SEJARAH
KEBUDAYAAN BANTEN
Banten
memiliki sejarah kebudayaan yang cukup tua dari masa Pra-Sejarah, masa Hindu
dan Budha, masa kesultanan Islam, masa kejayaan, masa kebertuanan Belanda, masa kehancuran kesultanan, masa kolonial
belanda dan Jepang, masa kemerdekaan dan masa terbentuknya menjadi Provinsi .
1. Masa Pra-Sejarah (abad 10
- 1SM)
Kebudayaan
Banten tidak setua kebudayaan lembah Indus, Mohenjodaro, dan Harappa di India,
atau kebudaayaan Mesir Kuno atau kebudayaan Inka dan Aztek di Amerika Latin,
namun kehidupan prasejarah dari umur geologi tertua daapat diidentifikasi.
Ditemukannya sejumlah peralatan batu di situs Odel, Anyer Kidul oleh arkeolog
Belanda di awal abad ke-XX yang mengindikasi keberadaan orang purba di Banten.
Orang Banten tinggal dalam kelompok-kelompok kecil disekitar lereng-lereng
pegunungan subur disekitar sungai-sungai kecil, sebagai bukti sejarah
pemujaannya pada Dewi Sri atau Sanghyang Pohaci yang pusat upacaranya di Lebak
Sibedug, Citaman dan Cihunjuran, Sanghyang Dengdek dan lain-lain.
2. Masa Hindu Budha (abad 1
- 16 M)
Pada
masa ini struktur kebuadayaan Banten berubah perlahan, status sosial tampak
sejak dikenalkannya konsep kerajaan bercorak Hindu yang mengenal kasta. Era ini
sejak masa ekspansi kerajaan Tarumanagara sampai era kerajaan Banten Girang
(abad 10 – 16 M). Gunung pulosari pada masa itu dianggap sebagai gunung
keramat, sejumlah arca Hindu, batu tapak kaki dan batu pipisan yang ditemukan
sejumlah tempat di sekitar lereng gunung ini menunjukkan keberadaan masyarakat
dengan sistem kepercayaan Hindu.
3. Masa Kesultanan Islam (1529-1808)
Kesultanan
Banten berawal dari kendali kerajaan Demak atas perairan utara dan barat Jawa
serta Sumatera Selatan, kemudian dikuti dengan pengangkatan Sultan Maulana
Hasanuddin oleh Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Banten pada tahun 1529 yang
kemudian melakukan penaklukan Kerajaan Banten Girang. Kekuasaan Sultan Maulana
Hasanuddin yang ahli strategi militer dan dagang ini mampu melakukan penaklukan
pusat keraajaan Sunda di Pajajaran (Bogor).
Watu
Gilang yang digunakan sebagai tempat pelantikan Sultan Banten pertama, Istana
Surosowan, jaringan jalan darat antara Banten Lama dan Banten Girang sepanjang
tanggul Cibanten adalah tapak jejak sejarah Sultan Maulana Hasanuddin dan juga
disebut-sebut melakukan perjalanan dari muara Cibanten ke Gunung Pulosari.
4. Masa Kejayaan (1618 -
1683)
Kesultanan
Banten mengalami era keemasan, berlangsung antara 1619-1682 akibat dari
penerapan kebijakan ekonomi politik lada yang tepat. Kesultanan Banten menjadi
salah satu eksportir komoditas paling berharga saat itu lada yang menguasai
pasar Eropa, Cina dan Timur Tengah. Dan pada saat itu tumbuh menjadi satu dari
tiga kekuatan seimbang di laut Jawa, bersaing dengan Mataram dan VOC. Kemampuan
finansial yang kuat memungkinkan Sultan Banten membangun armada laut sehingga
mampu menjebol blokade laut oleh Belanda, membiayai proyek-proyek besar seperti
proyek irigasi dengan membendung sungai-sungai, membuka lahan persawahan baru
dan transmigrasi penduduk Banten ke DAS Cisadane, Cipasilian, Cidurian dan
Ciujung, kemudian pembangunan keraton Tirtayasa.
Pada
masa itu kemegahan istana Surosowan dikenal di Nusantara dan membayangi
imajinasi para penyair Eropa. Tata kota yang rapih dengan jaringan kanal yang
teratur dan indah, terhubung dengan jalan-jalan di perkotaan. Dengan demikian,
para pedagang dari berbagai belahan dunia tinggal dengan nyaman di loji-loji
dagang mereka. Dinamika kehidupan saat itu mendorong terciptanya spesialisai
pekerjaan, pemberlakuan sistem peradilan yang mumpuni, penerapan bea cukai yang
ketat di pabean. Kesultanan Banten tetap menjadi salah satu pusat pendidikan
Islam terdepan di Asia Tenggara.
5. Masa Kebertuanan Belanda
(1684 - 1808)
Diawali
dengan berakhirnya kedaulatan ekonomi dan politik Kesultanan Banten dengan
ditandatanganinya ‘traktat lada’ sebagi kompensasi bantuan VOC kepada Sultan
Haji, pada peperangan melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Monopoli
kesultanan atas harga lada yang memberi income 40% dari setiap penjualan lada
doi pelabuhan Banten berakhir setelah itu berdampak secara politik. Sultan
tidak lagi berdaulat penuh atas tata kelola pemerintahan dan perdagangan di
wilayah kekuasaannya. Suksesi kepemimpinan selalu ditentukan oleh VOC. Monopoli
perdagangan lada berada dalam genggaman penuh VOC.
Masyarakat
Banten berhadapan dengan benturan nilai antara Islam lokal dan Barat, sebagai
dampak perubahan ekonomi politik yang dipromosikan kekuatan VOC. Dampak dari
semua itu muncullah perlawanan yang pimpin oleh Tubagus Buang yang menentang
rezin Syarifah Fatimah yang ambisius, pemberontakan Ki Tapa yang ingin
mengembalikan harkat dan martabat jati diri Kesultanan.
6. Masa kehancuran
Kesultanan (1808-1832)
Kedatangan
H.M. Daendels yang diutus oleh Napoleon Bonaparte untuk menguasai Pulau Jawa
agar tidak jatuh ke tangan kolonoial Inggris. Pada tanggal 1 Januari 1808 di
Anyer merupakan titik balik dalam sejarah kesultanan Banten yang dianggap batu
sandungan karena menolak berkooperasi untuk membangun pelabuhan di Ujung Kulon.
Pada tanggal 21 November 1808 Deandels mengeluarkan surat keputusan untuk
menghancurkan kesultanan Banten. Para sultan dan keluarganya yang tidak
mengikuti ditangkap, sebagian dibunuh, dan sebagian lainnya diasingkan ke pulau
yang sangat jauh di Nusantara.
7. Masa Pemerintahan
Kolonial (1808-1945)
Penghapusan
kesultanan oleh kolonial Belanda merupakan fase penting dalam sejarah
kebudayaan Banten. Kota Surosowan, sebagai ibukota kesultanan Banten menjadi
kota mati, bangunan-bangunan bekas istana Sultan dihancurkan. Penduduknya
dipindahkan diberbagai tempat di Nusantara. Kemudian pemerintahan kolonial
menetpkan Serang sebagai ibukota Residensi Banten. Serang yang dulu areal
persawahan paling subur yang dibangun oleh Maulana Yusuf disulap menjadi
ibukota Banten modern yang ditandai dengan bangunan bergaya Eropa.
Akibat
runtuhnya kesultanan Banten, orang Banten mencari referensi nilainya langsung
ke pusat suci Islam di Mekah, disamping untuk ritual ibadah haji dan
dilanjutkan untuk pendalaman agama demi memperoleh semangat baru untuk melawan
kesewenangan. Dampaknya bermunculan pesantren dipelosok desa, pusat pendidikan
sekaligus memupuk semangat mengusir penjajah. Krakatau meletus, petani
memberontak, perlawanan fisik diberbagai tempat. Peristiwa Cikande Udik (1836),
Ki Wakhia Cilegon (1850), Geger Cilegon (1888) dan pemberontakan Labuan Menes
(1926) adalah bentuk pengejawantahan oposisi terhadap rejim asing.
8. Masa Kemerdekaan
(1945-1999)
Pergantian
rejim berdampak pada pergantian seluruh jajaran birokrasi pemerintahan. Kaum
ulama yang sebelumnya berperan sebagai pengajar santri di pesantren-pesantren
diangkat menjadi residen, bupati, wedana dan camat. Semangat baru untuk kembali
mengembalikan Banten kepada jati dirinya seperti masa kesultanan mendorong
ulama untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya di birokrasi pemerintahan
tetapi juga di pertahanan dan keamanan.
9. Masa Banten menjadi
Provinsi (2000 - Sekarang)
Mayarakat
Banten bersemangat menyambut kemenangan rakyat mengawali era reformasi dan
memunculkan ide membangun provinsi sendiri untuk wilayah Keresidenan Banten.
Bersatunya seluruh elemen masyarakat Banten untuk memperjuangkan berdirinya
Provinsi Banten melalui berbagai cara :propaganda, jalur akademis, jalur
politik dan lain-lain.
BAGIAN
2
BANTEN GIRANG
Pada awalnya sejarah Banten
Girang merupakan Kerajaan Sunda, sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa
Barat. Banten Girang merupakan awal kerajaan Banten yang sebelumnya mendapat kebesaran nama pada saat
itu Kerajaan Sunda Wahanten. Pendiri kerajaan Wahanten adalah Prabu Jaya Bupati
yang disebut juga Prabu Saka Domas, yang bermaksud untuk memulihkan
kerajaan-kerajaan yang telah hancur dimasa silam.
Kerajaan Sunda Wahanten
Prabu
Jaya Bupati mendirikan kerajaan Wahanten di Banten Girang pada tahun 932-1016.
Pada saat itu kerajaan subur makmur, sehingga dapat menjamin hubungan dengan
kerajaan di Jawa. Salah satu hubungan yang sangat erat dengan Raja Prabu Darma
Wangsa dan dilanjutkan hubungan dengan Raja Erlangga pada tahun 990-1016.
Prabu Jaya Bupati sebagai
penguasa di Kerajaan Sunda (Wahanten) yang berkedudukan di Banten Girang sering
mendapat gangguan keamanan yang mengancam keselamatan Raja Sunda (Wahanten) dan
rakyatnya. Ancaman itu datang dari Kerajaan Sriwijaya (Prabu Balaputra Dewa)
yang ingin menguasai Kerajaan Sunda (Wahanten) yang merupakan sekutu dari
kerajaan Jawa Prabu Darma Wangsa, dengan maksud balas dendam, karena sebelumnya
Prabu Darmawangsa telah menyerang Sriwijaya.
Kerajaan Sunda (Wahanten)
yang sudah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya, Prabu Jaya Bupati yang sayang akan
keselamatan rakyatnya memutuskan untuk mengungsi kepedalaman pegunungan selatan
dengan mendirikan kerajaan kecil di daerah Cicatih Sukabumi. Dengan pengungsian
tersebut, kekuasaan Prabu Bala Putra Dewa Sriwijaya mengausai Wahanten 1016
sampai tahun 1030
Banten Girang Tahap II
(Babad Banten)
Pada
awalnya anak cucu dari keturunan kerajaan Pajajaran dengan kerajaan Galuh
Pakuan yang bernama Prabu Jaya Dewata (Prabu Pucuk Umun) dan Masjong dan Agus
Ju mendirikan kerajaan Sunda (Banten) di
Banten Girang, yang dahulu bekas kerajaan Sunda yang bernama (Wahanten) yang
ditinggalkan Prabu Jaya Bupati pada tahun 1030. Selanjutnya Prabu Jaya Dewata
menjadi penguasa di kerajaan Sunda Banten pada tahun 1480, perkembangannya
semakin rapai dikunjungi oleh para pedagang lokal maupun saudagar dari Cina.
Kemudian lama kelamaan kendala yang dihadapi oleh pembawa barang para saudagar
dari negeri Cina adalah perahu layar di sungai Cibanten semakin kandas,
disebabkan oleh menurunnya debit air.
Prabu
Jaya Dewata (oleh orang Jawa Banten disebut Prabu Pucuk Umun) kepada para
punggawa dan rakyatnya didampingi oleh dua pemuda gagah dan berani yang bernama
Ajar Jong dan Ajar Ju untuk membangun pelabuhan perahu layar di daerah Kelapa
Dua terusan sungai Cibanten tepatnya di sebelah utara Kota Serang. Pelabuhan
pada masa itu dinamakan pelabuhan Teluk Banten yang dilengkapi sarana jalan
darat melalui daerah Kelapa Dua, Lontar, Kaloran Penah, Kaujon Kidul,
Kalunjukan dan berakhir di Banten Girang. Perkembangan semakin pesat, sehingga
tahun berikutnya kota Sunda Banten (Banten Girang) berhasil diperluas, pada
bagian sebelah timur berhasil membangun GUHA untuk digunakan tempat penahanan
bagi orang-orang melanggar peraturan hukum di kerajaan Sunda Banten, disebelah
selatan berhasil memperluas bangunan keraton Banten Girang, sebelah barat
berhasil membangun kolam penampungan air untuk keperluan orang-orang di Keraton
Situs ini yang dinamakan Kolam Sipadaringan,
termasuk parit-parit Benteng Keraton dengan dilengkapi menara pengintai,
sehingga kerajaan Sunda Banten mengalami kemajuan.
Kondisi
seterusnya, suatu saat Ajar Jong sebagai Patih kerajaan Sunda Banten melihat
saudaranya Ajar Ju yang cukup lama mengabdi yang pada saat itu ditugasi sebagai
penjaga pintu gerbang kerajaan, mengusulkan untuk diangkat setara kedudukannya
sebagai Tumenggung, tetapi usulan itu mendapat hambatan dari pihak keluarga
Raja. Kemudian anggapan Ajar Jong bahwa Prabu Jawa Dewata berbuat tidak adil
kepada Ajar Ju, sehingga merasa gelisah dan sakit hati kemudian meninggalkan
kerajaan tersebut menuju arah timur dan sampailah di kerajaan Demak.
Ajar
Jong mengabdi kepada Raja Demak (Sultan Trenggono), pada saat itu telah
mengadakan pesta pernikahan adik perempuan Sultan Trenggono dengan Faletehan
(Fatahilah) yang memiliki keahlian dibidang Agama Islam dan Bela Diri. Kemudian
Ajar Jong dan Fatahilah hubungan makin akrab, selanjutnya Ajar Jong mendalami
ilmu Agama Islam.
Pada
suatu saat Sultan Trenggono memerintahkan kepada Fatahilah untuk menyerang dan
meng Islamkan Sunda Pajajaran Banten, ialah di Banten Girang, kemudia
berangkatlah berdua dilengkapi pasukan perang kerajaan Demak. Dikerajaan Sunda
Banten setelah ditinggalkan oleh Ajar Jong rupanya ada tanda-tanda akan
mengalami kemunduran, disamping pihak kerabat tidak profesional dan juga adanya
air laut yang semakin menurun dan tidak bisa lagi disandari perahu lagi, Prabu
Jaya Dewata sebagai pemeluk agama Huindu sering meninggalkan singgasana
kerajaan dan melakukan bertapa di Gunung Kaesala (Gunung Pulosari) Pandegklang
untuk mendapat petunjuk dari Tuhannya dengan harapan kerajaan Sunda Banten
pulih kembali. Ketika datang pasukan Fatahilah bersama saudaranya Ajar Jong
setelah menerangkan kepada Ajar Ju mempersilahkan untuk memasuki Istana
kerajaan Sunda Banten. Setelah Fatahilah memduduki kerajaan Sunda Banten Prabu Jaya
Dewata mendengar dan memerintahkan untuk mematai matai maka dengan geramnya
mengancam akan membunuhnya, segera turun dari gunung menuju Banten Girang
didalam perjalanan berhenti di daerah Mandeg dan mempersiapkan penyerangan dan
didengan oleh Fatahillah, maka diserang dahuluan kemudian Prabu Jaya Dewata
meninggal Mandeg menuju ke selatan didaeran Cikertawana (Baduy).
BAGIAN
3
RIWAYAT KESULTANAN BANTEN
A. Pendahuluan
Sultan Maulana Hasanuddin sebagai Raja/Sultan
pertama di kerajaan Banten sebagai cucu dari raja Syarif Abdullah (Kerajaan Mesir) dari pihak bapak dan sebagai cucu
dari Prabu Siliwangi (Dewata Wisesa)
sebagai Raja Galuh Pakuan/Pajajaran dari pihak ibu.
Pada kenyataannya sebelum Sultan Maulana
Hasanuddin ditugaskan oleh Ayahandanya Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan
Islam di Banten, pada saat itu Banten dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk
Umun) dibantu oleh Mahapatihnya Ajar Jong dan Ajar Jo sebagai pemeluk Animisme.
Strategi Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan
Banten lainnya dalam mengembangkan agama Islam pada waktu itu dengan cara adu
kekuatan dan penampilan ketangkasan serta kreatifitas yang dikemas dalam wujud
kesenian debus.
Kejayaan kerajaan Banten pada waktu itu
adalah satu satunya Kerajaan Islam di Indonesia yang mempunyai hubungan
diplomatik dengan Kerajaan luar negeri (Inggris).
B. Raja Sri Baduga/Prabu
Siliwangi/Dewata Wisesa
Raja Sri Baduga bertahta antara tahun 1482 –
1521 memerintah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) dan pada tahun 1422 menikah
dengan Nyi Mas Subang Larang/Nyi Mas Subang Keranjang (yang lahir tahun 1404
dan wafat 1441).
Nyi Mas Subang Larang adalah putri dari
Mangkubumi kerajaan kecil Singapura Martasina Cirebon. Dijumpai pada waktu
sedang dipesantren Quro di Karawang yang dipimpin oleh Syekh Hasanuddin dari
Cempa/Kamboja putra Syekh Yusuf Siddiq Guru Besar Agama Islam Cempa, keturunan
dari Syekh Zainal Abiddin keterunan Nabi Muhammad SAW. Setelah sepekan sang
Prabu di Karawang Putri Subang Larang dibawa oleh prabu untuk menjadi
permaisuri.
Sebelum itu, Nyi Subang Larang menerima
lamaran sang Prabu dengan satu syarat , agar beliau diberikan mas kawin berupa
kalung bintang kerti, tentu yang dimaksud tasbih yang mana di dalamnya sudah
mengandung Islam, sehingga akhirnya sang Prabu menjadi Islam dengan tidak
merasa tersinggung perasaannya.
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi
Mas Subang Larang dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu :
1. Pangeran
Walang Sungsang (lahir tahun 1423).
2. Ratu
Rara Santang (lahir tahun 1427).
3. Kian
Santang/Raja Sengara (lahir tahun 1429).
Sejak kecil ketiga anak itu oleh Nyi Mas
Subang Larang di didik ilmu agama Islam. Setelah pangeran Walang Sungsang dan
Ratu Rara Santang agak dewasa mereka diperintahkan oleh ibunya agar berangkat
ke pesantren Karawang yang bernama pesantren Quro, dimana tempat tersebut
adalah pesantren ibunya pada waktu itu. Diceritakan bahwa setelah anak-anaknya
dewasa, Prabu Siliwangi akhirnya keluar dari agama Islam kemudian ia kembali
kepada agamanya semula. Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran menghilang tanpa
bekas (sirna) dengan Cendra Sengkala.
Pangeran Walang Sungsang, ketika usia dewasa
diperkirakan usia lebih dari 17 tahun, ibunya meninggal dunia, kemudian
meninggalkan istana dengan tujuan untuk mencari agama islam yang hakiki,
berjalan masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung dan yang pertama
disinggahi adalah gunung merapi. Setelah itu, Pangeran Walang Sungsang bertemu
dengan Sanghiang Danuarsi (Pendeta Agama Sanghiang Buddha) serta beliau
dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyi Indang Geulis/Nyi Indang Ayu pada
tahun 1442. Dari perkawinan tersebut dikaruniai anak yang bernama Putri Mas
Pakung Wati (lahir 1446). Ditempat itu pula bertemu dengan adiknya Ratu Rara
santang yang pergi sepengetahuan ayahnya.
Setelah bercerita segala maksud dan tujuan
kepada pendeta, disarankan bertiga untuk menemui Shang Hiang Naga yg berada
digunung Ciangkup dan kemudian disuruh datang ketempatnya di gunung kumbang.
Sesampainya disana diperintahkan bertemu Ratu Bangau wilayah Cirebon,
selanjutnya mendapat petunjuk untuk berangkat ke gunung djati untuk menemui
Syekh Nurjati.
Setelah belajar kurang lebih 3 tahun kepada
syekh Nurjati, akhirnya diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Selama di tanah Arab terjadi peristiwa penting bagi Walang Sungsang, yaitu
perkawinan adiknya Ratu Rara santang dengan bangsawan Arab, yaitu Maulana
Muhammad bergelar Syarif Abdullah dari suku Bani Hasyim putra Nurul Alim yang
memerintah kota islamiyah di wilayah Palestina/Bani Israil.
Syarif Abdullah adalah anak dari Ali Nurul
Alim bin Jamaluddin Al Husein keturunan ke 19 Nabi Muhammad SAW.
Dari pernikahan antara sultan Syarif Abdullah
dengan Ratu Rara Santang dikarunia 2 orang putra, yaitu :
1. Syarif
Hidayatullah (lahir pada tahun 1448)
2. Syarif
Nurullah (lahir pada tahun 1450)
Kemudian Syarif Abdullah wafat pada tahun
1450, sementara digantikan oleh mangkubuminya yang bernama Unka Jatra sebagai
pejabat Sultan Mesir.
C. Syaraif Hidayatullah
Syarif
Hidayatullah dilahirkan di Mesir pada tahun 1448 dan wafat tahun 1568 di Gunung
Djati Cirebon.Pada tahun 1470 (mencapai sekitar umur 20 tahun) pergi ibadah
haji dan bermukim di Mekah, belajar agama Islam pada syekh Attaulahi Sajali
ulama di Mekah, terus pergi ke Bagdad belajar ilmu Tasauf. Setelah kembali ke
Mesir oleh Unka Jatra pejabat Sultan diserahi Mahkota Sultan tapi menolaknya
dan diserahkan ke adiknya yaitu Syarif Nurullah yang akhirnya dinobatkan
menjadi Sultan.
Syarif Hidayatullah adalah seorang yang
berjiwa besar, bercita cita tinggi dan berilmu pengetahuan yang luas, kemudian
berniat untuk pergi meninggalkan Mesir dengan maksud untuk mengembangkan agama
islam di tanah jawa, kemudian ibunya merestui dan berdo’a :
1. Semoga
Allah menjadikan kamu seperti matahari, tidak ada pilihan semuanya harus
disinari.
2. Semoga
Allah menjadikan ketabahan hatimu seperti gunung, walaupun yang datang itu
adalah angin topan dan halilintar tetapi tidak berubah.
3. Semoga
Allah menjadikan kebesaran hatimu seperti luasnya laut.
Syarif Hidayatullah cenderung untuk
menjalankan syiar islam beliau berangkat ke Jawa Barat, mampir di Gujarat,
Pasai, Aceh, mengunjungi guru besarnya di Blambangan/Jawa Timur belajar agama
Islam. Dari Aceh terus ke Banten, selanjutnya ke Cirebon dalam perjalanan
mengislamkan 98 orang diantaranya Dipati Keling beserta rombongannya. Di
Cirebon diterima oleh Syekh Nurjati dan dibuatkan sebuah rumah di Sembung dan
diberi gelar Maulana Jati.
Waktu berda’wah di Babadan Cirebon Syarif
Hidayatullah mengislamkan ki Gedheng Babadan dan menikah dengan putrinya Nhay
Babadan pada tahun 1471, tidak dikaruniai anak dan wafat pada tahun 1477.
Pada tahun 1471 Syarif Hidayatullah muhibah
ke Peking Cina menghadap kepada Kaisar Cina bernama Hong Gie putra Yung Lo
waktu Dinasti Ming (tahun 1368 - 1642) yang dibantu oleh Jendral Ceheng Ho dan sekretarisnya dari kerajaan
bernama Ma Huan beserta Fhei Hsin yang menganut agama Islam. Di Istana
bertemu putri Ong Tien dan saling
mencintai, tetapi hubungannya tidak disetujui oleh Kaisar sehingga Syarif
Hidayatullah harus pelang ke Cirebon di Keraton Pakungwati.
Selanjutnya dengan Uwanya Pangeran Walang
Sungsang/Cakrabuana berda’wah ke Kawung Anten Banten, Ki Gedheng Kawung Anten
beserta rakyatnya pada masuk Islam dan putrinya yang bernama Nhay Ratu Kawung
Anten dinikahi oleh Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 kemudian pulang ke
Cirebon. Dari pernikan ini memperoleh 2 orang anak, yaitu :
1. Ratu
Winahon lahir 1477 (nikah dengan Sunan Kali Jaga).
2. Pangeran
Seba Kinking/Hasanuddin lahir 1479, diangkat menjadi Bupati Banteng di Banten
pada tahun 1526 dan menjadi Sultan Banten yang pertama berdaulat penuh pada
tahun 1569.
BAGIAN 4
SILSILAH
SULTAN BANTEN
A. Nama-nama Raja yang
duduk dalam tahta kerajaan
I.
Syarif
Hidayatullah/Susuhunan Gunung Djati, tahun 1527
II.
Maulana Hasanuddin
Panembahan Surosowan, tahun 1552
III.
Maulana Yusuf
Panembahan Pekalangan, tahun 1570
IV. Maulana
Muhammad Pangeran Ratu Banten, tahun 1580
V.
Sultan Abulmafakhirn
Muhammad Abdulqadir , tahun 1596-1605
VI. Sultan Abdul Ma’ali Ahmad, tahun 1640
VII. Sultan
Ageng Tirtayasa/Abul Fath Abul Fattah, tahun 1651
VIII. Sultan
Haji/Abunasr Abdulkahar/maulana Mansuruddin, tahun 1672
IX. Sultan
Abdulfadhal, tahun 1687
X.
Sultan Abulmahasin
Zainul Abidin, tahun 1690
XI.
Sultan Muhammad
Syifa’u Zainul Arifin, tahun 1733
XII.
Sultan Syarifuddin
Ratu Wakil, tahun 1750
XIII.
Sultan Muhammad Wasi
Zainul Alimin, 1752
XIV.
Sultan Muhammad Arif
Zainul Asyikin, tahun 1753
XV.
Sultan Abul Mafakhir
Muhammad Aliyudin, tahun 1773
XVI.
Sultan Muhammad
Muhyiddin Zainussolihin, tahun 1779
XVII. Sultan
Muhammad Ishak Zainul Muttaqin, tahun 1801
XVIII Sultan Wakil Pangeran Natawijaya, tahun 1803
XIX. Sultan
Muhammad Agiluddin/Aliyyudin II, tahun 1803
XX.
Sultan Wakil Pangeran
Suramenggala, tahun 1808
XXI.
Sultan Muhammad
Shafiyuddin, tahun 1809
XXII. Sultan
Muhammad Rafi’uddin, tahun 1813
B. Daftar silsilah
kesultanan Banten
I.
Syarif
Hidayatullah Susuhunan Gunung Djati Tahun 1527, berputra :
1. Ratu Ayu Pambayun
2. Pangeran Pasarean
3. Pangeran Jayalalana
4. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan
4. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan
5.
Pangeran Berata Kelana
6.
Ratu Winohon
7.
Pangeran Turusmi
II.
Maulana
Hasanuddin Panembahan Surosowan (1552-1570), berputra :
1.
Ratu Pembayun fathimah
2. Maulana Yusuf/Panembahan Pekalangan
3.
Pangeran Arya Japara
4.
Pangeran Sunyararas
5.
Pangeran Pajajaran
6.
Pangeran Pringgalaya
7.
Pangeran Sabrang Lor
8.
Ratu Keben
9.
Ratu Terpenter
10.Ratu
Biru
11.Ratu
Ayu Arsanengah
12.Pangeran
Pajajaran Wado
13.Ratu
Temenggung Wilatikta
14.Ratu
Ayu Kumudarage
15.Pangeran
Sabrang Wetan
III.
Sultan
Maulana Yusuf Panembahan Pekalangan (1570-1580), berputra :
1.
Pangeran Arya Upapati
2.
Pangeran Arya Adikara
3.
Pangeran Arya Mandalika
4.
Pangeran Arya Ranamenggala
5.
Pangeran Arya Seminingrat
6.
Ratu Demang
7.
Ratu Pecatanda
8.
Ratu Rangga
9. Ratu
Ayu Wiyosa
10.
Ratu Manis
11.
Pangeran Mandura Raja
12.
Pangeran Widara
13.
Ratu Balimbing
14.
Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten
IV.
Maulana
Muhammad Pangeran Ratu Banten (1580-1596), berputra :
1.
Sultan Abul
Mufachir Mahmud Abdul Kadir (putra tunggal).
V.
Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Kenari (1596-1651), berputra :
1.
Sultan
‘Abul Ma’ali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
2.
Ratu Dewi
3.
Ratu Ayu
4.
Pangeran Arya Banten
5.
Ratu Mirah
6.
Pangeran Sudamanggala
7.
Pangeran Ranamanggala
8.
Ratu Balimbing
9.
Ratu Gedong
10.
Pangeran Arya
Manduraraja
11.
Pangeran Kidul
12.
Ratu Dalam
13.
Ratu Lor
14.
Pangeran Seminingrat
15.
Ratu Kidul
16.
Pangeran Arya
Wiratmaka
17.
Pangeran Arya
Danuwangsa
18.
Pangeran Arya
Prabangsa
19.
Pangeran Arya
Wirasuta
20.
Ratu Gading
21.
Ratu Pandan
22.
Pangeran Arya
Wirasmara
23.
Ratu Sandi
24.
Pg. Arya Jayaningrat
25.
Ratu Citra
26.
Pg. Arya Adiwangsa
27.
Pg. Arya Sutakusuma
28.
Pg. Arya Jayasentika
29.
Ratu Hafsah
30.
Ratu Pojok
31.
Ratu Pacar
32.
Ratu Bangsal
33.
Ratu Salamah
34.
Ratu Ratmala
35.
Ratu Hasanah
36.
Ratu Hasaerah
37.
Ratu Kelumpuk
38.
Ratu Jiput
39.
Ratu Wuragil
VI. Sultan ‘Abul Ma’ali
Ahmad, berputra :
1.
‘Abul Fath ‘Abdul Fattah
2.
Ratu Panenggak
3.
Ratu Nengah
4.
Pangeran Arya Elor
5.
Ratu Wijil
6.
Ratu Puspita
7.
Pg. Arya Ewaraja
8.
Pg. Arya Kidul
9.
Ratu Tinumpuk
10.
Ratu Inten
11.
Pg. Arya Dipanegara
12.
Pg. Arya Adikusuma
13.
Pg. Arya Kulon
14.
Pg. Arya Wetan
15.
Ratu Ayu
Ingalengkadipura
VII. Sulltan Ageng
Tirtayasa/’Abul Fath ‘Abdul Fattah (1651-1672), berputra :
- Sultan Haji
- Pg. Arya ‘Abdul’ Alim
- Pg. Arya Ingayudadipura
- Pg. Arya Purbaya
- Pangeran Sugiri
- Tubagus Rajasuta
- Tubagus Rajaputra
- Tubagus Husen
- Raden Mandaraka
- Raden Saleh
- Raden Rum
- Raden Mesir
- Raden Muhammad
- Raden Muhsin
- Tubagus Wetan
- Tubagus Muhammad ‘Athif
- Tubagus Abdul
- Ratu Raja Mirah
- Ratu Ayu
- Ratu Kidul
- Ratu Marta
- Ratu Adi
- Ratu Umu
- Ratu Hadijah
- Ratu Habibah
- Ratu Fatimah
- Ratu ‘Asyiqoh
- Ratu Nasibah
- Tubagus Kulon
VIII Sultan ‘Abun Nasr ‘Abdul
Kahhar/Sultan Haji (1672-1687), berputra :
1.
Sultan Abdul Fadhal
2.
Sultan ‘Abul Mahasin
3.
Pangeran Muhammad
Tahir
4.
Pangeran Fadhluddin
5.
Pangeran Ja’faruddin
6.
Pg. Muhammad ‘Alim
7.
Ratu Rohimah
8.
Ratu Hamimah
9.
Pangeran Ksatrian
10.
Ratu Mumbay (Bombay)
IX. Sultan Abdul Fadhl
(1687-1690)
Tidak
berputra
X. Sultan Abul Mahasin
Zainul ‘Abidin (1690-1733), berputra :
1. Sultan
Muhammad Syifa
2.
Sultan Muhammad Wasi’
3.
Pangeran Yusuf
4.
Pangeran Muhammad
Saleh
5.
Ratu Samiyah
6.
Ratu Komariah
7.
Pangeran Tumenggung
8.
Pangeran Ardi Kusuma
9. Pg.
Anom Muhammad Noh
10. Ratu
Fatimah Putra
11. Ratu
Badariyah
12. Pg.
Manduranegara
13. Pg.
Jaya Sentika
14. Ratu
Jabariyah
15. Pg.
Abul Hasan
16. Pg.
Dipati Banten
17. Pangeran
Ariya
18. Raden
Nasut
19. Raden
Maksaruddin
20. Pangeran
Dipakusuma
21. Ratu
‘Afifah
22. Ratu
Siti Adirah/Abidah
23. Ratu
Safiqoh
24. Tubagus
Wirakusuma
25. Tubagus
Abdulrahman
26. Tubagus
Mahaim
27. Raden
Rauf
28. Tubagus
Abdul Jalal
29. Ratu
Hayati
30. Ratu
Muhibbah
31. Raden
Putra
32. Ratu
Halimah
33. Tubagus
Sahib
34. Ratu
Sa’idah
35. Ratu
satijah
36. Ratu
‘Adawiyah
37. Tubagus
Syarifuddin
38. Ratu
‘Afiyah Ratnaningrat
39. Tubagus
Ismail
40. Tubagus
Sa’jan
41. Tubagus
Haji
42. Ratu
Thoyibah
43. Rt.
Chairiyah Kumudaningrat
44. Pangeran
Rajaningrat
45. Tubagus
Jahidi
46. Tubagus
Abdul Azis
47. Pangeran
Rajasentika
48. Tubagus
Kalamuddin
49. Rt.
Siti Sa’ban Kusumaningrat
50. Tubagus
Abunasir
51. Raden
Darmakusuma
52. Raden
Hamid
53. Ratu
Sifah
54. Ratu
Minah
55. Ratu
‘Azizah
56. Ratu
Sehah
57. Ratu
Suba/Ruba
58. Tubagus
Muhammad Said ( Pangeran Natabaya)
XI. Sultan Muhammad
Syifa’Zainul ‘Arifin (1733-1750), berputra :
1. Sultan
Muhammad ‘Arif
2. Ratu
Ayu
3. Tubagus
Hasanuddin
4. Rd.
Raja Pangeran Rajasantika
5. Pg.
Muhammad Rajasantika
6. Ratu
‘Afiyah
7. Ratu
Sa’diyah
8. Ratu
Halimah
9. Tubagus
Abu Khaer
10. Ratu
Hayati
11. Tubagus
Muhammad Saleh
XII. Sultan Syarifuddin
Ratu Wakil (1750-1752)
tidak berputra.
XIII. Sultan Muhammad Wasi
‘Zainul ‘Alimin (1752-1753)
tidak berputra.
XIV Sultan
Muhammad ‘Arif Zainul Asyikin (1753-1773), berputra :
1. Sultan
‘Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin
2. Sultan
Muhyiddin Zainussholihin
3. Pangeran
Manggala
4. Pangeran
Suralaya
5. Pangeran
Suramanggala
XV. Sultan ‘Abul Mafakhir
Muhammad Aliyuddin (1773-1799), berputra :
1. Sultan
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
2. Sultan
Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
3. Pangeran
Darma
4. Pangeran
Muhammad Abbas
5. Pangeran
Musa
6. Pangeran
Yali
7. Pangeran
Ahmad
XVI
Sultan Muhyiddin Zainussholihin (1799-1801), berputra :
1. Sultan
Muhammad Shafiuddin
XVII
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
XVIIISultan
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
XIX Sultan Agilludin (Aliyuddin II) (1803-1808)
XX Sultan Wakil Pangeran Suramanggala
(1808-1809)
XXI Sultan
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
XXIISultan
Muhammad Rafiuddin (1813-1820).
BAGIAN 5
PEMERINTAHAN KESULTANAN BANTEN
A. Sultan Maulana
Hasanuddin Tahun 1552-1570 (Raja Banten I)
Ø Lahir
dari Syarif Hidayatullah dengan Nyi Ratu Kawung Nganten.
Ø Maulana
Hasanuddin diangkat sebagai penegak agama Islam di Banten dan sekaligus wakil
Sunan Cirebon.
Ø Pada
tahun 1525 meng-Islamkan Banten Utara, yang tidak masuk Islam mengungsi ke
Parahiyangan (Cibeo/Kanekes Baduy/Rangkas Bitung)
Ø Kemudian
meng-Islamkan kedua patih di tepi sungai dalung.
Ø Pada
tahun 1548 memperluas daerahnya ke Lampung (Tulang Bawang) diserahi oleh raja
Indrapura daerah diselebar daerah lada terkaya di Nusantara yang dibutuhkan
oleh separuh dunia serta ditikahkan dengan putri raja tersebut.
Ø Pada
tahun 1550 Sunda Kelapa (Jayakarta) dijadikan Bandar Banten 2
Ø Pada
tahun 1568 memerdekaan Banten dari kerajaan Demak
Ø Pada
tahun 1570 Maulana Hasanudin Wafat dan oleh rakyatnya diberi gelar Sunan Banten
Panembahan Sabrang. Oleh cantrik-cantriknya disebut Pangeran Surosowan
panembahan sebakinking Maulana Hasanuddin Sinuhun Banten.
B. Sultan Maulana Yusuf
Tahun 1570-1580 (Raja Banten II)
Ø Lahir
dari pernikanan Sultan Maulana Hasanudin dan Nyi Ratu Anjani.
Ø Tahun
1578 mendirikan Masjid Banten
Ø Tahun
1578 membangun sawah percobaan “tandur” di Serang, kemudian memperluas dari
Serang ke daerah Tirtayasa Pandeglang hingga ke Cikarang dan Karawang
Ø Hasil
karyanya mendirikan pesantren di Banten dan Pandeglang
Ø Membuat
tembok keraton surosowan
Ø Pada tahun 1579 melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Ibukota Pajajaran yaitu Pakuan, dengan dukungan pasukan Cirebon dan
sukses, mengangkat derajat dan martabat Banten dalam pandangan raja di jawa dan
luar jawa.
Ø Melakukan
expansi ke Lampung, Palembang dan Makasar.
Ø Pulau
panjang sebagai markas prajurit yang berasal dari Makasar
Ø Pada
tahun 1580 Sultan Maulana Yusuf meninggal dunia dimakamkan di pekalangan gede.
C. Maulana Muhammad
Nasruddin/Pangeran Ratu Banten Tahun 1580-1596 (Raja Banten III)
Ø Pada
tahun 1590 seorang pangeran peranakan portugis putra Arya Pangiri keturunan raja
Trenggana gurunya Maulana Muhammad membujuk supaya beliau memerangi palembang.
Ø Pada
tgl 20 Juni 1596nMaulana Muhammad terbunuh waktu bperang dikota palembang dalam
usia 25 tahun.
Ø Putra
tunggalnya Abdul Mufachir Mahmud Abdul Kadir belum berusia setahun, maka pd tgl
26 November 1596 Nyai Emban Rangkuti pendidik Abdul Mufachir mewakili sebagi
wali negara dan patih jaya negara.
Ø Pada
tahun 1598 Emban Rangkuti wafat diganti oleh Mangkubumi Jaya Negara, dan bulan
Desember 1602 wafat diganti oleh ibu Nyai Gede Wana Giri sebagai wakil.
Ø Pada
tahun 1606 Abdul Mufachir pergi ke Mekah, ke Parsi (Iran), Mesir, Istambul
(Turki) dan mendapat Panji Nabi Ibrahim AS. Panji tersebut disimpan di Mesjid
Kenari dan Meriam Ki Amuk, beliau kembali tahun 1607 dengan gelar Sultan.
Sementara sebagai mangkubumi Banten ialah Pangeran Arya Ranamenggala yang
pandai dan perkasa antara tahun 1608-1624.
D. Abdul Mafachir
\mahmud Abdul Qadir Tahun 1642-1643 (Raja Banten IV)
Ø Pada
masa pemerintahan hubungan diplomatik dapat perhatian dari negara Islam
Ø Membangun
waduk Tasikardi untuk irigasi, mengarang kitab Insan kamil yang diambil oleh
Dr. Snouck Hurgronye.
Ø Pada
tahun 1638 sebutan gelar Maulana diganti dengan gelar Sultan Banten
Ø Beliau
dimakamkan di Mesjid Agung Kenari.
E. Abdul Ma’li Ahmad
Rahmatullah Tahun 1643-1651 (Raja Banten V)
Ø Pada
masa ini uang Banten 4 macam dibuat dari besi/timah berhuruf Arab : wang sawe,
wang bribil, wang cepeng (bahasa cina) dan wang goweng (0,1 gobang) tiga biji
masih disimpan di Museum gajah jakarta.
Ø Pada
tahun 1644 kompeni mencetak uang di Batavia (Jakarta) untuk menyaingi
perdagangan Banten
F. Abdul Fatchi Abdul
Fatah Tahun 1651-1683 (Raja Banten VI)
Ø Pada
tahun 1658-1659 Banten berperang melawan kompeni.
Ø Pada
tahun 1659 Cisadane Cibentuk sebagai batas sementara antara Banten dan Jakarta.
Ø Pada
tahun 1662 disusun sejarah dan piagam Banten yang pertama di Keraton.
Ø Pada
tahun 1663 dibangun selokan irigasi dari Cikande ke kali Pasilian.
Ø Pada
tahun 1664 mendapat gelar Sultan Agung didaratan dan lautan karena berjasa
memajukan perniagaan Banten dan Inggris, Demak, Parsi (Iran), Hindu, Arab,
Tiongkok, Jepang, Manilia, Hindia Belanda, sehingga pusat perdagangan kompeni
Belanda di Batavia (Jakarta) menjadi mundur
Ø Pada
tahun 1669 dibangun irigasi Tanahara ke Pontang dan tahun 1670 dibangun irigasi
dari Tirtayasa ke Tanahara.
Ø Pada
tahun 1671 putra sulung bernama Abunasr Abdulkahar dijadikan calon Sultan dan
Raja Pembantu sampai tahun 1687 sebagai sultan ke VII
Ø Pada
tahun 1674 Abdulkahar diberangkat ke Mekkah kurang lebih 5 tahun, dalam
perjalanan singgah di pulaun Majeti disini berjumpa dengan 2 orang yatim piatu
bersaudara laki-laki dan perempuan keturunan belanda peranakan Cina yang
ditempatkan oleh kompeni untuk menghibur pangeran Abdulkahar.
Ø Peristiwanya
adalah : laki2 itu cakap, ganteng paras mukanya hampir sama, sang pangeran
tergila-gila dengan adiknya maka dinikahinya, abangnya diberi seperangkat
pakaian kebantenan lengkap dengan pusakanya, selanjutnya adiknya berangkat
bersama pangeran ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ø Pada
tahun 1676, dua tahun kemudian abangnya menyusuf ke Jakarta terus ke Banten
dengan mengakui Pangeran Abdulkahar tulen.
Ø Pada
tahun itu pula Sultan Ageng Tirtayasa bertahta di keraton Tirtayasa yang
letaknya diantara Cipontang dan Ciduriuan dengan sebutan Sultan Ageng
Tirtayasa, sedang sultan haji mengambil tempat di Kute Inten (Keraton Pakuwon
di Banten Tua) dan sejak itu kompeni mencampuri urusan pemerintahan Banten.
G. Abunasr Abdul Kahar
Tahun 1671-1687 (Raja Banten VII)
Ø Pangeran
Abdulkahar adalah putra mahkota Sultan Ageng Tirtayasa/Abul Fachi Abdulfataah. Pada tahun 1671 Pangeran Abunasr Abdulkahar
oleh Sultan Tirtayasa diangkat sebagai calon Sultan raja Pembantu untuk
pemerintahan dari tahun 1671-1687 sebagi Sultan Banten yang ke VII dengan
menguasai daerah bekas Pakuan hingga di Tulang Bawang, dari Bangkahulu hingga
Kutawaringin. Kompeni mengakui pengangkatan itu dan mulai mencampuri urusan
pemerintahan Banten dengan membujuk-bujuk Abunasr Abdulkahar yang oleh
rakyatnya disebut Pangeran Mansur/Maulana Mansur (karena Pangeran Abdulkahar
banyak menolong dan ditolong orang).
Ø Pada
tahun 1674 Sultan Abdulkahar oleh ayahnya direncanakan untuk dikirim ke Mekah
untuk naik Haji karena sering dikunjungi oleh kompeni dan dibujuk-bujuk.
Sebelum berangkat sang Pangeran dipesan oleh ayahnya agar jangan mampir-mampir
kelain tujuan melainkan dari Banten terus langsung ke Banten. Tetapi Pangeran
Abdulkahar melupakan amanat ayahnya dan beliau singgah di Pulai Majeti
disekitar pulau Penang dan disana beliau bertemu dengan dua bersaudara yatim
piatu laki-laki dan perempuan kelahiran Belanda peranakan Cina.
Ø Setelah
bermukim 6 tahun Pangeran Abunasr Abdulkahar kembali ke tanah air. Lupa akan
nasehat dan amanat Sultan Agung beliau singgah ke Cina, kemudian ke Demak
berziarah kekaruhun-karuhunnya, dimana istri dititipkan dan beliau terus ke
Cirebon. Dari sana melalui hutan jampang melangsungkan perjalanan melalui
Mantiung di Banten Selatan untuk menemui Shang Hiang Sirah. Dari sini dengan
menyamar sebagai penziarah datang ke Makam Sultan Maulana Hasanuddin. Sultan
Haji insyah akan dosanya ketika mendengar bahwa di Banten sedang diperangi oleh
kompeni disertai dengan Sultan Haji Palsu, maka beliau tidak kembali ke
keraton tetapi menetap di Cikaromoy ditepi sungai Cibulakan di Cimanuk Banten.
Dari sini terus ke Cikaduen menyebarkan agama Islam sampai wafat dan dikenal
sebagai Wali Maulana Mansur Cikaduen/Sultan Haji Sejati (jadi Sultan Abunasr
Abdulkahar tidak memerintah negara Islam Banten).
H. Fadlaudin Abdulfadl
Muhammad Yahya Tahun 1999 (Raja Banten VIII)
Ø Putra
dari Pangeran Haji Abunasr Abdulkahar Sejati, memerintah mulai tanggal 14
November 1690.
Ø Pada
tanggal 15 Juni 1690 beliau menemukan Batu Tulis Bogor, bahasanya diperkirakan
bahasa Sunda yang tertua dalam sejarah bahasa Sunda.
I.
Abdul
Mahasin Muhammad Syifa’u Zainul Abidin Tahun 1690-1773 (Raja Banten IX)
Ø Saudara
Sultan Fadlaudin, yang memerintah paling lama di Banten. Pada pemerintahannya,
Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam tahanan kompeni tahun 1692.
Ø Tahun
1701 sejarah Banten yang kedua selesai, sedang yang pertama selesai tahun 1662
oleh Keraton Surosowan. Selain itu dibuat Pengindelan saluran air dari
Tasikardi untuk keraton.
Ø Pada
tahun 1705-1710 mulai mendirikan perumahan batu, hasil yang terindah adalah
rumahnya Pangeran Purbanegara dan kepala imam. Disamping itu musim
karang-karangan dalam bahasa kuno sunda, antara lain : Carita Purnawijaya,
Jakasuno, Babad Galuh dan karangan Kai Raga.
Ø Pada
tahun 1709 silsilah keturunan Kesultanan Banten diperbanyak oleh salah seorang
pangeran keraton untuk disiarkan.
Ø Pada
tahun 1732 keraton Surosowan menyelesaikan sejarah yang ketiga kalinya.
J. Abulfatchi Muhammad
Syifa’u Zaenul Arifin Tahun 1733-1749
(Raja Banten X)
Ø Adalah
putra ketujuh dari Sultan Jaenul Abidin
Ø Pada
tahun 1739 membangunjalan sepanjang 508 tombak dari keraton ke Kerapyak
Ø Pada
tahun 1743 keraton menyelesaikan sejarah yang keempat
Ø Pada
tahun 1747 Sultan Zaenul Arifin oleh kompeni dibuang ke Ambon akibat hasutan
permaisuri asing Ratu Syarifah Fatimah, hingga meninggal disana tahun1670.
Putra sulungnya Pangeran Gusti calon Sultan dibuang ke Selong
K. Arif Abunasr Muhammad
Syifa’u Zainul Asyikin Tahun 1777 (Raja Banten XI)
Ø Pada
tanggal 5 September 1752 Pangeran Gusti
Zainul Arifin dipersilahkan kembali dari Selong dengan perjanjian menjadi
Sultan bawahan sebagai Sultahan Baanten ke 11
Ø Pada
tahun 1755 Ratu Bagus Burhan (Tubagus Buang) pahlawan keluarga keraton
meninggal dunia
L. Abul Mafachir Muhammad
Aliyuddin I Tahun 1777-1802 (Raja Banten XII)
Ø Putra
Zainul Asyikin dan tidak berputra.
Ø Tanggal
26 Maret 1778, Banten terpaksa menyerahkan daerah Landak Kalimantan Barat
kepada Kompeni.
Ø Tanggal
24 April 1778 didirikan Musium Gedung Gajah Jakarta, guna mengumpulan
barang-barang peninggalan kuno dari seluruh Indonesia, perpustakaan sejarah dan
lain-lain.
Ø Pada
tahun 1802 Sultan Aliyuddin I wafat dan dimakamkan samping selatan Mesjid Agung
Banten.
M. Abdul Fatchi Muhammad
Muhyidin Zainussolihin Tahun 1802-1805 (Raja Banten XIII)
Ø Beliau
menggantikan kakaknya sebagai Sultan Banten yang ke-13 pada tanggal 13
September 1802.
Ø Pada
tahun 1804 Sultan dibunuh oleh Ratu
Bagus Ali putra Sultan Aliuddin I (dari selir) dan dimakamkan di Sikupluk
diseberang kenari.
N. Abunasr Muhammad
Ishak Zainul Muttaqien Tahun 1805-1808
(Raja Banten XIV)
Ø Putra
dari Sultan Aliyudin I, berkediaman di Keraton Benteng Kota Inten.
Ø Beliau
sangat menentang Daendels dan Napoleon (Prancis)
Ø Pada
tahun1808 didirikan pangkalan Laut Jungkulom oleh Maarschalk (Mas Galak)
Daendels banyak korban jiwa dan melarikan diri.
Ø Pada
21 Nopember 1808 Istana Banten diserbu, Mangkubumi dibunuh, sultan diasingkan
oleh daendels dengan 100 balatentara sehubungan dengan peristiwa pembubuhan
komisaris Du Puy untusan daendels, Banten ditindas habis, tetapi rakyat Banten
melawan keras-keras dan timbul ejekan Banten Bantahan.
O. Abul Mafachir Nuhammad Aqiluddin (Aliyuddin II)
Tahun 1808-1810 (Raja Banten XV)
Ø Putra
Sultan Zainul Muttaqien dari Padmi diangkat sebagai Sultan yang ke 15 tetapi
hanya dengan kekuasaan Bupati
Ø Pada
tahun 1809 dibangun jalan sepanjang 1000 Km dari Anyer sampai Panarukan
Banyuwangi, sehingga perjalanan 40 hari dapat dipersingkat menjadi 6 hari
Ø Pada
tahun 1810 terjadi huru-haara di Leuweung Lancar Pandeglang, dari sini lahir
ejekan Becokok (Buaya) dan Jawara (Juara Penyambung Ayam).
P. Sultan Muhammad Syafiuddin
Tahun 1810-1812 (Raja Banten XVI)
Ø Putra
dari Sultan Zainussolihin menggantikan Sultan Bupati yang terganggu pikirannya
karena itu dibawa ke Jakarta
diistirahatkan di surabaya dan wafat disana lalu dimakamkan dihalaman Mesjid
Ampel.
Q. Sultan Muhammad Rafi`uddin
Tahun 1813 (Raja Banten XVII).
BAGIAN 6
SITUS PENINGGALAN
KERAJAAN BANTEN
1. Masjid Agung Banten
2. Komplek Keraton
Surosowan
Berdasarkan sejarah Banten, Keraton Surosowan
yang disebut juga Gedung Kedaton Pakuwan, dibangun masa pemerintahan Maulana Hasanuddin
(1552-1570), sedang tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan
batu karang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580).
3. Menara Mesjid Agung
4. Bangunan Tiyamah
5. Meriam Ki Amuk
7.
Masjid Pacinan Tinggi
Masjid ini terletak di kampung
pacinan/dermayon, masjid ini hanya tinggal reruntuhannya saja, yang terlihat
hanya michrab dan sisa bangunan menara bata dan dengan pondasi dan bagian
bawahnya terbuat dari batu karang, bagian atas menara ini sudah hancur. Menurut
tradisi bangunan masjid dan menara ini sudah ada sebelum Masjid Agung
didirikan.
8. Benteng Speelwijck
9. Watu Gilang
Watu
gilang terletak disebelah Utara di depan Keraton Surosowan, bentuknya segi
empat dan permukaannya datar, terbuat dari batu andesit. Dahulu Batu Gilang ini
dipergunakan sebagai tempat melakukan pentasbihan Sultan-sultan Banten.
10. Masjid Agung
Kasunyatan
11. Masjid Agung Kenari
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar