memberikan penyuluhan KB pada saat melakukan pertolongan
persalinan. Pemberian informasi pelayanan KB dan kesehatan pada saat persalinan
akan mempunyai dampak yang lebih efektif dibandingkan dengan cara-cara
penyuluhan lainnya.
Di samping memberikan penyuluhan,
adanya bidan di desa akan dapat memberikan pelayanan medis alat kontrasepsi
yangbiasanya diberikan oleh dokter Puskesmas. Dengan demikian, adanya bidan di
desa akan dapat memperluas pemerataan dan jangkauan pelayanan kontrasepsi
medis.Selain pelatihan bagi tenaga-tenaga di atas, untuk membina mutu tenaga
pengelola program telah dilaksanakan pendidikan lanjutan dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan ke perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri.
Para tenaga pengelola program yang diberi beasiswa berasal dari berbagai
instansi Pemerintah seperti Badan Koordinasi KB Nasional, Departemen Kesehatan,
Departemen Penerangan, Departemen Agama, Biro Pusat Statistik, dosen dari
berbagai universitas, dan lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga
Kemaslahatan Keluarga Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia. Hingga tahun pertama Repelita V telah diberikan beasiswa
kepada 286 orang untuk program S1, 400 orang untuk program S2, dan 24 orang
untuk program S3. Pada tahun keempat Repelita V atau tahun 1992/93, tenaga
program yang mendapatkan beasiswa adalah 106 orang untuk program S1, 80 orang
untuk program S2, dan 4 orang untuk program S3. Bidang-bidang keilmuan yang
diberi prioritas antara lain demografi, komunikasi, kesehatan masyarakat,
epidemologi, pendidikan kependudukan, administrasi negara, administrasi dan
manajemen rumah sakit, ekonomi, sosiologi, statistik, dan komunikasi. Di
samping itu sebanyak 1.500 orang petugas lapangan keluarga berencana (PLKB)
yang bertindak sebagai ujung tombak program KB di lapangan juga diberi
pendidikan lanjutan melalui program D3 bidang komunikasi masa di Universitas
Terbuka.
e.
Pelayanan Kontrasepsi
Keberhasilan program pembangunan
di bidang keluarga berencana berkaitan erat dengan upaya pengembangan sumber
daya manusia yang tercermin dalam mutu dan penyediaan pelayanan KB. Pelayanan
kontrasepsi non medis seperti kondom dan pil dilaksanakan melalui Pos KB,
PPKBD dan Sub-PPKBD. Sedangkan pelayanan yang lebih bersifat medis
dilakukan melalui Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik KB, maupun Tim KB Keliling
(TKBK). Sehubungan dengan hal ini semua pelayanan medis kontrasepsi terus
ditingkatkan. Selain melayani peserta KB klinik KB juga berfungsi sebagai
tempat rujukan dan pengayoman medis bagi penanggulangan komplikasi dan efek
samping penggunaan alat kontrasepsi. Dalam Program KB Rumah Sakit (PKBRS)
dilakukan pula kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) medis bagi calon
peserta KB. Jumlah klinik yang memberi pelayanan KB pada akhir Repelita I
berjumlah 2.235 buah (Tabel XIX-3). Pada akhir Repelita IV jumlah klinik sudah
bertambah 320,0 persen dari jumlah klinik pada akhir Repelita I. Sementara itu
dalam lima tahun terakhir jumlah klinik KB telah meningkat dari 8.880 buah pada
tahun 1987/88 menjadi 12.086 buah pada tahun 1992/93 atau telah meningkat
dengan 36,1 %. Perkembangan jumlah klinik swasta dalam kurun waktu tersebut
juga merupakan hal yang cukup menggembirakan, yaitu naik dengan 47,9%.
Sejalan dengan peningkatan jumlah
klinik, jumlah personalia klinik KB juga terus meningkat. Jumlah personalia
klinik KB yang pada akhir Repelita I hanya sebanyak 7,4 ribu orang telah
meningkat menjadi 37,3 ribu orang pada akhir Repelita IV. Jumlah tersebut terns
bertambah hingga mencapai 46,4 ribu orang di tahun 1992/93 (Tabel XIX-4) dengan
peningkatan sekitar 13,7 ribu orang dibandingkan dengan tahun 1987/88. Khusus
bagi para peserta KB yang bertempat tinggal jauh dari klinik dan rumah sakit
tersedia pelayanan Tim KB Keliling. Kegiatan TKBK di seluruh Indonesia mencakup
pelayanan, penerangan, dan motivasi dan dalam pelaksanaannya mencapai daerah
terpencil dan sulit. Selama lima Repelita terlihat bahwa jangkauan ini semakin
luas seperti terlihat dalam Tabel XIX-5. Sejak tahun
1987/88 kegiatan TKBK mulai menurun. Hal ini bukan disebabkan penurunan
aktifitas, melainkan semakin sedikitnya wilayah terpencil yang belum pernah
dijangkau oleh Tim, utamanya di Jawa-Bali. Di wilayah lain yang meliputi
propinsi-propinsi Riau, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur,
dan Timor Timur dan baru mulai terjangkau pada Repelita III nampak mengalami
perkembangan kunjungan TKBK setiap tahunnya.Sesuai dengan kebijaksanaan menuju
kemandirian program, maka pada tahun pertama
Repelita V, mulai dicanangkan kegiatan KB Mandiri. Bagi masyarakat yang mampu
keikutsertaan mereka dalam program KB dipenuhi melalui pelayanan dokter swasta.
Mereka diharapkan membayar biaya pelayanan dan membeli alat kontrasepsinya.
Sementara itu bagi masyarakat yang kurang mampu, alat kontrasepsinya masih
diberikan secara cuma-cuma melalui program KB sedang mereka membayar
pelayanannya. Jumlah peserta KB yang telah mandiri diperkirakan telah mencapai
sekitar 20 persen dari seluruh peserta KB pada tahun keempat Repelita V.
f.
Pencapaian Peserta KB Baru
Sasaran utama program KB adalah
pasangan usia subur (PUS). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 tercatat
sekitar 31,0 juta wanita berstatus kawin di Indonesia pada tahun ke dua
Repelita V. Jumlah tersebut 10,7 juta pasangan lebih besar dari pada PUS
menurut hasil Sensus Penduduk tahun 1971. Sejak Repelita I persentase
pencapaian peserta KB baru (Tabel XIX-6) terus
meningkat yaitu dari 92,4 persen pada akhir Repelita I menjadi 100,7 persen
pada akhir Repelita II dan menjadi 185,6 persen pada akhir Repelita III. Pada
akhir Repelita IV persentase pencapaian menurun (menjadi 95,7 persen)
dibandingkan pada akhir Repelita III. Hal ini disebabkan perluasan jangkauan
program KB yang mulai mencakup seluruh Indonesia. Namun dalam tahun 1990/91
persentase pencapaian peserta KB baru dapat mencapai 101,6 persen sedang untuk
tahun 1991/92 adalah 102,8 persen. Sampai pada bulan November 1992 telah
dicapai 65,3 persen dari. sasaran tahun ke empat Repelita V.
Sasaran program dalam Repelita V
adalah peningkatan jangkauan pelayanan yang dilakukan melalui perluasan
motivasi terus menerus serta perluasan wilayah program dengan meningkatkan
pelayanan ke daerah sulit sementara mutu pelayanan tetap diusahakan perbaikannya.
Selain itu macam kontrasepsi yang dipakai masyarakat di suatu wilayah juga
diusahakan beragam macamnya. Dengan demikian ketidakcocokan terhadap salah satu
metode bisa ditanggulangi dengan mengganti metode lain. Kualitas dan
perkembangan hasil program KB tercermin pula dari ragam kontrasepsi yang
digunakan peserta KB. Jumlah peserta KB baru menurut metode kontrasepsi terus
meningkat untuk hampir semua metode kecuali Pil dan IUD (Tabel XIX-7). Namun
penurunan peserta KB baru yang memakai Pil, IUD, dan Kondom lebih disebabkan
oleh pergeseran akseptor ke metode lain utamanya dengan telah tersedianya
metode baru yaitu Implant yang merupakan alat kontrasepsi dengan perlindungan
terhadap kehamilan yang relatif lebih lama, yaitu lima tahun. Persentase
peserta KB yang memakai Implant pada tahun 1987/88 baru sebesar 2,7% sementara
pada tahun 1992/93 telah menjadi 6,9%.
g.
Pencapaian Peserta KB Aktif
Pencapaian peserta KB aktif
merupakan salah satu indikator kuantitatif keberhasilan pelaksanaan
program KB. Sejak dilaksanakan pada tahun 1969/70 hingga pertengahan tahun
1992/93, jumlah pasangan usia subur yang berhasil dibina menjadi peserta KB
aktif mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel XIX-8). Peningkatan KB aktif
yang terbesar terjadi pada kurun Repelita III hingga Repelita IV karena
berkaitan dengan perluasan jangkauan program KB ke
seluruh Indonesia.Pada akhir Repelita III setelah program KB meliputi
seluruh wilayah nasional, jumlah peserta KB Aktif adalah 14,4 juta orang.
Selama Repe- lita IV jumlah ini meningkat
menjadi 18,8 juta orang dan pada tahun 1992/93 sudah mencapai 21,1 juta orang.
Pelaksanaan program selama 5 tahun terakhir telah dapat membina kesertaan KB
sebanyak 2,8 juta pasangan usia subur baru.Jumlah peserta KB aktif terbanyak
ada di Jawa-Bali dan masih sedikit di daerah Luar Jawa-Bali II. Selama kurun
Repelita V jumlah peserta KB Aktif di Jawa-Bali berkisar antara 12-14 juta
orang, sedangkan di Luar Jawa-Bali II baru mencapai 1,5-2,0 juta orang. Hal ini
dapat dimengerti karena program KB di daerah Jawa-Bali sudah dimulai sejak
tahun 1970, sedangkan di Luar Jawa-Bali II baru dimulai pada akhir Repelita
III.Menurut ragam pemakaian metode kontrasepsi, peserta KB Aktif cenderung
menggunakan Pil KB (Tabel XIX-9). Hal ini tercermin dari tingginya persentase
pemakai Pil dari akhir Repelita I hingga Repelita V. Namun, sejak tahun 1987/88
telah terjadi pergeseran pemakaian metode kontrasepsi dari Pil atau IUD ke
Suntikan. Selama lima tahun terakhir persentase peserta KB aktif yang memakai
pil telah turun dari 50,0% menjadi 34,3%. Persentase peserta KB Aktif yang
memakai kontrasepsi Suntikan pada tahun 1987/88 sebanyak 18,8 persen dan
meningkat menjadi 26,5% pada bulan November tahun 1992/93. Selain itu,
pemakaian Implant nampak meningkat pula, yaitu dari 1,2 persen pada tahun
1987/88 menjadi 6,4 persen pada bulan November 1992. Peningkatan peserta KB
Suntikan dan Implant menunjukkan makin mantapnya kesertaan dalam program KB
karena Suntikan dan Implant memiliki daya perlindungan terhadap kehamilan yang
lebih lama dan efektif dibandingkan dengan pil. Dengan demikian makin banyak
peserta KB Aktif yang memakai alatkontrasepsi dengan perlindungan terhadap
kehamilan yang lebih lama dan efektif.
h.
Prasarana dan Sarana KB
Penyediaan alat kontrasepsi
merupakan faktor penting dalam program KB di samping jumlah
dan keterampilan petugas. Oleh karena itu sejak awal program terus ditingkatkan
kualitas, kuantitas dan macam alat kontrasepsi sejalan dengan perkembangan
program dan peningkatan jumlah akseptor. Di samping itu pengadaan alat
kontrasepsi juga hams tepat waktu sehingga perkembangan program tidak akan
terhambat. Pada awal program pemasok alat kontrasepsi hanyalah dari luar negeri
tetapi sejak Repelita II pil KB dan kemudian IUD telah mampu diproduksi di dalam
negeri. Penyediaan alat kontrasepsi lain seperti kondom juga telah dapat
dipenuhi oleh produksi dalam negeri dengan telah berdirinya beberapa pabrik
kondom sejak tahun ketiga Repelita IV.
i.
Pelaporan dan Penelitian
Guna menunjang upaya mencapai
tujuan program KB pemantauan pelaksanaan dan hasil program perlu selalu
dilakukan untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan program dari waktu ke waktu.
Untuk itu sistem pelaporan atas pelaksanaan program dilaksanakan dengan cara
administrasi pencatatan maupun dengan cara modern yang berupa komputerisasi
data. Untuk meningkatkan pemantauan perkembangan program antar daerah sejak
awal Repelita V telah dikembangkan sistem penilaian dengan menggunakan
indikator majemuk yang meliputi masukan, proses, keluaran, serta dampak
program. Adapun upaya penyediaan informasi yang cepat dan akurat telah
dilakukan dengan cara pemasangan jaringan komputer jarak jauh di seluruh kantor
BKKBN propinsi. Di samping itu untuk memperkuat jalur informasi pada tingkat
Kabupaten-Propinsi, sejak tahun ketiga Repelita V telah pula dilakukan
pemasangan komputer di Kabupaten/Kotamadya. Perkembangan jaringan komunikasi
dan pengolahan data dengan komputer ini diharapkan akan mendorong terbentuknya
bank data dan data dasar manajemen yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan
program KB secara menyeluruh.
Kemajuan pesat yang selama ini
terus diupayakan dalam pelaksanaan program KB juga ditunjang oleh penelitian
ilmiah. Hasil penelitian dengan cakupan nasional dapat dijadikan dasar
penyusunan program KB pada setiap awal periode Repelita berikutnya. Penelitian
semacam ini telah mulai dilaksanakan dalam skala besar pada pertengahan
Repelita IV atau pada tahun 1987 dengan nama Survai Prevalensi Indonesia.
Pengembangan cakupan dan materi survai diselenggarakan pada tahun 1991 dengan
nama Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia. Data penelitian tersebut diolah
dalam waktu singkat, yaitu 3 bulan setelah pengumpulan data dan hasil
analisisnya akan diterbitkan pada akhir tahun 1992/93. Di samping upaya
penelitian tersebut, hingga tahun ini telah pula dilakukan berbagai penelitian
dalam skala kecil dan pada tingkat regional.
KESIMPULAN
Pertumbuhan penduduk merupakan
keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan
kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Secara terus menerus
penduduk akan di pengaruhi oleh jumlah bayi yang lahir (fertilitas), tetapi
secara bersamaan pula akan di kurangi oleh jumlah kematian (mortalitas) yang
terjadi pada semua golongan umur, serta perpindahan penduduk (mobilitas) juga
akan mempengaruhi bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah
atau Negara. Pembangunan di bidang kependudukan yang telah dirintis sejak
Repelita I dimaksudkan untuk mengatasi masalah tingkat pertumbuhan penduduk
yang tinggi dan persebaran penduduk yang kurang merata. Jumlah penduduk yang
besar mempunyai dampak terhadap proses dan hasil usaha pembangunan. Jumlah
penduduk yang besar tersebut apabila mampu berperan sebagai tenaga kerja yang
berkualitas akan merupakan modal pembangunan yang besar dan akan sangat
menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan di segala bidang. Sehubungan dengan
itu, pembangunan di bidang kependudukan di samping diarahkan pada upaya
pencapaian sasaran-sasaran yang langsung ditujukan pada
penurunan laju pertumbuhan penduduk, juga dititikberatkan pada upaya
peningkatan kualitas penduduk sebagai pelaku dan sasaran pembangunan bangsa dan
negara. Upaya-upaya peningkatan kualitas penduduk antara lain meliputi upaya
peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan
kemasyarakatan
Jumlah penduduk Indonesia selama
ini terus bertambah. Sejak tahun 1968 penduduk Indonesia bertambah dari 115,0
juta orang menjadi 147,5 juta orang pada tahun 1980 dan 179,9 juta orang pada
tahun 1990. Laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1971-1980 adalah 2,32%
per tahun sedangkan selama kurun waktu 1980-1990 menurun menjadi 1,97% per
tahun. Pada akhir PJPT I jumlah penduduk diperkirakan akan berjumlah 192,1 juta
orang. Dengan demikian jumlah penduduk selama PJPT I telah bertambah sebanyak
77,1 juta orang atau 67,0 % dari jumlah penduduk tahun 1968. Laju
pertumbuhan penduduk tersebut diperkirakan akan terus menurun sehingga dalam
kurun waktu 1990-1994 pertumbuhan penduduk diperkirakan menjadi 1,65% per tahun.
Jelaslah bahwa usaha-usaha pembangunan di bidang kependudukan selama PJPT I
telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan. Program
keluarga berencana bertujuan untuk membangun manusia Indonesia sebagai obyek
dan subyek pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan ibu, anak, dan
keluarga. Di samping itu pelaksanaan program KB juga diarahkan untuk menurunkan
tingkat kelahiran atas dasar kesadaran dan tanggung jawab seluruh masyarakat
dengan cara memilih metode kontrasepsi sward sukarela. Dengan demikian program
KB akan merupakan cermin dari upaya menurunkan tingkat kelahiran dan sekaligus
membangun keluarga sejahtera. Langkah-langkah pelaksanaan program KB diawali
dengan pendekatan klinik selama Repelita I. Dalam hal ini semua pelayanan KB pada saat itu
dilakukan melalui klinik. Sejalan dengan semakin diterimanya program KB di
kalangan masyarakat luas maka dilaksanakan pendekatan kemasyarakatan pada awal
Repelita III. Dalam hal ini klinik tetap berfungsi sebagai pusat pelayanan dan
rujukan tetapi beberapa macam pelayanan KB lainnya dilakukan lewat masyarakat,
misalnya pemberian penerangan dan motivasi serta pelayanan ulang kontrasepsi
pil dan kondom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar