Kamis, 18 Januari 2018

Makalah Perilaku Birokrasi / Etika Administrasi Publik

PERILAKU BIROKRASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah  Etika Administrasi Publik
Dosen Pengampu : Titi Stiawati




KELOMPOK : 3

DISUSUN OLEH :
1.    LEO MUHAMMAD
2.    RISKY
3.    ALDY
4.    INTEN
5.    SITI SAHATI


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi. Dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas hubungan, pengaturan perilaku, dan kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan.  Sebagai suatu organisasi modern, birokrasi pada dasarnya memiliki lima elemen dasar sebagai berikut : satu, the strategic-apex, atau pimpinan puncak yang bertanggung jawab penuh atas berjalannya roda organisasi; dua, the middle-line, pimpinan pelaksana yang bertugas menjembatani pimpinan puncak dengan bawahan; tiga, the operating-core, bawahan yang bertugas melaksanakan pekerjaan pokok yang berkaitan dengan pelayanan dan produk organisasi; empat, the tecgnostructure, atau kelompok ahli seperti analis, yang bertanggung jawab bagi efektifnya bentuk-bentuk tertentu standardisasi dalam organisasi; lima, the support-staff, atau staf pendukung yang ada pada unit, membantu menyediakan layanan tidak langsung bagi organisasi, (Mintzberg,1983;11).
Bekerjanya birokrasi berdasarkan hirarki kewenangan memungkinkan terjadinya kontrol yang efektif dan kinerja yang positif. Apalagi jika kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan puncak (the strategic-apex) didesentralisasikan kepada pimpinan pelaksana (the middle-line). Struktur yang telah didesentralisasikan tersebut memungkinkan terciptanya birokrasi profesional yang berdampak kepada peningkatakan kinerja organisasi dimana birokrasi dapat menjadi bertanggung-gugat dengan adanya kewenangan yang didelegasikan tersebut. Adanya keteraturan cara kerja yang terikat kepada peraturan yang ada dalam pandangan Weber bertujuan untuk menjamin tercapainya kesinambungan tugas dan peran pemerintahan. Namun jika aturan main tersebut diterapkan secara kaku (rigid) maka akan melahirkan birokrasi tidak profesional yang terefleksikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya terikat kepada aturan yang berlaku (rule-driven professionalism) dan menjadikan birokrasi tidak responsif dan inovatif. Apabila birokrasi tidak terlalu terikat kepada petunjuk pelaksana dan aturan baku pelaksanan tugas tapi lebih digerakkan oleh misi yang ingin dicapai oleh organisasi (mission-driven professionalism) maka akan terwujud birokrasi profesional yang menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, inovatif, dan mempunyai etos kerja tinggi (Tjokrowinoto,1996;191).
Bangsa Indonesia selalu dihadapkan kepada masalah bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan baik (good governance and clean government). Birokrasi yang diharapkan mampu menjadi motivator dan sekaligus menjadi katalisator dari bergulirnya pembangunan, tidak mampu menjalankan perannya sebagai birokrasi modern tidak hanya mengedepankan kemampuan menyelenggarakan tugas dan fungsi organisasi saja tetapi juga mampu merespons aspirasi publik kedalam kegiatan dan program organisasi dan mampu melahirkan inovasi baru yang bertujuan untuk mempermudah kinerja organisasi dan sebagai bagian dari wujud aparat yang profesional.  Dalam perspektif administrasi publik Indonesia dikenal berbagai macam patologi yang membuat birokrat atau aparat tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara lain adalah rendahnya motivasi untuk melakukan perubahan dan inovasi. Patologi ini terjadi sebagai konsekuensi dari keseluruhan perilaku dan gaya manajerial yang sering digunakan oleh manajemen puncak (the strategic-apex) pada hirarki organisasi publik. Gaya manajerial dan leadership yang bersifat feodalistik dan paternalistik berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi (Siagian,1994;44) sehingga jajaran birokrasi tingkat menengah dan bawah takut untuk melakukan dan mengambil langkah langkah baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik. Rendahnya keinginan melakukan perubahan dan inovasi dalam hal ini juga disebabkan oleh gaya manajerial yang tidak kondusif bagi terciptanya birokrasi yang responsif dan inovatif. Tidak mengherankan jika kemampuan kerja organisasi dan jajarannya menjadi rendah.
Dalam pandangan manajemen puncak “pro status-quo” seperti itu, segala perubahan yang terjadi dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi komputer, teknologi informasi, dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan karier dan jabatannya. Baik-buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi sangat terkait dengan kemampuan dan kualitas dari birokrasi itu sendiri. Kemampuan birokrat pemerintahan selain dibentuk melalui pengembangan dan peningkatan pengetahuan dan keahlian individu juga sangat dipengaruhi oleh sistem organisasi tersebut seperti orientasi kerja, struktur organisasi, model kepemimpinan serta renumerasi yang diterima oleh aparatur. Hal lain yang menjadi penyebab mendasar adalah dimana proses rekruitmen pegawai baru seringkali mengabaikan aspek meritokrasi dan kebutuhan organisasi.Tidaklah mengherankan jika dalam praktek, birokrasi Indonesia sering kewalahan dalam mengantisipasi setiap perubahan dan aspirasi baru. Dampak dari itu adalah terjadinya penurunan mutu kerja organisasi dan mutu pelayanan publik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa aparat cenderung enggan melakukan perubahan dan inovasi, selain disebabkan oleh gaya manajerial dalam organisasi publik, patologi tersebut juga disebabkan karena iklim dan kondisi dalam organisasi birokrasi yang cederung memberikan insentif kepada pegawai yang loyal dari pada pegawai yang kreatif dan inovatif. Birokrasi dituntut lebih peka terhadap berbagai perubahan dan mencari pendekatan baru bagi pengembangan pelayanan kepada publik. Serta meninggalkan proses pelayanan yang sangat prosedural dan birokratis.
Keberadaan aturan formal bukan dijadikan alasan untuk tidak memperbaikan cara kerja yang responsif serta bermain diatas aturan guna mensahkan setiap tindakan. Pekerjaan yang sebetulnya dapat dikerjakan secara cepat dan singkat dibuat menjadi lama dan memerlukan biaya besar. Pembuatan KTP bisa menjadi contoh bagaimana birokrat tingkat bawah telah terkontaminasi oleh perilaku perilaku negatif yang selama ini lebih didominasi manajemen atas.  Berkaitan dengan teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi birokrasi Indonesia yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak responsif dan inovatif. Maka topik pembicaraan mengenai penyelenggaraan pemerintahan kembali mendapat tempatnya. Bergulirnya angin perubahan (wind of change) pada pertengahan tahun 1998 lalu sebagai awal baru bagi bangsa Indonesia untuk lebih serius membenahi kinerja organisasi pemerintah dan meraih kembali kepercayaan masyarakat yang sempat mengalami krisis. Dengan melandaskan pemikiran terhadap permasalahan yang dihadapi oleh aparatur birokrasi Indonesia maka sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan mengantisipasi perubahan lingkungan maka diperlukan sebuah pemikiran untuk membangun aparatur birokrasi Indonesia yang handal, profesional dan menjunjung tinggi nilai kejujuran serta etika profesi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara kegiatan pembangunan dan penyelenggara pelayanan publik.
Mengingat urgensitas peran aparatur dalam menyelenggarakan peran dan fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan suatu pendekatan strategis untuk membangun wajah baru aparatur profesional yang handal, tanggap, inovatif fleksibel dan tidak prosedural dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan. Peran pemerintah yang selama ini sebagai ruler seharusnya diganti dengan sebagai fasilitator seperti yang dikatakan oleh (Osborne & Gaebler,1992;29), dengan sepuluh prinsip Mewirausahakan Birokrasi, yang memperkenalkan paradigma baru dengan menempatkan birokrasi sebagai fasilitator bukan sebagai ruler atau patron. Walaupun upaya untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang responsif dan inovatif dengan memposisikan diri sebagai fasilitator bukan pekerjaan yang mudah, namun upaya untuk mewujudkan cita cita tersebut tetap harus diupayakan demi memberikan pelayanan yang baik kepada publik dan mampu memperbaiki citra birokrasi Indonesia yang selama beberapa dasawarsa banyak menimbulkan citra negatif dan telah kehilangan legitimasi dimata masyarakat.


B.       Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua. Selain itu juga untuk mengkaji kembali bagaimana perilaku biokrasi. Khususnya perilaku birokrasi di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif.

C.      Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
     1.     Untuk memberikan kemudahan bagi mahasiswa maupun pakar sehingga dapat lebih memudahkan dalam mengetahui tentang perilaku birokrasi.
     2.     Bagi masyarakat umum yakni agar mengetahui tentang perilaku birokrasi yang selama ini ada di indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

1.       Pengertian Birokrasi
Pengertian birokrasi dikalangan masyarakat sering dihubungan dengan ketidakpuasan, rumit, bertele-tele dan banyak lagi perkataan-perkataan yang dilotarkan oleh sebagai masyarakat yang merasa kecewa atas pelayanan suatu  birokrasi yang mereka alami. Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Menurut Ferrel Heady ada 3 (tiga) pendekatan dalam merumuskan birokrasi yaitu :   
a.    Pendekatan struktural 
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai suatu susunan yang terdiri dari      hierarki otorita dan pembagian kerja yang amat terperinci (Victor Thonson);  
b.    Pendekatan Perilaku(Behavioral)
Menurut pendekatan ini menekankan arti pentingnya objektivitas, pemisahan, ketepatan dan konsistensi yang dikaitkan dengan ukuran fungsional dari pejabat administrasi. Dengan kata lain, perilaku positif lekat dengan  pencapaian tujuan organisasi birokratik;
c.    Pendekatan Pencapaian Tujuan
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi dalam administrasi atau satu metode pelembagaan perilaku sosial yang terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi.

2.       Pengertian Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya merupakan hasil interaksi birokrasi sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya (Thoha, 2005:138). Perilaku birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai patologi birokrasi atau gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Dalam kaitannya dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial.Perilaku manusia dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Thoha (2005:29) menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Perilaku seorang individu terbentuk melalui proses interaksi antara individu itu sendiri dengan lingkungannya.
Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik tersebut akan dibawanya ketika ia memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem imbalan dan sistem pengendalian. Jika karakteristik individu (aparat) dan karakteristik organisasi (birokrasi) berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu (aparat) dalam organisasi (birokrasi).

3.      Karakteristik Birokrasi
Dennis. H. Wrong mengungkapkan bahwa setiap organisasi birokrasi mempunyai ciri structural utama sebagai berikut ; 
             ·  Pembagian tugas;  
             ·  Hierarki otorita;
             ·  Peraturan dan ketentuan yang terperinci;
             ·  Hubungan interpersonal di antara anggota organisasi.

Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri dari organisasi birokrasi yaitu :
a.    Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah yurisdiksi yang resmi, yang  pada umumnya diatur dengan hukum atau peraturan-perataran administrasi;  
b.    Terdapat prinsip hierarki dan tingkat otorita yang mengatur system;
c.    Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen yang dipelihara dalam  bentuk aslinya;
d.   Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerja melalui latihan keahlian;
e.    Aktivitas organisasi menurut kapasitas anggota secara penuh;
f.     Berlakunya aturan-aturan main mengenai manajemen.

4.      Pentingnya Birokrasi
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri dari formulasi, implementasi, evaluasi dan terminasi, yang kesemuanya itu merupakan proses dari suatu birokrasi, sehingga birokrasi mempunyai andil dan keterlibatan yang besar dalam pembuatan keputusan. Robert Presthus memperlihatkan peranan birokrasi dalam pebuatan keputusan dalam hal-hal sebagai :
a.    Pembuatan peraturan dibawah peraturan perundang-undangan (delegated legislation);  
b.    Pemrakarsa kebijaksanaan (bureaucracy’s role in initiating policy);
c.    Hasrat Intenal birokrasi untuk memperoleh kekuasaan, keamanan dan kepatuhan..

5.      Fungsi Biokrasi
Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dealam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah ;
a)      Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
b)      Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public serviceini.
c)      Pengaturan(regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.
d)      Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli.

6.      Perilaku Birokrasi di Indonesia
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto, 2008:9). Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah. Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola perilaku.
Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya perilaku negatif seperti korupsi, dengan adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Secara struktural, perilaku negatif juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominanya posisi birokrasi pemerintah dalam penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan kegiatan ekonomi (Mas’oed, 2008:30).
Substansi dari persoalan perilaku birokrasi yang korup pada dasarnya merupakan bagian dari bentuk feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Hal ini menciptakan kehidupan birokrasi yang kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Apalagi dominasi negara mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat, yang kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik. Pendapat Mas’oed (2008:119-120) tersebut dalam teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity, yang ciri-cirinya sebagai berikut: Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga massa diluar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
Analisis ini menjelaskan, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Thoha (2002:184). Gibson (1997:6), perilaku dipandang sebagai sesuatu yang bekerja pada tingkat individu, kelompok dan organisasi. Ini formula psikologi, dan mempunyai kandungan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya sampai seberapa jauh interaksi antara dirinya dengan lingkungannya, sedangkan birokrasi dipergunakansebagai suatu sitem untuk merasionalkan organisasi (Thoha,2002:184).
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto, 2008:9).
Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah. Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola perilaku. Dari beberapa uraian diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan penting, yaitu:
(1)      Terdapat tiga tipe birokrat dalam birokrais publik, yaitu operator, manajer dan eksekutif yang mempunyai perilaku yang berbeda satu sama lain;
(2)      Perilaku ketiga tipe birokrat tersebtu pada dasarnya rasional dalam menentukan pilihan dan selalu menjaga kepentingannya;
(3)      Perilaku birokrasi sangat ditentukan oleh perilaku eksekutifnya terutama dalam memahami budaya organisasinya dan sekaligus juga kekuatan dan kelemahannya dan hubungan dengan pihak luar organisasi.






DAFTAR PUSTAKA

Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi pemerintah Indonesia di era reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Arifin, Indar. 2010. Birokrasi pemerintahan dan perubahan sosial politik. Makassar: Pustaka Refleksi.
Albrow, Matin. 2004. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Blau, Peter dkk. 1987. Birokrasi dalam masyarakat modern. Jakarta: Penerbit UI Press, Salemba Empat.
Thoha, Miftah. 2002. Perspektif perilaku birokrasi. Jakarta: PT Raja grafindo persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar