NASKAH
AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG NOMOR 17
TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARTAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PENYUSUN: ..........................................
SERANG 2018
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya atas karunia dan rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusunan
Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan pembenaran secara akademis dan
sebagai landasan pemikiran atas materi pokok Rancangan Undang-Undang dimaksud,
didasarkan pada hasil kajian dan diskusi terhadap substansi materi muatan yang
terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, serta tuntutan atas
perbaikan sistem kepemimpinan MPR dan DPR yang menghendaki disusun dalam suatu
kepemimpinan yang lebih berkeadilan, proporsional dan memiliki kepastian hukum.
Begitu juga dengan kepemimpinan MKD dan tugas Badan Legislasi DPR. Adapun
penyusunannya dilakukan berdasarkan pengolahan dari hasil eksplorasi studi
kepustakaan, pendalaman berupa tanya jawab atas materi secara komprehensif
dengan para praktisi dan pakar di bidangnya serta diskusi internal yang
dilakukan secara intensif. Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini
tentunya tidak terlepas dari keterlibatan dan peran seluruh Tim Penyusun, yang
telah dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab menyelesaikan apa
yang menjadi tugasnya. Untuk itu, terima kasih atas ketekunan dan kerjasamanya.
Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi pembacanya.
Serang, 20
Mei 2018
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...............................................................................................................
Halaman Kata Pengantar ..............................................................................................
Halaman Daftar Isi .........................................................................................................
BAB I PENDALIULUAN
A.
Latar Belakang ............................................................................................................
B.
Identifikasi Masalah ....................................................................................................
C.
Tujuan dan Kegunaan ..................................................................................................
D.
Metode Penelitian .......................................................................................................
BAB II KAJIAN TEORITIS
DAN EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis .............................................................................................................
1.
Lembaga Negara Sebagai organisasi ............................................................................
2.
Sistem Pemerintahan ....................................................................................................
3.
Kepemimpinan Kolektif dan Kolegial .........................................................................
B.
Kajian Empiris .............................................................................................................
BAB III EVALUASI DAN
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSIFIS,
SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A
Landasan Filosifis ........................................................................................................
B.
Landasan Sosiologis ....................................................................................................
C,
Landasan Yuridis ........................................................................................................
BAB V JANGKAUAN, ARAH
DAN RUANG LINGKUP
A.
Jangkauan dan Arah Pengaturan .................................................................................
B.
Ruang Lingkup Pengaturan .........................................................................................
1.
Pimpinan MPR .............................................................................................................
2.
Pimpinan DPR ..............................................................................................................
3.
Tugas Badan Legislasi ..................................................................................................
4.
Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ...................................................................
5.
Ketentuan Penutup .......................................................................................................
BAB VI PENUTUP
A.
Kesimpulan ..................................................................................................................
B.
Rekomendasi ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjadi variabel bebas,
yang menggerakkan konstruksi politik sangat kondusif bagi bangkitnya
demokratisasi politik tidak saja menyangkut relasi antara badan legislatif
terhadap kelembagaan suprastruktur politik lainnya terutama antara pihak DPR
terhadap eksekutif, tetapi juga hingga di tingkat internal kelembagaan
perwakilan itu sendiri, yaitu baik pada masing-masing alat kelengkapan dan
fraksi, serta masing- masing supporting
system nya.
Perjalanan lahirnya
perangkat pengaturan kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, diarahkan
dalam rangka usaha menciptakan check and
balances. Check and balances
mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya untuk
aspek legislasi check and balances
mempunyai lima fungsi. Pertama,
sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, di mana eksekutif dan legislatif
mempunyai tugas dan tanggungjawab yang saling terkait dan saling memerlukan
konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun di sinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu
lembaga negara lebih dominan tanpa
control dari lembaga lain. Kedua,
sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana
melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti halnya sistem presidensial di
Indonesia, diharapkan terjadi mekanisme control secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara
pemerintah pusat dan daerah. Keempat,
sebagai fungsi akuntabilitas
perwakilan dengan pemilihannya. Kelima,
sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya.
Tetapi pada
kenyataannya dengan ketidakmampuan kelompok reformasi total jamak, seperti
halnya mahasiswa dan masyarakat sipil dalam berhadapan dengan kelompok regim
maka proses politik mengalami kompromi berhadapan dengan dominasi kalangan pro status quo dan pihak pendukung perubahan
gradual. Pada gilirannya kondisi ini, memunculkan tuduhan tentang perlindungan
kepentingan status quo dan bahkan
anggapan rekayasa demokrasi prosedural perwakilan. Meskipun telah menjalankan fungsi
legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak sepi dari kesan atau penilaian
yang kurang memuaskan bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR
dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk
legislasi berupa undang-undang (UU) terkesan tidak serius dirancang dan dibahas
sebaliknya lebih didasarkan pada kepentingan kelompok dan kompromi politik.
Bahkan, secara vulgar ada pihak yang menilai dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi transaksi dan jual
beli pasal. Tentu yang melakukannya adalah mereka yang berkepentingan dengan
pasal-pasal krusial dalam RUU yang dibahas. Kesan atau penilaian lainnya, DPR
periode 2009-2014 dianggap kurang menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak
tercapainya target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2012
sebanyak 70 RUU.
Ruang lingkup pembaruan
politik yang sangat terbatas bagi dukungan substansial pelaksanaan
fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik menyangkut MPR, DPR, DPD,
dan DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari politik kompromi antar kepentingan dan
tuntutan antar kalangan
tersebut.
Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan
perwakilan politik, ditengah kuatnya desakan tuntutan politik demokrasi, juga
cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR yang terjebak pada seremoni
prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala politik demikian, membutuhkan
transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokkan
keanggotannya, agar dapat secara maksimal mendorong peran kelembagaannya yang
kondusif bagi produktivitas perannya dalam agenda nasional. Transformasi
posisional alat kelengkapan dan reposisi fraksi sebagai kepanjangan tangan
kekuatan politik partai tidak lain merupakan terjemahan dari proses konsolidasi
demokrasi yang tidak sekedar peningkatan kapasitas artikulasi aspirasi dalam
produk-produk yang dihasilkan, tetapi juga tetap mempunyai kreatifitas untuk
bergerak secara sangat dinamis sesuai aturan main dalam koridor konstitusi yang
digariskan.
Berbagai persoalan yang
dihadapi tersebut kemudian dilakukan upaya perbaikan dengan ditetapkannya UU
No.17 Tahun 2014 tentang MD3. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam
kepemimpinan MPR dan DPR dinilai kurang mencerminkan proporsionalitas yang
didasarkan pada mayoritas kursi di parlemen. Beberapa partai politik yang
memiliki kursi terbanyak justru tidak terwakili di dalam kepemimpinan MPR dan
DPR. Sehingga hal ini dinilai akan menghambat kinerja MPR dan DPR dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam mewujudkan sistem pemerintahan
presidensial yang lebih efektif.
Di samping itu
perubahan konfigurasi politik di DPR pada permulaan periode Tahun 2014 yang
turut mengubah susunan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, masih menyisakan
persoalan jumlah Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan yang belum sama dengan
jumlah Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan lainnya sehingga berjumlah ganjil yang
memudahkan dalam pengambilan keputusan.
Hal lain menyangkut
substansi penting perubahan UUD NRI 1945 adalah tentang penegasan DPR sebagai
pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang ini menjadi dasar dari fungsi
legislasi DPR RI. Dalam rangka mengotpimalkan fungsi legislasi ini, Badan
Legislasi sebagai salah satu Alat Kelengkapan Dewan DPR RI berdasarkan Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014 justru dikurangi tugasnya dalam menyusun rancangan undang-undang
dan naskah akademik. Pengurangan tugas ini menyebabkan menurunnya kuantitas
pencapaian target Prolegnas DPR RI secara keseluruhan, oleh karena itu
dipandang perlu untuk memberikan kembali tugas Badan Legislasi untuk menyusun
rancangan undang-undang berikut naskah akademiknya.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian
dalam latar belakang, dapat diketahui hal yang hendak dikaji dalam Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah:
1) Perlunya
mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2)
Perlunya
mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Perlunya
mengkaji urgensi penambahan kursi kepemimpinan alat kelengkapan dewan Mahkamah
Kehormatan Dewan.
4)
Perlunya
mengkaji urgensi penambahan tugas Badan Legislasi.
C.
Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan ruang
lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
tujuan penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 adalah sebagai
landasan ilmilah bagi penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 yang akan
memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU tentang
Perubahan Ketiga
UU MD3.
Adapun
kegunaan penyusunan Naskah Akademik selain untuk bahan masukan bagi pembuat RUU
tentang perubahan ketiga UU MD3, juga dapat berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Naskah Akademik ini juga nantinya akan berguna sebagai dokumen
resmi penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 yang akan dibahas oleh
Pemerintah dan DPR berdasarkan Prolegnas Prioritas.
D.
Metode Penelitian
Penelitian dalam
penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Ketiga UU MD3 adalah penelitian hukum normatif
atau yuridis-normatif, yakni peneitian yang secara doktrinal meneliti dasar
aturan dan perundang-undangan mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam
penerapan UU MD3. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui berbagai
permasalah yang berkembang selama pelaksanaan UU MD3 berikut faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, melalui penelitian
ini diharapkan akan dapat dirumuskan hal-hal yang perlu untuk diubah dalam UU
MD3 nantinya.
Dari
perspektif penelitian diatas, penelitian ini akan menstudi beberapa aspek biasa
menjadi bagian dalam studi yuridis-normatif, yakni inventarisasi hukum positif,
studi asas-asas hukum, studi untuk menemukan hukum in concreto, studi atas sistematika hukum, studi hubungan antara
peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horisontal.
Jenis
penelitian ini dapat juga disebut penelitian deskriptif analistis dalam arti
bahwa hasil penelitian ini disajikan secara deskriptif analistis. Jadi jenis
penelitian ini dipilih sebagai cara penyajian dan bukan pokok penelitian itu
sendiri.
Dalam
penggunaan data, terdapat 2 (dua) jenis data yang dipakai dalam penelitian ini
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan responden atau
berdasarkan observasi atas masalah yang diteliti. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis antara lain mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,
buku harian dan lain-lain.
Sebagaimana
penelitian hukum pada umumnya, penelitian ini lebih bertumpu pada data sekunder
yakni bahan-bahan tertulis tentang hukum, namun untuk memperkuat disertaikan
juga data primer untuk melakukan analisis secara lebih komprehensif. Berdasarkan
hal tersebut maka jenis data di dalam penelitian ini terdiri dari :
a.
Data
sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang tersebar dalam berbagai tulisan yang
dibedakan atas :
1) Bahan
hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan lainnya terkait parlemen dan pemerintahan.
2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hukum berupa
tulisan-tulisan hukum yang berbentuk buku, makalah, artikel.
3)
Bahan
hukum tersier, yakni bahan-bahan hukum yang berisi penjelasan arti tentang
berbagai istilah yang terkait dengan obyek penelitian seperti kamus bahasa,
kamus hukum, kamus politik, dan ensiklopedia.
b.
Data primer, yakni data yang diperoleh langsung dilapangan melalui
wawancara dan observasi.
Jenis
data-data yang disebutkan diatas dikumpulkan melalui cara :
a. Studi
pustaka, yakni studi atas berbagai data sekunder atau dokumen,
baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier dan dikasifikasikan
berdasarkan materinya masing-masing.
b. Studi lapangan, yakni wawancara dan
observasi. Wawancara dilakukan dengan berbagai subyek hukum sebagai pelaku
dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pimpinan fraksi dan anggota DPR
dan anggota MPR, observasi dilakukan dengan melihat langsung masalah-masalah
yang dihadapi ditubuh MPR dan DPR.
BAB V
JANGKAUAN,
ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
PENGATURAN
A.
Jangkauan dan Arah Pengaturan
Secara garis besar,
jangkauan dan pengaturan mengenai Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga MD3, diarahkan untuk
mewujudkan kepemimpinan MPR dan DPR yang lebih proporsional dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan presidensiial yang lebih efektif.
Dalam rangka mewujudkan
hal tersebut, diperlukan penataan/pengaturan kembali mengenai hal-hal sebagai
berikut:
1. Berkaitan dengan kepemimpinan MPR,
diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan MPR;
2. Berkaitan dengan kepemimpinan DPR,
diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan DPR.
3. Berkaitan dengan kepemimpinan MKD,
diperlukan penambahan 1 (satu) kursi pimpinan MKD.
4. Berkaitan dengan tugas Badan Legislasi,
diperlukan penambahan tugas, yakni menyusun rancangan undangundang dan naskah
akademik.
B.
RUANG LINGKUP PENGATURAN
1. Pimpinan MPR Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah
sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5
(lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
(2) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi
dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.
(4) Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan
MPR.
(5) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna
MPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan
suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam
rapat paripurna MPR.
(7) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR
dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
(8) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau
kelompok anggota yang berbeda.
(9) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
2. Pimpinan DPR
Ketentuan pasal 84 ayat
(1) diubah sehingga Pasal 84 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5
(lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan
disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
(5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna
DPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan
suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam
rapat paripurna DPR.
(7)
Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR
dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang
berbeda.
(9)
Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
3.
Tugas
Badan Legislasi
a.
Ketentuan Pasal 105 ayat (1) diubah sehingga Pasal
105 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
105
(1) Badan
Legislasi bertugas:
a. Menyusun rancangan program legislasi nasional yang
memuat daftar urutan rancangan undangundang beserta alasannya untuk 5 (lima)
tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;
b. Mengoordinasikan penyusunan program legislasi
nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya
untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
c. Menyiapkan dan menyusun rancangan undangundang usul
Badan Legislasi dan/atau Anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas
yang telah ditetapkan;
d. Melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, atau
gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada
Pimpinan DPR;
e.
Memberikan pertimbangan terhadap rancangan
undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di
luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang
yang terdaftar dalam program legislasi nasional untuk dimasukkan ke dalam
program legislasi nasional perubahan;
f. Melakukan
pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang
secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah;
g.
Melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap
undang-undang;
h.
Menyusun, melakukan evaluasi, dan penyempurnaan
peraturan DPR;
i. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi
terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi
dengan komisi dan/atau panitia khusus;
j.
Melakukan sosialisasi program legislasi nasional
dan/atau prolegnas perubahan;
k.
Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di
bidang perundang-undangan setiap akhir tahun sidang untuk disampaikan kepada
pimpinan dpr; dan
l.
Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di
bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan dpr untuk dapat digunakan
oleh badan legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2)
Badan Legislasi menyusun rencana kerja dan anggaran
untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan
kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
b.
Ketentuan Pasal 164 ayat (1) diubah sehingga Pasal
164 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
164
(1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh
anggota DPR, komisi, gabungan komisi, dan Badan Legislasi.
(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara
tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi
kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.
(3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
a.
persetujuan;
b.
persetujuan dengan pengubahan; atau
c.
penolakan.
(4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR
menugasi komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan
rancangan undang-undang tersebut.
(5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh
DPR disampaikan dengan surat pimpinan DP kepada Presiden.
4. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan
Ketentuan Pasal 121
ayat (2) diubah sehingga Pasal 121 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
121
(1) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu
kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan paling banyak 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih
dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat
tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3)
Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(4)
Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan
Dewan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5)
Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan
Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan
Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6)
Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan
keputusan pimpinan DPR.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang tata
tertib.
5.
Ketentuan
Penutup
Di antara Pasal 427 dan
Pasal 428 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 427A yang berbunyi:
Pasal
427A
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang
sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode
keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014; dan
b. Penambahan pimpinan MPR
dan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 84 berasal dari fraksi
partai pemenang pemilihan umum Tahun 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar