Senin, 12 Februari 2018

Materi Kuliah Studi Kebantenan

 BAGIAN 1

SEJARAH KEBUDAYAAN BANTEN

Banten memiliki sejarah kebudayaan yang cukup tua dari masa Pra-Sejarah, masa Hindu dan Budha, masa kesultanan Islam, masa kejayaan, masa kebertuanan Belanda,  masa kehancuran kesultanan, masa kolonial belanda dan Jepang, masa kemerdekaan dan masa terbentuknya menjadi Provinsi .

1. Masa Pra-Sejarah (abad 10 - 1SM)
     Kebudayaan Banten tidak setua kebudayaan lembah Indus, Mohenjodaro, dan Harappa di India, atau kebudaayaan Mesir Kuno atau kebudayaan Inka dan Aztek di Amerika Latin, namun kehidupan prasejarah dari umur geologi tertua daapat diidentifikasi. Ditemukannya sejumlah peralatan batu di situs Odel, Anyer Kidul oleh arkeolog Belanda di awal abad ke-XX yang mengindikasi keberadaan orang purba di Banten. Orang Banten tinggal dalam kelompok-kelompok kecil disekitar lereng-lereng pegunungan subur disekitar sungai-sungai kecil, sebagai bukti sejarah pemujaannya pada Dewi Sri atau Sanghyang Pohaci yang pusat upacaranya di Lebak Sibedug, Citaman dan Cihunjuran, Sanghyang Dengdek dan lain-lain.

2. Masa Hindu Budha (abad 1 - 16 M)
Pada masa ini struktur kebuadayaan Banten berubah perlahan, status sosial tampak sejak dikenalkannya konsep kerajaan bercorak Hindu yang mengenal kasta. Era ini sejak masa ekspansi kerajaan Tarumanagara sampai era kerajaan Banten Girang (abad 10 – 16 M). Gunung pulosari pada masa itu dianggap sebagai gunung keramat, sejumlah arca Hindu, batu tapak kaki dan batu pipisan yang ditemukan sejumlah tempat di sekitar lereng gunung ini menunjukkan keberadaan masyarakat dengan sistem kepercayaan Hindu.

3. Masa Kesultanan Islam (1529-1808)
Kesultanan Banten berawal dari kendali kerajaan Demak atas perairan utara dan barat Jawa serta Sumatera Selatan, kemudian dikuti dengan pengangkatan Sultan Maulana Hasanuddin oleh Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Banten pada tahun 1529 yang kemudian melakukan penaklukan Kerajaan Banten Girang. Kekuasaan Sultan Maulana Hasanuddin yang ahli strategi militer dan dagang ini mampu melakukan penaklukan pusat keraajaan Sunda di Pajajaran (Bogor).

Watu Gilang yang digunakan sebagai tempat pelantikan Sultan Banten pertama, Istana Surosowan, jaringan jalan darat antara Banten Lama dan Banten Girang sepanjang tanggul Cibanten adalah tapak jejak sejarah Sultan Maulana Hasanuddin dan juga disebut-sebut melakukan perjalanan dari muara Cibanten ke Gunung Pulosari.

4. Masa Kejayaan (1618 - 1683)
Kesultanan Banten mengalami era keemasan, berlangsung antara 1619-1682 akibat dari penerapan kebijakan ekonomi politik lada yang tepat. Kesultanan Banten menjadi salah satu eksportir komoditas paling berharga saat itu lada yang menguasai pasar Eropa, Cina dan Timur Tengah. Dan pada saat itu tumbuh menjadi satu dari tiga kekuatan seimbang di laut Jawa, bersaing dengan Mataram dan VOC. Kemampuan finansial yang kuat memungkinkan Sultan Banten membangun armada laut sehingga mampu menjebol blokade laut oleh Belanda, membiayai proyek-proyek besar seperti proyek irigasi dengan membendung sungai-sungai, membuka lahan persawahan baru dan transmigrasi penduduk Banten ke DAS Cisadane, Cipasilian, Cidurian dan Ciujung, kemudian pembangunan keraton Tirtayasa.

Pada masa itu kemegahan istana Surosowan dikenal di Nusantara dan membayangi imajinasi para penyair Eropa. Tata kota yang rapih dengan jaringan kanal yang teratur dan indah, terhubung dengan jalan-jalan di perkotaan. Dengan demikian, para pedagang dari berbagai belahan dunia tinggal dengan nyaman di loji-loji dagang mereka. Dinamika kehidupan saat itu mendorong terciptanya spesialisai pekerjaan, pemberlakuan sistem peradilan yang mumpuni, penerapan bea cukai yang ketat di pabean. Kesultanan Banten tetap menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terdepan di Asia Tenggara.

5. Masa Kebertuanan Belanda (1684 - 1808)
Diawali dengan berakhirnya kedaulatan ekonomi dan politik Kesultanan Banten dengan ditandatanganinya ‘traktat lada’ sebagi kompensasi bantuan VOC kepada Sultan Haji, pada peperangan melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Monopoli kesultanan atas harga lada yang memberi income 40% dari setiap penjualan lada doi pelabuhan Banten berakhir setelah itu berdampak secara politik. Sultan tidak lagi berdaulat penuh atas tata kelola pemerintahan dan perdagangan di wilayah kekuasaannya. Suksesi kepemimpinan selalu ditentukan oleh VOC. Monopoli perdagangan lada berada dalam genggaman penuh VOC.

Masyarakat Banten berhadapan dengan benturan nilai antara Islam lokal dan Barat, sebagai dampak perubahan ekonomi politik yang dipromosikan kekuatan VOC. Dampak dari semua itu muncullah perlawanan yang pimpin oleh Tubagus Buang yang menentang rezin Syarifah Fatimah yang ambisius, pemberontakan Ki Tapa yang ingin mengembalikan harkat dan martabat jati diri Kesultanan.

6. Masa kehancuran Kesultanan (1808-1832)
Kedatangan H.M. Daendels yang diutus oleh Napoleon Bonaparte untuk menguasai Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan kolonoial Inggris. Pada tanggal 1 Januari 1808 di Anyer merupakan titik balik dalam sejarah kesultanan Banten yang dianggap batu sandungan karena menolak berkooperasi untuk membangun pelabuhan di Ujung Kulon. Pada tanggal 21 November 1808 Deandels mengeluarkan surat keputusan untuk menghancurkan kesultanan Banten. Para sultan dan keluarganya yang tidak mengikuti ditangkap, sebagian dibunuh, dan sebagian lainnya diasingkan ke pulau yang sangat jauh di Nusantara.

7. Masa Pemerintahan Kolonial (1808-1945)
Penghapusan kesultanan oleh kolonial Belanda merupakan fase penting dalam sejarah kebudayaan Banten. Kota Surosowan, sebagai ibukota kesultanan Banten menjadi kota mati, bangunan-bangunan bekas istana Sultan dihancurkan. Penduduknya dipindahkan diberbagai tempat di Nusantara. Kemudian pemerintahan kolonial menetpkan Serang sebagai ibukota Residensi Banten. Serang yang dulu areal persawahan paling subur yang dibangun oleh Maulana Yusuf disulap menjadi ibukota Banten modern yang ditandai dengan bangunan bergaya Eropa.

Akibat runtuhnya kesultanan Banten, orang Banten mencari referensi nilainya langsung ke pusat suci Islam di Mekah, disamping untuk ritual ibadah haji dan dilanjutkan untuk pendalaman agama demi memperoleh semangat baru untuk melawan kesewenangan. Dampaknya bermunculan pesantren dipelosok desa, pusat pendidikan sekaligus memupuk semangat mengusir penjajah. Krakatau meletus, petani memberontak, perlawanan fisik diberbagai tempat. Peristiwa Cikande Udik (1836), Ki Wakhia Cilegon (1850), Geger Cilegon (1888) dan pemberontakan Labuan Menes (1926) adalah bentuk pengejawantahan oposisi terhadap rejim asing.

8. Masa Kemerdekaan (1945-1999)
Pergantian rejim berdampak pada pergantian seluruh jajaran birokrasi pemerintahan. Kaum ulama yang sebelumnya berperan sebagai pengajar santri di pesantren-pesantren diangkat menjadi residen, bupati, wedana dan camat. Semangat baru untuk kembali mengembalikan Banten kepada jati dirinya seperti masa kesultanan mendorong ulama untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya di birokrasi pemerintahan tetapi juga di pertahanan dan keamanan.

9. Masa Banten menjadi Provinsi (2000 - Sekarang)
Mayarakat Banten bersemangat menyambut kemenangan rakyat mengawali era reformasi dan memunculkan ide membangun provinsi sendiri untuk wilayah Keresidenan Banten. Bersatunya seluruh elemen masyarakat Banten untuk memperjuangkan berdirinya Provinsi Banten melalui berbagai cara :propaganda, jalur akademis, jalur politik dan lain-lain.


BAGIAN 2

BANTEN GIRANG
Pada awalnya sejarah Banten Girang merupakan Kerajaan Sunda, sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Banten Girang merupakan awal kerajaan Banten yang  sebelumnya mendapat kebesaran nama pada saat itu Kerajaan Sunda Wahanten. Pendiri kerajaan Wahanten adalah Prabu Jaya Bupati yang disebut juga Prabu Saka Domas, yang bermaksud untuk memulihkan kerajaan-kerajaan yang telah hancur dimasa silam.

Kerajaan Sunda Wahanten
Prabu Jaya Bupati mendirikan kerajaan Wahanten di Banten Girang pada tahun 932-1016. Pada saat itu kerajaan subur makmur, sehingga dapat menjamin hubungan dengan kerajaan di Jawa. Salah satu hubungan yang sangat erat dengan Raja Prabu Darma Wangsa dan dilanjutkan hubungan dengan Raja Erlangga pada tahun 990-1016.

Prabu Jaya Bupati sebagai penguasa di Kerajaan Sunda (Wahanten) yang berkedudukan di Banten Girang sering mendapat gangguan keamanan yang mengancam keselamatan Raja Sunda (Wahanten) dan rakyatnya. Ancaman itu datang dari Kerajaan Sriwijaya (Prabu Balaputra Dewa) yang ingin menguasai Kerajaan Sunda (Wahanten) yang merupakan sekutu dari kerajaan Jawa Prabu Darma Wangsa, dengan maksud balas dendam, karena sebelumnya Prabu Darmawangsa telah menyerang Sriwijaya.

Kerajaan Sunda (Wahanten) yang sudah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya, Prabu Jaya Bupati yang sayang akan keselamatan rakyatnya memutuskan untuk mengungsi kepedalaman pegunungan selatan dengan mendirikan kerajaan kecil di daerah Cicatih Sukabumi. Dengan pengungsian tersebut, kekuasaan Prabu Bala Putra Dewa Sriwijaya mengausai Wahanten 1016 sampai tahun 1030

Banten Girang Tahap II (Babad Banten)
Pada awalnya anak cucu dari keturunan kerajaan Pajajaran dengan kerajaan Galuh Pakuan yang bernama Prabu Jaya Dewata (Prabu Pucuk Umun) dan Masjong dan Agus Ju mendirikan kerajaan Sunda (Banten)  di Banten Girang, yang dahulu bekas kerajaan Sunda yang bernama (Wahanten) yang ditinggalkan Prabu Jaya Bupati pada tahun 1030. Selanjutnya Prabu Jaya Dewata menjadi penguasa di kerajaan Sunda Banten pada tahun 1480, perkembangannya semakin rapai dikunjungi oleh para pedagang lokal maupun saudagar dari Cina. Kemudian lama kelamaan kendala yang dihadapi oleh pembawa barang para saudagar dari negeri Cina adalah perahu layar di sungai Cibanten semakin kandas, disebabkan oleh menurunnya debit air.

Prabu Jaya Dewata (oleh orang Jawa Banten disebut Prabu Pucuk Umun) kepada para punggawa dan rakyatnya didampingi oleh dua pemuda gagah dan berani yang bernama Ajar Jong dan Ajar Ju untuk membangun pelabuhan perahu layar di daerah Kelapa Dua terusan sungai Cibanten tepatnya di sebelah utara Kota Serang. Pelabuhan pada masa itu dinamakan pelabuhan Teluk Banten yang dilengkapi sarana jalan darat melalui daerah Kelapa Dua, Lontar, Kaloran Penah, Kaujon Kidul, Kalunjukan dan berakhir di Banten Girang. Perkembangan semakin pesat, sehingga tahun berikutnya kota Sunda Banten (Banten Girang) berhasil diperluas, pada bagian sebelah timur berhasil membangun GUHA untuk digunakan tempat penahanan bagi orang-orang melanggar peraturan hukum di kerajaan Sunda Banten, disebelah selatan berhasil memperluas bangunan keraton Banten Girang, sebelah barat berhasil membangun kolam penampungan air untuk keperluan orang-orang di Keraton Situs ini yang dinamakan Kolam Sipadaringan, termasuk parit-parit Benteng Keraton dengan dilengkapi menara pengintai, sehingga kerajaan Sunda Banten mengalami kemajuan.

Kondisi seterusnya, suatu saat Ajar Jong sebagai Patih kerajaan Sunda Banten melihat saudaranya Ajar Ju yang cukup lama mengabdi yang pada saat itu ditugasi sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan, mengusulkan untuk diangkat setara kedudukannya sebagai Tumenggung, tetapi usulan itu mendapat hambatan dari pihak keluarga Raja. Kemudian anggapan Ajar Jong bahwa Prabu Jawa Dewata berbuat tidak adil kepada Ajar Ju, sehingga merasa gelisah dan sakit hati kemudian meninggalkan kerajaan tersebut menuju arah timur dan sampailah di kerajaan Demak.

Ajar Jong mengabdi kepada Raja Demak (Sultan Trenggono), pada saat itu telah mengadakan pesta pernikahan adik perempuan Sultan Trenggono dengan Faletehan (Fatahilah) yang memiliki keahlian dibidang Agama Islam dan Bela Diri. Kemudian Ajar Jong dan Fatahilah hubungan makin akrab, selanjutnya Ajar Jong mendalami ilmu Agama Islam.

Pada suatu saat Sultan Trenggono memerintahkan kepada Fatahilah untuk menyerang dan meng Islamkan Sunda Pajajaran Banten, ialah di Banten Girang, kemudia berangkatlah berdua dilengkapi pasukan perang kerajaan Demak. Dikerajaan Sunda Banten setelah ditinggalkan oleh Ajar Jong rupanya ada tanda-tanda akan mengalami kemunduran, disamping pihak kerabat tidak profesional dan juga adanya air laut yang semakin menurun dan tidak bisa lagi disandari perahu lagi, Prabu Jaya Dewata sebagai pemeluk agama Huindu sering meninggalkan singgasana kerajaan dan melakukan bertapa di Gunung Kaesala (Gunung Pulosari) Pandegklang untuk mendapat petunjuk dari Tuhannya dengan harapan kerajaan Sunda Banten pulih kembali. Ketika datang pasukan Fatahilah bersama saudaranya Ajar Jong setelah menerangkan kepada Ajar Ju mempersilahkan untuk memasuki Istana kerajaan Sunda Banten. Setelah Fatahilah memduduki kerajaan Sunda Banten Prabu Jaya Dewata mendengar dan memerintahkan untuk mematai matai maka dengan geramnya mengancam akan membunuhnya, segera turun dari gunung menuju Banten Girang didalam perjalanan berhenti di daerah Mandeg dan mempersiapkan penyerangan dan didengan oleh Fatahillah, maka diserang dahuluan kemudian Prabu Jaya Dewata meninggal Mandeg menuju ke selatan didaeran Cikertawana (Baduy).


BAGIAN 3

RIWAYAT KESULTANAN BANTEN

A.  Pendahuluan
Sultan Maulana Hasanuddin sebagai Raja/Sultan pertama di kerajaan Banten sebagai cucu dari raja Syarif Abdullah (Kerajaan Mesir) dari pihak bapak dan sebagai cucu dari Prabu Siliwangi (Dewata Wisesa) sebagai Raja Galuh Pakuan/Pajajaran dari pihak ibu.
Pada kenyataannya sebelum Sultan Maulana Hasanuddin ditugaskan oleh Ayahandanya Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan Islam di Banten, pada saat itu Banten dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk Umun) dibantu oleh Mahapatihnya Ajar Jong dan Ajar Jo sebagai pemeluk Animisme.

Strategi Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Banten lainnya dalam mengembangkan agama Islam pada waktu itu dengan cara adu kekuatan dan penampilan ketangkasan serta kreatifitas yang dikemas dalam wujud kesenian debus.
Kejayaan kerajaan Banten pada waktu itu adalah satu satunya Kerajaan Islam di Indonesia yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Kerajaan luar negeri (Inggris).

B. Raja Sri Baduga/Prabu Siliwangi/Dewata Wisesa
Raja Sri Baduga bertahta antara tahun 1482 – 1521 memerintah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) dan pada tahun 1422 menikah dengan Nyi Mas Subang Larang/Nyi Mas Subang Keranjang (yang lahir tahun 1404 dan wafat 1441).

Nyi Mas Subang Larang adalah putri dari Mangkubumi kerajaan kecil Singapura Martasina Cirebon. Dijumpai pada waktu sedang dipesantren Quro di Karawang yang dipimpin oleh Syekh Hasanuddin dari Cempa/Kamboja putra Syekh Yusuf Siddiq Guru Besar Agama Islam Cempa, keturunan dari Syekh Zainal Abiddin keterunan Nabi Muhammad SAW. Setelah sepekan sang Prabu di Karawang Putri Subang Larang dibawa oleh prabu untuk menjadi permaisuri.

Sebelum itu, Nyi Subang Larang menerima lamaran sang Prabu dengan satu syarat , agar beliau diberikan mas kawin berupa kalung bintang kerti, tentu yang dimaksud tasbih yang mana di dalamnya sudah mengandung Islam, sehingga akhirnya sang Prabu menjadi Islam dengan tidak merasa tersinggung perasaannya.

Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Subang Larang dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu :
1.      Pangeran Walang Sungsang (lahir tahun 1423).
2.      Ratu Rara Santang (lahir tahun 1427).
3.      Kian Santang/Raja Sengara (lahir tahun 1429).

Sejak kecil ketiga anak itu oleh Nyi Mas Subang Larang di didik ilmu agama Islam. Setelah pangeran Walang Sungsang dan Ratu Rara Santang agak dewasa mereka diperintahkan oleh ibunya agar berangkat ke pesantren Karawang yang bernama pesantren Quro, dimana tempat tersebut adalah pesantren ibunya pada waktu itu. Diceritakan bahwa setelah anak-anaknya dewasa, Prabu Siliwangi akhirnya keluar dari agama Islam kemudian ia kembali kepada agamanya semula. Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran menghilang tanpa bekas (sirna) dengan Cendra Sengkala.

Pangeran Walang Sungsang, ketika usia dewasa diperkirakan usia lebih dari 17 tahun, ibunya meninggal dunia, kemudian meninggalkan istana dengan tujuan untuk mencari agama islam yang hakiki, berjalan masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung dan yang pertama disinggahi adalah gunung merapi. Setelah itu, Pangeran Walang Sungsang bertemu dengan Sanghiang Danuarsi (Pendeta Agama Sanghiang Buddha) serta beliau dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyi Indang Geulis/Nyi Indang Ayu pada tahun 1442. Dari perkawinan tersebut dikaruniai anak yang bernama Putri Mas Pakung Wati (lahir 1446). Ditempat itu pula bertemu dengan adiknya Ratu Rara santang yang pergi sepengetahuan ayahnya.

Setelah bercerita segala maksud dan tujuan kepada pendeta, disarankan bertiga untuk menemui Shang Hiang Naga yg berada digunung Ciangkup dan kemudian disuruh datang ketempatnya di gunung kumbang. Sesampainya disana diperintahkan bertemu Ratu Bangau wilayah Cirebon, selanjutnya mendapat petunjuk untuk berangkat ke gunung djati untuk menemui Syekh Nurjati.

Setelah belajar kurang lebih 3 tahun kepada syekh Nurjati, akhirnya diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Selama di tanah Arab terjadi peristiwa penting bagi Walang Sungsang, yaitu perkawinan adiknya Ratu Rara santang dengan bangsawan Arab, yaitu Maulana Muhammad bergelar Syarif Abdullah dari suku Bani Hasyim putra Nurul Alim yang memerintah kota islamiyah di wilayah Palestina/Bani Israil.

Syarif Abdullah adalah anak dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Al Husein keturunan ke 19 Nabi Muhammad SAW.

Dari pernikahan antara sultan Syarif Abdullah dengan Ratu Rara Santang dikarunia 2 orang putra, yaitu :
1.  Syarif Hidayatullah (lahir pada tahun 1448)
2.  Syarif Nurullah (lahir pada tahun 1450)

Kemudian Syarif Abdullah wafat pada tahun 1450, sementara digantikan oleh mangkubuminya yang bernama Unka Jatra sebagai pejabat Sultan Mesir.

C. Syaraif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah dilahirkan di Mesir pada tahun 1448 dan wafat tahun 1568 di Gunung Djati Cirebon.Pada tahun 1470 (mencapai sekitar umur 20 tahun) pergi ibadah haji dan bermukim di Mekah, belajar agama Islam pada syekh Attaulahi Sajali ulama di Mekah, terus pergi ke Bagdad belajar ilmu Tasauf. Setelah kembali ke Mesir oleh Unka Jatra pejabat Sultan diserahi Mahkota Sultan tapi menolaknya dan diserahkan ke adiknya yaitu Syarif Nurullah yang akhirnya dinobatkan menjadi Sultan.

Syarif Hidayatullah adalah seorang yang berjiwa besar, bercita cita tinggi dan berilmu pengetahuan yang luas, kemudian berniat untuk pergi meninggalkan Mesir dengan maksud untuk mengembangkan agama islam di tanah jawa, kemudian ibunya merestui dan berdo’a :
1.  Semoga Allah menjadikan kamu seperti matahari, tidak ada pilihan semuanya harus disinari.
2.  Semoga Allah menjadikan ketabahan hatimu seperti gunung, walaupun yang datang itu adalah angin topan dan halilintar tetapi tidak berubah.
3.  Semoga Allah menjadikan kebesaran hatimu seperti luasnya laut.

Syarif Hidayatullah cenderung untuk menjalankan syiar islam beliau berangkat ke Jawa Barat, mampir di Gujarat, Pasai, Aceh, mengunjungi guru besarnya di Blambangan/Jawa Timur belajar agama Islam. Dari Aceh terus ke Banten, selanjutnya ke Cirebon dalam perjalanan mengislamkan 98 orang diantaranya Dipati Keling beserta rombongannya. Di Cirebon diterima oleh Syekh Nurjati dan dibuatkan sebuah rumah di Sembung dan diberi gelar Maulana Jati.

Waktu berda’wah di Babadan Cirebon Syarif Hidayatullah mengislamkan ki Gedheng Babadan dan menikah dengan putrinya Nhay Babadan pada tahun 1471, tidak dikaruniai anak dan wafat pada tahun 1477.

Pada tahun 1471 Syarif Hidayatullah muhibah ke Peking Cina menghadap kepada Kaisar Cina bernama Hong Gie putra Yung Lo waktu Dinasti Ming (tahun 1368 - 1642) yang dibantu oleh Jendral  Ceheng Ho dan sekretarisnya dari kerajaan bernama Ma Huan beserta Fhei Hsin yang menganut agama Islam. Di Istana bertemu  putri Ong Tien dan saling mencintai, tetapi hubungannya tidak disetujui oleh Kaisar sehingga Syarif Hidayatullah harus pelang ke Cirebon di Keraton Pakungwati.

Selanjutnya dengan Uwanya Pangeran Walang Sungsang/Cakrabuana berda’wah ke Kawung Anten Banten, Ki Gedheng Kawung Anten beserta rakyatnya pada masuk Islam dan putrinya yang bernama Nhay Ratu Kawung Anten dinikahi oleh Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 kemudian pulang ke Cirebon. Dari pernikan ini memperoleh 2 orang anak, yaitu :
1.  Ratu Winahon lahir 1477 (nikah dengan Sunan Kali Jaga).
2.  Pangeran Seba Kinking/Hasanuddin lahir 1479, diangkat menjadi Bupati Banteng di Banten pada tahun 1526 dan menjadi Sultan Banten yang pertama berdaulat penuh pada tahun 1569.


BAGIAN 4
SILSILAH SULTAN BANTEN

A.  Nama-nama Raja yang duduk dalam tahta kerajaan
I.          Syarif Hidayatullah/Susuhunan Gunung Djati, tahun 1527
II.         Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan, tahun 1552
III.        Maulana Yusuf Panembahan Pekalangan, tahun 1570
IV.       Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten, tahun 1580
V.        Sultan Abulmafakhirn Muhammad Abdulqadir , tahun 1596-1605
VI.       Sultan  Abdul Ma’ali Ahmad, tahun 1640
VII.     Sultan Ageng Tirtayasa/Abul Fath Abul Fattah, tahun 1651
VIII.    Sultan Haji/Abunasr Abdulkahar/maulana Mansuruddin, tahun 1672
IX.       Sultan Abdulfadhal, tahun 1687
X.        Sultan Abulmahasin Zainul Abidin, tahun 1690
XI.       Sultan Muhammad Syifa’u Zainul Arifin, tahun 1733
XII.     Sultan Syarifuddin Ratu Wakil, tahun 1750
XIII.    Sultan Muhammad Wasi Zainul Alimin, 1752
XIV.   Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin, tahun 1753
XV.    Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin, tahun 1773
XVI.   Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussolihin, tahun 1779
XVII.  Sultan Muhammad Ishak Zainul Muttaqin, tahun 1801
XVIII Sultan Wakil Pangeran Natawijaya, tahun 1803
XIX.   Sultan Muhammad Agiluddin/Aliyyudin II, tahun 1803
XX.    Sultan Wakil Pangeran Suramenggala, tahun 1808
XXI.   Sultan Muhammad Shafiyuddin, tahun 1809
XXII.  Sultan Muhammad Rafi’uddin, tahun 1813

B. Daftar silsilah kesultanan Banten
I.          Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Djati Tahun 1527, berputra :
1. Ratu Ayu Pambayun
2. Pangeran Pasarean
3. Pangeran Jayalalana
4. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan
5. Pangeran Berata Kelana
6. Ratu Winohon
7. Pangeran Turusmi

II.         Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan (1552-1570), berputra :
1. Ratu Pembayun fathimah
2. Maulana Yusuf/Panembahan Pekalangan
3. Pangeran Arya Japara
4. Pangeran Sunyararas
5. Pangeran Pajajaran
6. Pangeran Pringgalaya
7. Pangeran Sabrang Lor
8. Ratu Keben
9. Ratu Terpenter
10.Ratu Biru
11.Ratu Ayu Arsanengah
12.Pangeran Pajajaran Wado
13.Ratu Temenggung Wilatikta
14.Ratu Ayu Kumudarage
15.Pangeran Sabrang Wetan

III.           Sultan Maulana Yusuf Panembahan Pekalangan (1570-1580), berputra :
1. Pangeran Arya Upapati
2. Pangeran Arya Adikara
3. Pangeran Arya Mandalika
4. Pangeran Arya Ranamenggala
5. Pangeran Arya Seminingrat
6.  Ratu Demang
7.  Ratu Pecatanda
8.  Ratu Rangga
9.  Ratu Ayu Wiyosa
10.   Ratu Manis
11.   Pangeran Mandura Raja
12.   Pangeran Widara
13.   Ratu Balimbing
14.   Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten

IV.          Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten (1580-1596), berputra :
1.      Sultan Abul Mufachir Mahmud Abdul Kadir (putra tunggal).

V.           Sultan Abul Mafakhir Mahmud  Abdul  Kadir  Kenari (1596-1651), berputra :
1.      Sultan ‘Abul Ma’ali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
2.      Ratu Dewi
3.      Ratu Ayu
4.      Pangeran Arya Banten
5.      Ratu Mirah
6.      Pangeran Sudamanggala
7.      Pangeran Ranamanggala
8.      Ratu Balimbing
9.      Ratu Gedong
10.  Pangeran Arya Manduraraja
11.  Pangeran Kidul
12.  Ratu Dalam
13.  Ratu Lor
14.  Pangeran Seminingrat
15.  Ratu Kidul
16.  Pangeran Arya Wiratmaka
17.  Pangeran Arya Danuwangsa
18.  Pangeran Arya Prabangsa
19.  Pangeran Arya Wirasuta
20.  Ratu Gading
21.  Ratu Pandan
22.  Pangeran Arya Wirasmara
23.  Ratu Sandi
24.  Pg. Arya Jayaningrat
25.  Ratu Citra
26.  Pg. Arya Adiwangsa
27.  Pg. Arya Sutakusuma
28.  Pg. Arya Jayasentika
29.  Ratu Hafsah
30.  Ratu Pojok
31.  Ratu Pacar
32.  Ratu Bangsal
33.  Ratu Salamah
34.  Ratu Ratmala
35.  Ratu Hasanah
36.  Ratu Hasaerah
37.  Ratu Kelumpuk
38.  Ratu Jiput
39.  Ratu Wuragil

VI.       Sultan ‘Abul Ma’ali Ahmad, berputra :
1.     ‘Abul Fath ‘Abdul Fattah
2.     Ratu Panenggak
3.     Ratu Nengah
4.     Pangeran Arya Elor
5.     Ratu Wijil
6.     Ratu Puspita
7.     Pg. Arya Ewaraja
8.     Pg. Arya Kidul
9.     Ratu Tinumpuk
10.  Ratu Inten
11.  Pg. Arya Dipanegara
12.  Pg. Arya Adikusuma
13.  Pg. Arya Kulon
14.  Pg. Arya Wetan
15.  Ratu Ayu Ingalengkadipura

VII.     Sulltan Ageng Tirtayasa/’Abul Fath ‘Abdul Fattah (1651-1672), berputra :

  1. Sultan Haji
  2. Pg. Arya ‘Abdul’ Alim
  3. Pg. Arya Ingayudadipura
  4. Pg. Arya Purbaya
  5. Pangeran Sugiri
  6. Tubagus Rajasuta
  7. Tubagus Rajaputra
  8. Tubagus Husen
  9. Raden Mandaraka
  10. Raden Saleh
  11. Raden Rum
  12. Raden Mesir
  13. Raden Muhammad
  14. Raden Muhsin
  15. Tubagus Wetan
  16. Tubagus Muhammad ‘Athif
  17. Tubagus Abdul
  18. Ratu Raja Mirah
  19. Ratu Ayu
  20. Ratu Kidul
  21. Ratu Marta
  22. Ratu Adi
  23. Ratu Umu
  24. Ratu Hadijah
  25. Ratu Habibah
  26. Ratu Fatimah
  27. Ratu ‘Asyiqoh
  28. Ratu Nasibah
  29. Tubagus Kulon                                                              

VIII Sultan ‘Abun Nasr ‘Abdul Kahhar/Sultan Haji (1672-1687), berputra :
1.  Sultan Abdul Fadhal
2.  Sultan ‘Abul Mahasin
3.  Pangeran Muhammad Tahir
4.  Pangeran Fadhluddin
5.  Pangeran Ja’faruddin
6.  Pg. Muhammad ‘Alim
7.  Ratu Rohimah
8.  Ratu Hamimah
9.  Pangeran Ksatrian
10.  Ratu Mumbay (Bombay)

IX.   Sultan Abdul Fadhl (1687-1690)
Tidak berputra

X.     Sultan Abul Mahasin Zainul ‘Abidin (1690-1733), berputra :
1.  Sultan Muhammad Syifa
2.  Sultan Muhammad Wasi’
3.  Pangeran Yusuf
4.  Pangeran Muhammad Saleh
5.  Ratu Samiyah
6.  Ratu Komariah
7.  Pangeran Tumenggung
8.  Pangeran Ardi Kusuma
9.  Pg. Anom Muhammad Noh
10.   Ratu Fatimah Putra
11.   Ratu Badariyah
12.   Pg. Manduranegara
13.   Pg. Jaya Sentika
14.   Ratu Jabariyah
15.   Pg. Abul Hasan
16.   Pg. Dipati Banten
17.   Pangeran Ariya
18.   Raden Nasut
19.   Raden Maksaruddin
20.   Pangeran Dipakusuma
21.   Ratu ‘Afifah
22.   Ratu Siti Adirah/Abidah
23.   Ratu Safiqoh
24.   Tubagus Wirakusuma
25.   Tubagus Abdulrahman
26.   Tubagus Mahaim
27.   Raden Rauf
28.   Tubagus Abdul Jalal
29.   Ratu Hayati
30.   Ratu Muhibbah
31.   Raden Putra
32.   Ratu Halimah
33.   Tubagus Sahib
34.   Ratu Sa’idah
35.   Ratu satijah
36.   Ratu ‘Adawiyah
37.   Tubagus Syarifuddin
38.   Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
39.   Tubagus Ismail
40.   Tubagus Sa’jan
41.   Tubagus Haji
42.   Ratu Thoyibah
43.   Rt. Chairiyah Kumudaningrat
44.   Pangeran Rajaningrat
45.   Tubagus Jahidi
46.   Tubagus Abdul Azis
47.   Pangeran Rajasentika
48.   Tubagus Kalamuddin
49.   Rt. Siti Sa’ban Kusumaningrat
50.   Tubagus Abunasir
51.   Raden Darmakusuma
52.   Raden Hamid
53.   Ratu Sifah
54.   Ratu Minah
55.   Ratu ‘Azizah
56.   Ratu Sehah
57.   Ratu Suba/Ruba
58.   Tubagus Muhammad Said ( Pangeran Natabaya)

XI. Sultan Muhammad Syifa’Zainul ‘Arifin (1733-1750), berputra :
1.  Sultan Muhammad ‘Arif
2.  Ratu Ayu
3.  Tubagus Hasanuddin
4.  Rd. Raja Pangeran Rajasantika
5.  Pg. Muhammad Rajasantika
6.  Ratu ‘Afiyah
7.  Ratu Sa’diyah
8.  Ratu Halimah
9.  Tubagus Abu Khaer
10.   Ratu Hayati
11.   Tubagus Muhammad Saleh

XII.  Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750-1752)
tidak berputra.

XIII. Sultan Muhammad Wasi ‘Zainul ‘Alimin (1752-1753)
tidak berputra.

XIV Sultan Muhammad ‘Arif Zainul Asyikin (1753-1773), berputra :
1.  Sultan ‘Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin
2.  Sultan Muhyiddin Zainussholihin
3.  Pangeran Manggala
4.  Pangeran Suralaya
5.  Pangeran Suramanggala

XV. Sultan ‘Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773-1799), berputra :
1.  Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
2.  Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
3.  Pangeran Darma
4.  Pangeran Muhammad Abbas
5.  Pangeran Musa
6.  Pangeran Yali
7.  Pangeran Ahmad

XVI Sultan Muhyiddin Zainussholihin (1799-1801), berputra :
1.    Sultan Muhammad Shafiuddin

XVII Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

XVIIISultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

XIX  Sultan Agilludin (Aliyuddin II) (1803-1808)

XX   Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

XXI  Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
XXIISultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820).


BAGIAN 5

PEMERINTAHAN KESULTANAN BANTEN

A.  Sultan Maulana Hasanuddin Tahun 1552-1570 (Raja Banten I)
Ø Lahir dari Syarif Hidayatullah dengan  Nyi  Ratu Kawung Nganten.
Ø Maulana Hasanuddin diangkat sebagai penegak agama Islam di Banten dan sekaligus wakil Sunan Cirebon.
Ø Pada tahun 1525 meng-Islamkan Banten Utara, yang tidak masuk Islam mengungsi ke Parahiyangan (Cibeo/Kanekes Baduy/Rangkas Bitung)
Ø Kemudian meng-Islamkan kedua patih di tepi sungai dalung.
Ø Pada tahun 1548 memperluas daerahnya ke Lampung (Tulang Bawang) diserahi oleh raja Indrapura daerah diselebar daerah lada terkaya di Nusantara yang dibutuhkan oleh separuh dunia serta ditikahkan dengan putri raja tersebut.
Ø Pada tahun 1550 Sunda Kelapa (Jayakarta) dijadikan Bandar Banten 2
Ø Pada tahun 1568 memerdekaan Banten dari kerajaan Demak
Ø Pada tahun 1570 Maulana Hasanudin Wafat dan oleh rakyatnya diberi gelar Sunan Banten Panembahan Sabrang. Oleh cantrik-cantriknya disebut Pangeran Surosowan panembahan sebakinking Maulana Hasanuddin Sinuhun Banten.

B. Sultan Maulana Yusuf Tahun 1570-1580 (Raja Banten II)
Ø Lahir dari pernikanan Sultan Maulana Hasanudin dan Nyi Ratu Anjani.
Ø Tahun 1578 mendirikan Masjid Banten
Ø Tahun 1578 membangun sawah percobaan “tandur” di Serang, kemudian memperluas dari Serang ke daerah Tirtayasa Pandeglang hingga ke Cikarang dan Karawang
Ø Hasil karyanya mendirikan pesantren di Banten dan Pandeglang
Ø Membuat tembok keraton surosowan
Ø Pada  tahun 1579 melancarkan serangan besar-besaran terhadap Ibukota Pajajaran yaitu Pakuan, dengan dukungan pasukan Cirebon dan sukses, mengangkat derajat dan martabat Banten dalam pandangan raja di jawa dan luar jawa.
Ø Melakukan expansi ke Lampung, Palembang dan Makasar.
Ø Pulau panjang sebagai markas prajurit yang berasal dari Makasar
Ø Pada tahun 1580 Sultan Maulana Yusuf meninggal dunia dimakamkan di pekalangan gede.

C. Maulana Muhammad Nasruddin/Pangeran Ratu Banten Tahun 1580-1596 (Raja Banten III)
Ø Pada tahun 1590 seorang pangeran peranakan portugis putra Arya Pangiri keturunan raja Trenggana gurunya Maulana Muhammad membujuk supaya beliau memerangi palembang.
Ø Pada tgl 20 Juni 1596nMaulana Muhammad terbunuh waktu bperang dikota palembang dalam usia 25 tahun.
Ø Putra tunggalnya Abdul Mufachir Mahmud Abdul Kadir belum berusia setahun, maka pd tgl 26 November 1596 Nyai Emban Rangkuti pendidik Abdul Mufachir mewakili sebagi wali negara dan patih jaya negara.
Ø Pada tahun 1598 Emban Rangkuti wafat diganti oleh Mangkubumi Jaya Negara, dan bulan Desember 1602 wafat diganti oleh ibu Nyai Gede Wana Giri sebagai wakil.
Ø Pada tahun 1606 Abdul Mufachir pergi ke Mekah, ke Parsi (Iran), Mesir, Istambul (Turki) dan mendapat Panji Nabi Ibrahim AS. Panji tersebut disimpan di Mesjid Kenari dan Meriam Ki Amuk, beliau kembali tahun 1607 dengan gelar Sultan. Sementara sebagai mangkubumi Banten ialah Pangeran Arya Ranamenggala yang pandai dan perkasa antara tahun 1608-1624.

D. Abdul Mafachir \mahmud Abdul Qadir Tahun 1642-1643 (Raja Banten IV)
Ø Pada masa pemerintahan hubungan diplomatik dapat perhatian dari negara Islam
Ø Membangun waduk Tasikardi untuk irigasi, mengarang kitab Insan kamil yang diambil oleh Dr. Snouck Hurgronye.
Ø Pada tahun 1638 sebutan gelar Maulana diganti dengan gelar Sultan Banten
Ø Beliau dimakamkan di Mesjid Agung Kenari.

E.  Abdul Ma’li Ahmad Rahmatullah Tahun 1643-1651 (Raja Banten V)
Ø Pada masa ini uang Banten 4 macam dibuat dari besi/timah berhuruf Arab : wang sawe, wang bribil, wang cepeng (bahasa cina) dan wang goweng (0,1 gobang) tiga biji masih disimpan di Museum gajah jakarta.
Ø Pada tahun 1644 kompeni mencetak uang di Batavia (Jakarta) untuk menyaingi perdagangan Banten

F.  Abdul Fatchi Abdul Fatah Tahun 1651-1683 (Raja Banten VI)
Ø Pada tahun 1658-1659 Banten berperang melawan kompeni.
Ø Pada tahun 1659 Cisadane Cibentuk sebagai batas sementara antara Banten dan Jakarta.
Ø Pada tahun 1662 disusun sejarah dan piagam Banten yang pertama di Keraton.
Ø Pada tahun 1663 dibangun selokan irigasi dari Cikande ke kali Pasilian.
Ø Pada tahun 1664 mendapat gelar Sultan Agung didaratan dan lautan karena berjasa memajukan perniagaan Banten dan Inggris, Demak, Parsi (Iran), Hindu, Arab, Tiongkok, Jepang, Manilia, Hindia Belanda, sehingga pusat perdagangan kompeni Belanda di Batavia (Jakarta) menjadi mundur
Ø Pada tahun 1669 dibangun irigasi Tanahara ke Pontang dan tahun 1670 dibangun irigasi dari Tirtayasa ke Tanahara.

Ø Pada tahun 1671 putra sulung bernama Abunasr Abdulkahar dijadikan calon Sultan dan Raja Pembantu sampai tahun 1687 sebagai sultan ke VII
Ø Pada tahun 1674 Abdulkahar diberangkat ke Mekkah kurang lebih 5 tahun, dalam perjalanan singgah di pulaun Majeti disini berjumpa dengan 2 orang yatim piatu bersaudara laki-laki dan perempuan keturunan belanda peranakan Cina yang ditempatkan oleh kompeni untuk menghibur pangeran Abdulkahar.
Ø Peristiwanya adalah : laki2 itu cakap, ganteng paras mukanya hampir sama, sang pangeran tergila-gila dengan adiknya maka dinikahinya, abangnya diberi seperangkat pakaian kebantenan lengkap dengan pusakanya, selanjutnya adiknya berangkat bersama pangeran ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ø Pada tahun 1676, dua tahun kemudian abangnya menyusuf ke Jakarta terus ke Banten dengan mengakui Pangeran Abdulkahar tulen.
Ø Pada tahun itu pula Sultan Ageng Tirtayasa bertahta di keraton Tirtayasa yang letaknya diantara Cipontang dan Ciduriuan dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa, sedang sultan haji mengambil tempat di Kute Inten (Keraton Pakuwon di Banten Tua) dan sejak itu kompeni mencampuri urusan pemerintahan Banten.

G. Abunasr Abdul Kahar Tahun 1671-1687 (Raja Banten VII)
Ø Pangeran Abdulkahar adalah putra mahkota Sultan Ageng Tirtayasa/Abul Fachi Abdulfataah. Pada tahun 1671 Pangeran Abunasr Abdulkahar oleh Sultan Tirtayasa diangkat sebagai calon Sultan raja Pembantu untuk pemerintahan dari tahun 1671-1687 sebagi Sultan Banten yang ke VII dengan menguasai daerah bekas Pakuan hingga di Tulang Bawang, dari Bangkahulu hingga Kutawaringin. Kompeni mengakui pengangkatan itu dan mulai mencampuri urusan pemerintahan Banten dengan membujuk-bujuk Abunasr Abdulkahar yang oleh rakyatnya disebut Pangeran Mansur/Maulana Mansur (karena Pangeran Abdulkahar banyak menolong dan ditolong orang).
Ø Pada tahun 1674 Sultan Abdulkahar oleh ayahnya direncanakan untuk dikirim ke Mekah untuk naik Haji karena sering dikunjungi oleh kompeni dan dibujuk-bujuk. Sebelum berangkat sang Pangeran dipesan oleh ayahnya agar jangan mampir-mampir kelain tujuan melainkan dari Banten terus langsung ke Banten. Tetapi Pangeran Abdulkahar melupakan amanat ayahnya dan beliau singgah di Pulai Majeti disekitar pulau Penang dan disana beliau bertemu dengan dua bersaudara yatim piatu laki-laki dan perempuan kelahiran Belanda peranakan Cina.
Ø Setelah bermukim 6 tahun Pangeran Abunasr Abdulkahar kembali ke tanah air. Lupa akan nasehat dan amanat Sultan Agung beliau singgah ke Cina, kemudian ke Demak berziarah kekaruhun-karuhunnya, dimana istri dititipkan dan beliau terus ke Cirebon. Dari sana melalui hutan jampang melangsungkan perjalanan melalui Mantiung di Banten Selatan untuk menemui Shang Hiang Sirah. Dari sini dengan menyamar sebagai penziarah datang ke Makam Sultan Maulana Hasanuddin. Sultan Haji insyah akan dosanya ketika mendengar bahwa di Banten sedang diperangi oleh kompeni disertai dengan Sultan Haji Palsu, maka beliau tidak kembali ke keraton tetapi menetap di Cikaromoy ditepi sungai Cibulakan di Cimanuk Banten. Dari sini terus ke Cikaduen menyebarkan agama Islam sampai wafat dan dikenal sebagai Wali Maulana Mansur Cikaduen/Sultan Haji Sejati (jadi Sultan Abunasr Abdulkahar tidak memerintah negara Islam Banten).

H. Fadlaudin Abdulfadl Muhammad Yahya Tahun 1999 (Raja Banten VIII)
Ø Putra dari Pangeran Haji Abunasr Abdulkahar Sejati, memerintah mulai tanggal 14 November 1690.
Ø Pada tanggal 15 Juni 1690 beliau menemukan Batu Tulis Bogor, bahasanya diperkirakan bahasa Sunda yang tertua dalam sejarah bahasa Sunda.

I.    Abdul Mahasin Muhammad Syifa’u Zainul Abidin Tahun 1690-1773 (Raja Banten IX)
Ø Saudara Sultan Fadlaudin, yang memerintah paling lama di Banten. Pada pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam tahanan kompeni tahun 1692.
Ø Tahun 1701 sejarah Banten yang kedua selesai, sedang yang pertama selesai tahun 1662 oleh Keraton Surosowan. Selain itu dibuat Pengindelan saluran air dari Tasikardi untuk keraton.
Ø Pada tahun 1705-1710 mulai mendirikan perumahan batu, hasil yang terindah adalah rumahnya Pangeran Purbanegara dan kepala imam. Disamping itu musim karang-karangan dalam bahasa kuno sunda, antara lain : Carita Purnawijaya, Jakasuno, Babad Galuh dan karangan Kai Raga.
Ø Pada tahun 1709 silsilah keturunan Kesultanan Banten diperbanyak oleh salah seorang pangeran keraton untuk disiarkan.
Ø Pada tahun 1732 keraton Surosowan menyelesaikan sejarah yang ketiga kalinya.

J.  Abulfatchi Muhammad Syifa’u Zaenul  Arifin Tahun 1733-1749 (Raja Banten X)
Ø Adalah putra ketujuh dari Sultan Jaenul Abidin
Ø Pada tahun 1739 membangunjalan sepanjang 508 tombak dari keraton ke Kerapyak
Ø Pada tahun 1743 keraton menyelesaikan sejarah yang keempat
Ø Pada tahun 1747 Sultan Zaenul Arifin oleh kompeni dibuang ke Ambon akibat hasutan permaisuri asing Ratu Syarifah Fatimah, hingga meninggal disana tahun1670. Putra sulungnya Pangeran Gusti calon Sultan dibuang ke Selong

K. Arif Abunasr Muhammad Syifa’u Zainul Asyikin Tahun 1777 (Raja Banten XI)
Ø Pada tanggal  5 September 1752 Pangeran Gusti Zainul Arifin dipersilahkan kembali dari Selong dengan perjanjian menjadi Sultan bawahan sebagai Sultahan Baanten ke 11
Ø Pada tahun 1755 Ratu Bagus Burhan (Tubagus Buang) pahlawan keluarga keraton meninggal dunia

L.  Abul Mafachir Muhammad Aliyuddin I Tahun 1777-1802 (Raja Banten XII)
Ø Putra Zainul Asyikin dan tidak berputra.
Ø Tanggal 26 Maret 1778, Banten terpaksa menyerahkan daerah Landak Kalimantan Barat kepada Kompeni.
Ø Tanggal 24 April 1778 didirikan Musium Gedung Gajah Jakarta, guna mengumpulan barang-barang peninggalan kuno dari seluruh Indonesia, perpustakaan sejarah dan lain-lain.
Ø Pada tahun 1802 Sultan Aliyuddin I wafat dan dimakamkan samping selatan Mesjid Agung Banten.

M. Abdul Fatchi Muhammad Muhyidin Zainussolihin Tahun 1802-1805 (Raja Banten XIII)
Ø Beliau menggantikan kakaknya sebagai Sultan Banten yang ke-13 pada tanggal 13 September 1802.
Ø Pada tahun 1804 Sultan dibunuh oleh  Ratu Bagus Ali putra Sultan Aliuddin I (dari selir) dan dimakamkan di Sikupluk diseberang kenari.

N. Abunasr Muhammad Ishak Zainul Muttaqien Tahun 1805-1808  (Raja Banten XIV)
Ø Putra dari Sultan Aliyudin I, berkediaman di Keraton Benteng Kota Inten.
Ø Beliau sangat menentang Daendels dan Napoleon (Prancis)
Ø Pada tahun1808 didirikan pangkalan Laut Jungkulom oleh Maarschalk (Mas Galak) Daendels banyak korban jiwa dan melarikan diri.
Ø Pada 21 Nopember 1808 Istana Banten diserbu, Mangkubumi dibunuh, sultan diasingkan oleh daendels dengan 100 balatentara sehubungan dengan peristiwa pembubuhan komisaris Du Puy untusan daendels, Banten ditindas habis, tetapi rakyat Banten melawan keras-keras dan timbul ejekan Banten Bantahan.

O. Abul  Mafachir Nuhammad Aqiluddin (Aliyuddin II) Tahun 1808-1810 (Raja Banten XV)
Ø Putra Sultan Zainul Muttaqien dari Padmi diangkat sebagai Sultan yang ke 15 tetapi hanya dengan kekuasaan Bupati
Ø Pada tahun 1809 dibangun jalan sepanjang 1000 Km dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi, sehingga perjalanan 40 hari dapat dipersingkat menjadi 6 hari
Ø Pada tahun 1810 terjadi huru-haara di Leuweung Lancar Pandeglang, dari sini lahir ejekan Becokok (Buaya) dan Jawara (Juara Penyambung Ayam).

P.  Sultan Muhammad Syafiuddin Tahun 1810-1812  (Raja Banten XVI)
Ø Putra dari Sultan Zainussolihin menggantikan Sultan Bupati yang terganggu pikirannya karena itu  dibawa ke Jakarta diistirahatkan di surabaya dan wafat disana lalu dimakamkan dihalaman Mesjid Ampel.

Q. Sultan Muhammad Rafi`uddin Tahun 1813 (Raja Banten XVII).




BAGIAN 6


SITUS PENINGGALAN KERAJAAN  BANTEN


1.  Masjid Agung Banten
  Masjid Agung Banten ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, bangunan masjid ini berdenah segi empat, atapnya merupakan atap bersusun lima, dikiri dan kanan bangunan terdapat serambi yang dibangun kemudian.

2.  Komplek Keraton Surosowan
   Komplek keraton ini berada dekat dengan Masjid Agung Banten dan saat ini sudah hancur, yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi dengan sisa-sisa bangunannya. Sisa-sisa bangunan ini berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan balekambang. Tembok benteng masih tampak setinggi 0,5 – 2 M dengan lebar sekitar 5 M. Pada beberapa bagian, terutama dibagian sebelah selatan dan timur, tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat dengan luas kurang lebih 3 Ha, pintu masuk yang merupakan pintu gerbang terletak disisi utara, menghadap ke alun-alun.

Berdasarkan sejarah Banten, Keraton Surosowan yang disebut juga Gedung Kedaton Pakuwan, dibangun masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedang tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580).

3.  Menara Mesjid Agung
Menara ini terletak dihalaman depan Masjid. Menurut tradisi Menara ini pula dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardael. Kapan bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti.. Didalam “Journal van de Reyse” (DE Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie Onder Cornelis de Houtman, (1595-1597), terdapat sebuah peta Banten yang memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan didalam sejarah Banten antara lain disebutkan bahwa “Kanjeng Maulana Hasanuddin adarbe putra satunggal lanang jeneng putra mangke nuli den wastane Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf sampung gung ikeng putra pan sampan adarbe rayi naliki iku waktu ning wangun munare”. Berdasarkan atas pemberian tersebut C. Crucq berpendapat bahwa Menara Masjid Agung Banten sudah ada sebelum tahun 1596/1570. Berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya ia berkesimpulan bahwa Menara tersebut pada pertengahan kedua abad ke XVI, yaitu antara tahun 1560-1570.


4.  Bangunan Tiyamah
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang terletak disebelah selatan Masjid Agung Banten, disebelah kanan serambi pemakaman. Bentuknya segi empat panjang dan bertingkat. Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda Kuno dan menurut tradisi dibangun oleh Lucas Cardael, seorang arsitek Belanda. Dahulu bangunan ini dipergunakan sebagai tempat bermusyawarah dan berdiskusi mengenai soal-soal keagamaan

5.  Meriam Ki Amuk
Meriam ini pernah diletakan di pelabuhan karangantu, kemudian dipindahkan dipojok alun-alun, didepan Komplek Keraton Surosowan, sekarang ditempatkan di depan Museum Banten di sebelah Barat. Pada meriam itu terdapat tiga buah prasasti dengan huruf dan bahasa Arab. Salah satu prasasti bertuliskan “Aqaibatu’l khoirisalamatul imani”.

6.  Komplek Keraton Kaibon

Komplek ini terletak di kampung kroya, merupakan Keraton tempat kediaman Ibu Asyiah, Ibunda Sultan Rafiuddin. Pada tahun 1832 Komplek Keraton tersebut dibongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, yang masih terlihat sekarang hanya sebagian pondasi, tembok, serta gapura/pintu gerbang.

7.  Masjid Pacinan Tinggi 
Masjid ini terletak di kampung pacinan/dermayon, masjid ini hanya tinggal reruntuhannya saja, yang terlihat hanya michrab dan sisa bangunan menara bata dan dengan pondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang, bagian atas menara ini sudah hancur. Menurut tradisi bangunan masjid dan menara ini sudah ada sebelum Masjid Agung didirikan.

8.  Benteng Speelwijck
Benteng ini terletak di kampung pamarican dekat pabean, sekarang sudah hancur, tetapi sebagian temboknya masih agak utuh, terutama yang terletak disisi utara. Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda, diatas reruntuhan sisi utara tembok keliling kota Banten. Dibagian luar benteng terdapat parit buatan yang mengelilinginya.


9.  Watu Gilang
Watu gilang terletak disebelah Utara di depan Keraton Surosowan, bentuknya segi empat dan permukaannya datar, terbuat dari batu andesit. Dahulu Batu Gilang ini dipergunakan sebagai tempat melakukan pentasbihan Sultan-sultan Banten.

10.  Masjid Agung Kasunyatan
Masjid ini terletak di kampung Kasunyatan, kurang lebih 2 kilometer sebelah selatan dari Masjid Agung Banten ke arah barat +/- 400 meter dari Makam Maulana Yusuf dan sampai sekarang Masjid ini masih terawat dengan baik. Masjid ini dibangun lebih dahulu dari Masjid Agung Banten, didirikan semasa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin bersama Syekh Fakih Nazmuddin, Syekh Abdussalam dan Syekh Anjani. Disebelah barat Masjid berdiri menara serta kolam pemandian yang diberi nama kolam pekulahan yang dalamnya kurang lebih 10 meter, kolam ini masih terawat dengan baik.


11.  Masjid Agung Kenari
Masjid ini terletak di Kampung Kenari kurang lebih 3 kilometer kerah selatan dari Masjid Agung Banten, atau 1 kilometer dari Masjid Agung Kassunyatan. Masjid ini merupakan Masjid tua peninggalan Sultan Abul Mufachir Abdul Kadir Kenari 1596-1651). Beliau adalah putra Sultan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten. Selain itu terdapat pula putranya Sultan Ma’ali Ahmad.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar