Kamis, 22 Februari 2018

Naskah Akademik RUU Tentang Perubahan Ketiga UU No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,DPRD

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARTAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH



PENYUSUN: ..........................................




SERANG 2018




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia dan rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan pembenaran secara akademis dan sebagai landasan pemikiran atas materi pokok Rancangan Undang-Undang dimaksud, didasarkan pada hasil kajian dan diskusi terhadap substansi materi muatan yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, serta tuntutan atas perbaikan sistem kepemimpinan MPR dan DPR yang menghendaki disusun dalam suatu kepemimpinan yang lebih berkeadilan, proporsional dan memiliki kepastian hukum. Begitu juga dengan kepemimpinan MKD dan tugas Badan Legislasi DPR. Adapun penyusunannya dilakukan berdasarkan pengolahan dari hasil eksplorasi studi kepustakaan, pendalaman berupa tanya jawab atas materi secara komprehensif dengan para praktisi dan pakar di bidangnya serta diskusi internal yang dilakukan secara intensif. Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini tentunya tidak terlepas dari keterlibatan dan peran seluruh Tim Penyusun, yang telah dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Untuk itu, terima kasih atas ketekunan dan kerjasamanya. Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi pembacanya.


Serang, 20 Mei 2018





DAFTAR ISI

Halaman Judul ...............................................................................................................
Halaman Kata Pengantar ..............................................................................................
Halaman Daftar Isi .........................................................................................................
BAB I PENDALIULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan ..................................................................................................
D. Metode Penelitian .......................................................................................................
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS
A. Kajian Teoritis .............................................................................................................
1. Lembaga Negara Sebagai organisasi ............................................................................
2. Sistem Pemerintahan ....................................................................................................
3. Kepemimpinan Kolektif dan Kolegial .........................................................................
B. Kajian Empiris .............................................................................................................
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSIFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A Landasan Filosifis ........................................................................................................
B. Landasan Sosiologis ....................................................................................................
C, Landasan Yuridis ........................................................................................................
BAB V JANGKAUAN, ARAH DAN RUANG LINGKUP
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan .................................................................................
B. Ruang Lingkup Pengaturan .........................................................................................
1. Pimpinan MPR .............................................................................................................
2. Pimpinan DPR ..............................................................................................................
3. Tugas Badan Legislasi ..................................................................................................
4. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ...................................................................
5. Ketentuan Penutup .......................................................................................................
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................................
B. Rekomendasi ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjadi variabel bebas, yang menggerakkan konstruksi politik sangat kondusif bagi bangkitnya demokratisasi politik tidak saja menyangkut relasi antara badan legislatif terhadap kelembagaan suprastruktur politik lainnya terutama antara pihak DPR terhadap eksekutif, tetapi juga hingga di tingkat internal kelembagaan perwakilan itu sendiri, yaitu baik pada masing-masing alat kelengkapan dan fraksi, serta masing- masing supporting system nya.
Perjalanan lahirnya perangkat pengaturan kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, diarahkan dalam rangka usaha menciptakan check and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya untuk aspek legislasi check and balances mempunyai lima fungsi. Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, di mana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggungjawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun di sinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara lebih dominan tanpa control dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti halnya sistem presidensial di Indonesia, diharapkan terjadi mekanisme control secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabilitas perwakilan dengan pemilihannya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya.
Tetapi pada kenyataannya dengan ketidakmampuan kelompok reformasi total jamak, seperti halnya mahasiswa dan masyarakat sipil dalam berhadapan dengan kelompok regim maka proses politik mengalami kompromi berhadapan dengan dominasi kalangan pro status quo dan pihak pendukung perubahan gradual. Pada gilirannya kondisi ini, memunculkan tuduhan tentang perlindungan kepentingan status quo dan bahkan anggapan rekayasa demokrasi prosedural perwakilan. Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang memuaskan bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi berupa undang-undang (UU) terkesan tidak serius dirancang dan dibahas sebaliknya lebih didasarkan pada kepentingan kelompok dan kompromi politik. Bahkan, secara vulgar ada pihak yang menilai dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi transaksi dan jual beli pasal. Tentu yang melakukannya adalah mereka yang berkepentingan dengan pasal-pasal krusial dalam RUU yang dibahas. Kesan atau penilaian lainnya, DPR periode 2009-2014 dianggap kurang menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2012 sebanyak 70 RUU.
Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan substansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik menyangkut MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari politik kompromi antar kepentingan dan tuntutan antar kalangan tersebut.
Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan perwakilan politik, ditengah kuatnya desakan tuntutan politik demokrasi, juga cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR yang terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala politik demikian, membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokkan keanggotannya, agar dapat secara maksimal mendorong peran kelembagaannya yang kondusif bagi produktivitas perannya dalam agenda nasional. Transformasi posisional alat kelengkapan dan reposisi fraksi sebagai kepanjangan tangan kekuatan politik partai tidak lain merupakan terjemahan dari proses konsolidasi demokrasi yang tidak sekedar peningkatan kapasitas artikulasi aspirasi dalam produk-produk yang dihasilkan, tetapi juga tetap mempunyai kreatifitas untuk bergerak secara sangat dinamis sesuai aturan main dalam koridor konstitusi yang digariskan.
Berbagai persoalan yang dihadapi tersebut kemudian dilakukan upaya perbaikan dengan ditetapkannya UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam kepemimpinan MPR dan DPR dinilai kurang mencerminkan proporsionalitas yang didasarkan pada mayoritas kursi di parlemen. Beberapa partai politik yang memiliki kursi terbanyak justru tidak terwakili di dalam kepemimpinan MPR dan DPR. Sehingga hal ini dinilai akan menghambat kinerja MPR dan DPR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam mewujudkan sistem pemerintahan presidensial yang lebih efektif.
Di samping itu perubahan konfigurasi politik di DPR pada permulaan periode Tahun 2014 yang turut mengubah susunan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, masih menyisakan persoalan jumlah Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan yang belum sama dengan jumlah Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan lainnya sehingga berjumlah ganjil yang memudahkan dalam pengambilan keputusan.
Hal lain menyangkut substansi penting perubahan UUD NRI 1945 adalah tentang penegasan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang ini menjadi dasar dari fungsi legislasi DPR RI. Dalam rangka mengotpimalkan fungsi legislasi ini, Badan Legislasi sebagai salah satu Alat Kelengkapan Dewan DPR RI berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 justru dikurangi tugasnya dalam menyusun rancangan undang-undang dan naskah akademik. Pengurangan tugas ini menyebabkan menurunnya kuantitas pencapaian target Prolegnas DPR RI secara keseluruhan, oleh karena itu dipandang perlu untuk memberikan kembali tugas Badan Legislasi untuk menyusun rancangan undang-undang berikut naskah akademiknya.

B.  Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat diketahui hal yang hendak dikaji dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah:
1)  Perlunya mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2)   Perlunya mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Perlunya mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan alat kelengkapan dewan Mahkamah Kehormatan Dewan.
4)   Perlunya mengkaji urgensi penambahan tugas Badan Legislasi.

C.  Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 adalah sebagai landasan ilmilah bagi penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 yang akan memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik selain untuk bahan masukan bagi pembuat RUU tentang perubahan ketiga UU MD3, juga dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Naskah Akademik ini juga nantinya akan berguna sebagai dokumen resmi penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 yang akan dibahas oleh Pemerintah dan DPR berdasarkan Prolegnas Prioritas.
D.  Metode Penelitian
Penelitian dalam penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 adalah penelitian hukum normatif atau yuridis-normatif, yakni peneitian yang secara doktrinal meneliti dasar aturan dan perundang-undangan mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan UU MD3. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui berbagai permasalah yang berkembang selama pelaksanaan UU MD3 berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, melalui penelitian ini diharapkan akan dapat dirumuskan hal-hal yang perlu untuk diubah dalam UU MD3 nantinya.
Dari perspektif penelitian diatas, penelitian ini akan menstudi beberapa aspek biasa menjadi bagian dalam studi yuridis-normatif, yakni inventarisasi hukum positif, studi asas-asas hukum, studi untuk menemukan hukum in concreto, studi atas sistematika hukum, studi hubungan antara peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horisontal.
Jenis penelitian ini dapat juga disebut penelitian deskriptif analistis dalam arti bahwa hasil penelitian ini disajikan secara deskriptif analistis. Jadi jenis penelitian ini dipilih sebagai cara penyajian dan bukan pokok penelitian itu sendiri.
Dalam penggunaan data, terdapat 2 (dua) jenis data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan responden atau berdasarkan observasi atas masalah yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan lain-lain. 
Sebagaimana penelitian hukum pada umumnya, penelitian ini lebih bertumpu pada data sekunder yakni bahan-bahan tertulis tentang hukum, namun untuk memperkuat disertaikan juga data primer untuk melakukan analisis secara lebih komprehensif. Berdasarkan hal tersebut maka jenis data di dalam penelitian ini terdiri dari :
a.    Data sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang tersebar dalam berbagai tulisan yang dibedakan atas :
1) Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya terkait parlemen dan pemerintahan.
2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hukum berupa tulisan-tulisan hukum yang berbentuk buku, makalah, artikel.
3)   Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan hukum yang berisi penjelasan arti tentang berbagai istilah yang terkait dengan obyek penelitian seperti kamus bahasa, kamus hukum, kamus politik, dan ensiklopedia.
b.    Data primer, yakni data yang diperoleh langsung dilapangan melalui wawancara dan observasi.
Jenis data-data yang disebutkan diatas dikumpulkan melalui cara :
a.   Studi pustaka, yakni studi atas berbagai data sekunder atau dokumen, baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier dan dikasifikasikan berdasarkan materinya masing-masing.
b.   Studi lapangan, yakni wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan berbagai subyek hukum sebagai pelaku dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pimpinan fraksi dan anggota DPR dan anggota MPR, observasi dilakukan dengan melihat langsung masalah-masalah yang dihadapi ditubuh MPR dan DPR.





BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
PENGATURAN

A.  Jangkauan dan Arah Pengaturan
Secara garis besar, jangkauan dan pengaturan mengenai Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga MD3, diarahkan untuk mewujudkan kepemimpinan MPR dan DPR yang lebih proporsional dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan presidensiial yang lebih efektif.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, diperlukan penataan/pengaturan kembali mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.    Berkaitan dengan kepemimpinan MPR, diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan MPR;
2.    Berkaitan dengan kepemimpinan DPR, diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan DPR.
3.    Berkaitan dengan kepemimpinan MKD, diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan MKD.
4. Berkaitan dengan tugas Badan Legislasi, diperlukan penambahan tugas, yakni menyusun rancangan undangundang dan naskah akademik.

B.  RUANG LINGKUP PENGATURAN
1. Pimpinan MPR Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1)  Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
(2)  Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3)  Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.
(4)   Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR.
(5)  Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR.
(6)  Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
(7)  Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
(8)  Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
(9)    Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
2.    Pimpinan DPR
Ketentuan pasal 84 ayat (1) diubah sehingga Pasal 84 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84
(1)  Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(4)    Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
(5)  Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6)  Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7)     Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8)   Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9)     Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
3.    Tugas Badan Legislasi
a.    Ketentuan Pasal 105 ayat (1) diubah sehingga Pasal 105 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105
(1)     Badan Legislasi bertugas:
a. Menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undangundang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;
b. Mengoordinasikan penyusunan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
c.   Menyiapkan dan menyusun rancangan undangundang usul Badan Legislasi dan/atau Anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d. Melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;
e.    Memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional perubahan;
f.     Melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah;
g.    Melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang;
h.    Menyusun, melakukan evaluasi, dan penyempurnaan peraturan DPR;
i.  Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
j.      Melakukan sosialisasi program legislasi nasional dan/atau prolegnas perubahan;
k.    Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan setiap akhir tahun sidang untuk disampaikan kepada pimpinan dpr; dan
l.      Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan dpr untuk dapat digunakan oleh badan legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2)     Badan Legislasi menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
b.   Ketentuan Pasal 164 ayat (1) diubah sehingga Pasal 164 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 164
(1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, dan Badan Legislasi.
(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.
(3)  DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
a.   persetujuan;
b.   persetujuan dengan pengubahan; atau
c.    penolakan.
(4)  Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.
(5)  Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DP kepada Presiden.



4.    Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan
Ketentuan Pasal 121 ayat (2) diubah sehingga Pasal 121 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 121
(1)  Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2)  Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3)     Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(4)     Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5)     Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6)     Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

5.    Ketentuan Penutup
Di antara Pasal 427 dan Pasal 428 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 427A yang berbunyi:
Pasal 427A
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014; dan
b.  Penambahan pimpinan MPR dan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 84 berasal dari fraksi partai pemenang pemilihan umum Tahun 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar