PERILAKU
BIROKRASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Etika Administrasi Publik
Dosen Pengampu : Titi Stiawati
KELOMPOK : 3
DISUSUN OLEH :
1.
LEO MUHAMMAD
2.
RISKY
3.
ALDY
4.
INTEN
5.
SITI SAHATI
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Birokrasi merupakan instrumen untuk
bekerjanya suatu administrasi. Dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian
kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas hubungan, pengaturan perilaku, dan
kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara
administrasi pemerintahan. Sebagai suatu organisasi modern, birokrasi
pada dasarnya memiliki lima elemen dasar sebagai berikut : satu, the
strategic-apex, atau pimpinan puncak yang bertanggung jawab penuh atas
berjalannya roda organisasi; dua, the middle-line, pimpinan pelaksana
yang bertugas menjembatani pimpinan puncak dengan bawahan; tiga, the
operating-core, bawahan yang bertugas melaksanakan pekerjaan pokok yang
berkaitan dengan pelayanan dan produk organisasi; empat, the
tecgnostructure, atau kelompok ahli seperti analis, yang bertanggung jawab
bagi efektifnya bentuk-bentuk tertentu standardisasi dalam organisasi; lima, the
support-staff, atau staf pendukung yang ada pada unit, membantu menyediakan
layanan tidak langsung bagi organisasi, (Mintzberg,1983;11).
Bekerjanya birokrasi berdasarkan
hirarki kewenangan memungkinkan terjadinya kontrol yang efektif dan kinerja
yang positif. Apalagi jika kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan puncak (the
strategic-apex) didesentralisasikan kepada pimpinan pelaksana (the
middle-line). Struktur yang telah didesentralisasikan tersebut memungkinkan
terciptanya birokrasi profesional yang berdampak kepada peningkatakan kinerja
organisasi dimana birokrasi dapat menjadi bertanggung-gugat dengan adanya
kewenangan yang didelegasikan tersebut. Adanya keteraturan cara
kerja yang terikat kepada peraturan yang ada dalam pandangan Weber bertujuan
untuk menjamin tercapainya kesinambungan tugas dan peran pemerintahan. Namun
jika aturan main tersebut diterapkan secara kaku (rigid) maka akan
melahirkan birokrasi tidak profesional yang terefleksikan dalam menjalankan
tugas dan fungsinya terikat kepada aturan yang berlaku (rule-driven
professionalism) dan menjadikan birokrasi tidak responsif dan inovatif.
Apabila birokrasi tidak terlalu terikat kepada petunjuk pelaksana dan aturan
baku pelaksanan tugas tapi lebih digerakkan oleh misi yang ingin dicapai oleh
organisasi (mission-driven professionalism) maka akan terwujud birokrasi
profesional yang menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, inovatif,
dan mempunyai etos kerja tinggi (Tjokrowinoto,1996;191).
Bangsa Indonesia selalu dihadapkan
kepada masalah bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance and clean government). Birokrasi yang diharapkan mampu menjadi motivator
dan sekaligus menjadi katalisator dari bergulirnya pembangunan, tidak
mampu menjalankan perannya sebagai birokrasi modern tidak hanya mengedepankan
kemampuan menyelenggarakan tugas dan fungsi organisasi saja tetapi juga mampu
merespons aspirasi publik kedalam kegiatan dan program organisasi dan mampu
melahirkan inovasi baru yang bertujuan untuk mempermudah kinerja organisasi dan
sebagai bagian dari wujud aparat yang profesional. Dalam perspektif administrasi publik Indonesia
dikenal berbagai macam patologi yang membuat birokrat atau aparat tidak
profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara lain adalah rendahnya
motivasi untuk melakukan perubahan dan inovasi. Patologi ini
terjadi sebagai konsekuensi dari keseluruhan perilaku dan gaya manajerial yang
sering digunakan oleh manajemen puncak (the strategic-apex) pada hirarki
organisasi publik. Gaya manajerial dan leadership yang bersifat
feodalistik dan paternalistik berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi
(Siagian,1994;44) sehingga jajaran birokrasi tingkat menengah dan bawah takut
untuk melakukan dan mengambil langkah langkah baru dalam upaya peningkatan
pelayanan publik. Rendahnya keinginan melakukan perubahan dan inovasi dalam hal
ini juga disebabkan oleh gaya manajerial yang tidak kondusif bagi terciptanya
birokrasi yang responsif dan inovatif. Tidak mengherankan jika kemampuan kerja
organisasi dan jajarannya menjadi rendah.
Dalam pandangan manajemen puncak “pro
status-quo” seperti itu, segala perubahan yang terjadi dalam hal ilmu
pengetahuan, teknologi komputer, teknologi informasi, dianggap sebagai sebuah
ancaman bagi kelangsungan karier dan jabatannya. Baik-buruknya pelayanan publik
yang diberikan oleh birokrasi sangat terkait dengan kemampuan dan kualitas dari
birokrasi itu sendiri. Kemampuan birokrat pemerintahan selain dibentuk melalui
pengembangan dan peningkatan pengetahuan dan keahlian individu juga sangat
dipengaruhi oleh sistem organisasi tersebut seperti orientasi kerja, struktur
organisasi, model kepemimpinan serta renumerasi yang diterima oleh aparatur. Hal lain yang
menjadi penyebab mendasar adalah dimana proses rekruitmen pegawai baru
seringkali mengabaikan aspek meritokrasi dan kebutuhan organisasi.Tidaklah
mengherankan jika dalam praktek, birokrasi Indonesia sering kewalahan dalam
mengantisipasi setiap perubahan dan aspirasi baru. Dampak dari itu adalah
terjadinya penurunan mutu kerja organisasi dan mutu pelayanan publik. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa aparat cenderung enggan melakukan perubahan
dan inovasi, selain disebabkan oleh gaya manajerial dalam organisasi publik,
patologi tersebut juga disebabkan karena iklim dan kondisi dalam organisasi
birokrasi yang cederung memberikan insentif kepada pegawai yang loyal dari pada
pegawai yang kreatif dan inovatif. Birokrasi dituntut lebih peka terhadap
berbagai perubahan dan mencari pendekatan baru bagi pengembangan pelayanan
kepada publik. Serta meninggalkan proses pelayanan yang sangat prosedural dan
birokratis.
Keberadaan aturan formal bukan
dijadikan alasan untuk tidak memperbaikan cara kerja yang responsif serta
bermain diatas aturan guna mensahkan setiap tindakan. Pekerjaan yang sebetulnya
dapat dikerjakan secara cepat dan singkat dibuat menjadi lama dan memerlukan
biaya besar. Pembuatan KTP bisa menjadi contoh bagaimana birokrat tingkat bawah
telah terkontaminasi oleh perilaku perilaku negatif yang selama ini lebih
didominasi manajemen atas. Berkaitan
dengan teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi
birokrasi Indonesia yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak
responsif dan inovatif. Maka topik pembicaraan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan kembali mendapat tempatnya. Bergulirnya angin perubahan (wind
of change) pada pertengahan tahun 1998 lalu sebagai awal baru bagi bangsa
Indonesia untuk lebih serius membenahi kinerja organisasi pemerintah dan meraih
kembali kepercayaan masyarakat yang sempat mengalami krisis. Dengan melandaskan
pemikiran terhadap permasalahan yang dihadapi oleh aparatur birokrasi Indonesia
maka sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan mengantisipasi
perubahan lingkungan maka diperlukan sebuah pemikiran untuk membangun aparatur
birokrasi Indonesia yang handal, profesional dan menjunjung tinggi nilai
kejujuran serta etika profesi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
penyelenggara kegiatan pembangunan dan penyelenggara pelayanan publik.
Mengingat urgensitas peran aparatur
dalam menyelenggarakan peran dan fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan
suatu pendekatan strategis untuk membangun wajah baru aparatur profesional yang
handal, tanggap, inovatif fleksibel dan tidak prosedural dalam memberikan
pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan. Peran pemerintah yang selama ini
sebagai ruler seharusnya diganti dengan sebagai fasilitator
seperti yang dikatakan oleh (Osborne & Gaebler,1992;29), dengan sepuluh
prinsip Mewirausahakan Birokrasi, yang memperkenalkan paradigma baru dengan
menempatkan birokrasi sebagai fasilitator bukan sebagai ruler atau patron.
Walaupun upaya untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang responsif dan
inovatif dengan memposisikan diri sebagai fasilitator bukan pekerjaan yang
mudah, namun upaya untuk mewujudkan cita cita tersebut tetap harus diupayakan
demi memberikan pelayanan yang baik kepada publik dan mampu memperbaiki citra
birokrasi Indonesia yang selama beberapa dasawarsa banyak menimbulkan citra
negatif dan telah kehilangan legitimasi dimata masyarakat.
B.
Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua. Selain itu
juga untuk mengkaji kembali
bagaimana perilaku biokrasi. Khususnya perilaku birokrasi di
Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif.
C.
Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk memberikan kemudahan bagi
mahasiswa maupun pakar sehingga dapat lebih memudahkan dalam mengetahui tentang
perilaku birokrasi.
2. Bagi masyarakat umum yakni agar mengetahui tentang perilaku
birokrasi yang selama
ini ada di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Birokrasi
Pengertian birokrasi dikalangan masyarakat
sering dihubungan dengan ketidakpuasan, rumit, bertele-tele dan banyak lagi
perkataan-perkataan yang dilotarkan oleh sebagai masyarakat yang merasa kecewa
atas pelayanan suatu birokrasi yang mereka alami. Jika dilihat dari segi
bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi
yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat
membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi,
dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang
didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal
bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah
“buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi
“bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang
rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Menurut
Ferrel Heady ada 3 (tiga) pendekatan dalam merumuskan birokrasi yaitu :
a. Pendekatan
struktural
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai
suatu susunan yang terdiri dari
hierarki otorita dan pembagian kerja yang amat terperinci (Victor
Thonson);
b. Pendekatan
Perilaku(Behavioral)
Menurut pendekatan ini menekankan arti
pentingnya objektivitas, pemisahan, ketepatan dan konsistensi yang dikaitkan
dengan ukuran fungsional dari pejabat administrasi. Dengan kata lain, perilaku
positif lekat dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik;
c. Pendekatan Pencapaian
Tujuan
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai
suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi dalam administrasi atau satu
metode pelembagaan perilaku sosial yang terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai
efisiensi administrasi.
2. Pengertian Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya
merupakan hasil interaksi birokrasi sebagai kumpulan individu dengan
lingkungannya (Thoha, 2005:138). Perilaku birokrasi yang menyimpang lebih tepat
dipandang sebagai patologi birokrasi atau gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction
of bureaucracy). Dalam kaitannya dengan fenomena perilaku birokrasi maka
kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku
aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam
rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial.Perilaku manusia
dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka
untuk mencapai tujuan organisasi. Thoha (2005:29) menjelaskan bahwa perilaku manusia
adalah fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Perilaku
seorang individu terbentuk melalui proses interaksi antara individu itu sendiri
dengan lingkungannya.
Setiap
individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik tersebut akan
dibawanya ketika ia memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman dan sebagainya. Demikian
pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi individu mempunyai
karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan
hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem imbalan dan
sistem pengendalian. Jika karakteristik individu (aparat) dan karakteristik
organisasi (birokrasi) berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu
(aparat) dalam organisasi (birokrasi).
3.
Karakteristik Birokrasi
Dennis. H. Wrong mengungkapkan bahwa setiap
organisasi birokrasi mempunyai ciri structural utama sebagai berikut ;
· Pembagian
tugas;
· Hierarki
otorita;
· Peraturan dan
ketentuan yang terperinci;
· Hubungan
interpersonal di antara anggota organisasi.
Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri
dari organisasi birokrasi yaitu :
a. Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah yurisdiksi yang
resmi, yang pada umumnya diatur dengan hukum atau peraturan-perataran
administrasi;
b. Terdapat prinsip hierarki dan tingkat otorita yang
mengatur system;
c. Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen yang dipelihara
dalam bentuk aslinya;
d. Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerja melalui
latihan keahlian;
e. Aktivitas organisasi menurut kapasitas anggota secara
penuh;
f. Berlakunya aturan-aturan main mengenai manajemen.
4.
Pentingnya Birokrasi
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri
dari formulasi, implementasi, evaluasi dan terminasi, yang kesemuanya itu
merupakan proses dari suatu birokrasi, sehingga birokrasi mempunyai andil dan
keterlibatan yang besar dalam pembuatan keputusan. Robert Presthus
memperlihatkan peranan birokrasi dalam pebuatan keputusan dalam hal-hal sebagai
:
a. Pembuatan peraturan dibawah peraturan perundang-undangan
(delegated legislation);
b. Pemrakarsa kebijaksanaan (bureaucracy’s role in
initiating policy);
c. Hasrat Intenal birokrasi untuk memperoleh kekuasaan,
keamanan dan kepatuhan..
5.
Fungsi Biokrasi
Michael
G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi
di dealam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah ;
a) Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern
meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul
informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi
adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif
serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi
berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu
sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara
keseluruhan.
b) Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk
melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan metereologi dan
Geofisika (BMG) di Indonesia merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana
badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan masyarakat yang akan
melakukan perjalanan atau mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam.
Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan
POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public serviceini.
c) Pengaturan(regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan
biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan
fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan:
Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi
negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.
d) Pengumpul Informasi (Information
Gathering)
Informasi
dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami
sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan
disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu
menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan
data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang
tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya
mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme
administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti
pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar
tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli.
6. Perilaku Birokrasi di Indonesia
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan
dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat
panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa
kolonialisme. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas
dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang
diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi
tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem
politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun,
seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit
dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik
pemerintah (Dwiyanto, 2008:9). Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia
mereflesikan percampuran atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern
yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah.
Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional
dalam bentuk institusi birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang
patrimonial tertanam dalam bentuk pola perilaku.
Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia
pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya perilaku negatif
seperti korupsi, dengan adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada
pejabat. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga memberikan
dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Secara struktural, perilaku negatif
juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominanya posisi birokrasi pemerintah
dalam penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan kegiatan
ekonomi (Mas’oed, 2008:30).
Substansi dari persoalan perilaku birokrasi
yang korup pada dasarnya merupakan bagian dari bentuk feodalisme yang terus
dipelihara oleh sistem birokrasi. Hal ini menciptakan kehidupan birokrasi yang
kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi.
Apalagi dominasi negara mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat, yang
kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan
untuk mempengaruhi opini publik. Pendapat Mas’oed (2008:119-120) tersebut dalam
teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity, yang
ciri-cirinya sebagai berikut: Pertama, lembaga politik yang dominan adalah
birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai
politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga
tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga massa diluar
birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah
merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan
birokrasi.
Analisis ini menjelaskan, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan
lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena
ketidakmampuan birokrasi sendiri melepaskan diri dari cengkeraman penguasa
negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku merupakan suatu fungsi
dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Thoha
(2002:184). Gibson (1997:6), perilaku dipandang sebagai sesuatu yang bekerja
pada tingkat individu, kelompok dan organisasi. Ini formula psikologi, dan
mempunyai kandungan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya sampai
seberapa jauh interaksi antara dirinya dengan lingkungannya, sedangkan
birokrasi dipergunakansebagai suatu sitem untuk merasionalkan organisasi
(Thoha,2002:184).
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang
dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan
kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah
perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem
politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun
waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral
dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun
sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di
Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari
aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto,
2008:9).
Dengan demikian perilaku
birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau perpaduan antara
karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik
birokrasi yang berakar dalam sejarah. Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki
atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi,
tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola
perilaku. Dari beberapa uraian diatas, maka dapat
diperoleh kesimpulan penting, yaitu:
(1) Terdapat tiga tipe birokrat dalam
birokrais publik, yaitu operator, manajer dan eksekutif yang
mempunyai perilaku yang berbeda satu sama lain;
(2) Perilaku ketiga tipe birokrat
tersebtu pada dasarnya rasional dalam menentukan pilihan dan selalu
menjaga kepentingannya;
(3) Perilaku birokrasi sangat
ditentukan oleh perilaku eksekutifnya terutama dalam memahami budaya
organisasinya dan sekaligus juga kekuatan dan kelemahannya dan
hubungan dengan pihak luar organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi pemerintah
Indonesia di era reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Arifin, Indar. 2010. Birokrasi
pemerintahan dan perubahan sosial politik. Makassar: Pustaka Refleksi.
Albrow, Matin. 2004. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Blau, Peter dkk. 1987. Birokrasi dalam
masyarakat modern. Jakarta: Penerbit UI Press, Salemba Empat.
Thoha, Miftah. 2002. Perspektif perilaku
birokrasi. Jakarta: PT Raja grafindo persada.
http://fadilabidin75.blogspot.co.id/2011/09/perilaku-birokrasi-dalam.html Diakses
pada tanggal 24 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar