Senin, 18 Maret 2019

Evaluasi, Perubahan dan Terminasi Kebijakan


EVALUASI, PERUBAHAN, DAN TERMINASI KEBIJAKAN PUBLIK
Secara umum, evaluasi kebijakan bisa dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Menurut Lester dan Stewawrt, evaluasi kebijakan dibedakan menjadi 2 tugas yang berbeda. Tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan pada standard atau kriteria yang telah diterapkan sebelumnya. Untuk memenuhi kedua tugas diatas, maka evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan yakni pengkhususan (spesification), pengukuran (measurement), analisis, dan rekomendasi.
A.  Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan Publik
James Anderson membagi evaluasi kebijakan kedalam tiga tipe.
1.    Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional yang berarti evaluasi dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri. Para pembentuk kebijakan dan  administrator selalu membuat pertimbangan mengenai manfaat atau dampak dari kebijakan, program dan proyek. Pertimbangan ini banyak memberikan kesan bahwa pertimbangan itu didasarkan pada  bukti yang terpisah dan dipengaruhi oleh ideologi, kepentingan para pendukungnya dan kriteria lainnya.
2.    Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program tertentu. Evaluasi tipe ini akan lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program. Namun demikian, tipe ini memiliki kelemahan dalam hal kecenderungannya untuk menghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampat suatu program terhadap masyarakat.
3.    Evaluasi kebijakan sistematis. Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi telah mendapatkan perhatian yang meningkat dari para peminat kebijakan publik. Evaluasi sistematis melihat secara objektif program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tersebut tercapai. Evaluasi ini lebih diarahkan untuk melihat dampak yang ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauh mana kebijakan tersebut menjawab kebutuhan atau masalah masyarakat.
Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan untuk hal-hal yang baik. Bisa juga evaluasi dilakukan untuk tujuan buruk. Selain itu juga, evaluasi dapat digunakan untuk meraih tujuan politik tertentu. Oleh karena itu, motivasi seorang evaluator dalam melakukan evaluasi dapat dibedakan kedalam 2 bentuk, yakni motivasi untuk melayani kepentingan publik dan motivasi untuk melayani kepentingan pribadi.
B.  Beberapa langkah dalam evaluasi kebijakan publik
Edward A.Suchman mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni :
1.    Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2.    Analisis terhadap masalah
3.    Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4.    Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5.    Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain.
6.    Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak

Mendefinisikan masalah adalah tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan. Hanya setelah masalah dapat didefinisikan dengan jelas, maka tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Kegagalan dalam mendefinisikan masalah akan berakibat pada kegagalan dalam memutuskan tujuan-tujuan. Evaluasi kegiatan adalah usaha untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Secara minimal, tujuan evaluasi kebijakan adalah agar mengetahui apa yang ingin dicapai dari suatu kebijakan tertentu, bagaimana kita melakukannya, dan dampak yang telah ditimbulkannya.
Ada 3 hal yang dapat dilakukan oleh evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan publik. Pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator. Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah sosial. Ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
Dampak dari suatu kebijakan memiliki beberapa dimensi yang semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi. Pertama, dampak kebijakan pada masalah publik dan dampak kebijakan pada orang yang terlibat. Dengan demikian, mereka atau individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi dan dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan harus ditentukan. Bila tujuan program yang diharapkan merupakan kombinasi dari semua itu, maka analisis akan menjadi semakin rumit karena prioritas harus dikaitkan dengan bermacam-macam dampak yang diinginkan. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan. Kebijakan ini dinamakan eksternalitas atau dampak yang melimpah. Eksternalitas ini bisa bersifat negatif dan juga positif. Ketiga, kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang. Keempat, evaluasi juga bisa menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program kebijakan publik. Sementara itu, biaya langsung lainnya dari kebijakan mungkin akan lebih sulit untuk ditemukan atau dihitung. Biaya lainnya yang bersifat immaterial akan sulit untuk dihitung. Kelima, evaluasi kebijakan yang menyangkut biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Biaya seperti itu seringkali tidak dipertimbangkan dalam membuat evaluasi kebijakan. Hal itu terjadi karena biaya tersebut tidak dapat dihitung karena sulitnya menentukan ukuran yang hendak dipakai.
 Dilihat dari sifatnya, dampak dari kebijakan dibedakan kedalam simbolik (intangible) maupun materi (tangible). Menurut Gabriel Almond dan G.Powell, hasil kebijakan yang bersifat simbolik mencakup penegasan tentang nilai-nilai oleh para elite; pameran bendera dan pasukan, upacara militer; kunjungan oleh pejabat tinggi; dan pernyataan kebijakan atau maksud oleh pemimpin politik dan ketergantungan yang besar dalam menyadap kepercayaan rakyat, tingkah laku; dan aspirasi bagi keefektifannya. Kebijakan yang bersifat materi dalam praktiknya berubah menjadi lebih bersifat simbolik. Sedangkan kebijakan publik yang keuntungannya lebih tampak bersifat simbolik dalam pelaksanaannya menghasilkan keuntungan yang lebih bersifat materi. Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakann mungkin sangat jauh dari yang diharapkan tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi yang penting bagi masyarakat.

C.  Berbagai Masalah dalam Evaluasi Kebijakan Publik
Anderson mengidentifikasi bahwa setidaknya ada 6 masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.
1.    Ketidakpastian atas tujuan kebijakan. Tujuan program yang disusun untuk menjalankan kebijakan harus jelas. Karena jika tidak jelas, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai.
2.    Kausalitas. Bila seorang evaluator menggunakan evaluasi sistematik untuk melakukan evaluasi terhadap program kebijakan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan nyata harus disebabkan oleh tindakan kebijakan.
3.    Dampak kebijakan yang menyebar atau eksternalitas yaitu suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran atau tujuan kebijakan. Tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok lain selain kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Dampak dari program pada kelompok mungkin bersifat simbolik atau material, dan mungkin juga bersifat sangat luas dan mempunyai jangkauan yang panjang.
4.    Kesulitan dalam memperoleh dana. Kekurangan data statistik dan informasi lain yang relevan barangkali akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan. Model ekonometrik yang biasa digunakan untuk meramalkan dampak dari pengurangan pajak pada kegiatan ekonomi dapat dilakukan tetapi data yang cocok untuk menunjukkan dampak yang sebenarnya pada ekonomi sulit untuk diperoleh.
5.    Resistensi pejabat. Dalam birokrasi, studi evaluasi mungkin mendapatkan dukungan sangat kuat dari pejabat tinggi yang harus membuat keputusan mengenai alokasi sumber diantara program. Akan tetapi pejabat tinggi itu mungkin juga tidak menginginkan evaluasi jika hasilnya mempunyai akibat yang memecah belah birokrasi.
6.    Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Bisa jadi suatu evaluasi kebijakan dikritik dengan alasan bahwa evaluasi tersebut tidak direncanakan dengan baik.
 Sementara itu, Hogwood dan Gunn mengidentifikasikan beberapa masalah berat yang menjadi kendala dalam mengevaluasi kebijakan publik. Yakni;
1.    Tujuan-tujuan kebijakan. Jika tujuan kebijakan tidak jelas, maka kriteria untuk keberhasilan suatu kebijakan juga tidak akan jelas. Kekaburan dalam tujuan kebijakan publik kadang kala bisa merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam titik pandang mengenai tujuan kebijakan.
2.    Membatasi kriteria untuk keberhasilan. Bahkan saat tujuan kebijakan secara jelas dinyatakan, tetap terdapat masalah tentang bagaimana keberhasilan itu akan diukur.
3.    Efek samping. Kadangkala dampak dari kebijakan publik lain mempengaruhi kebijakan yang sedang dievaluasi. Kesulitan ini bisa dihadirkan pada saat orang mencoba untuk mengidentifikasi dan mengukur efek sampingan ini dari kebijakan yang sedang dievaluasi.
4.    Masalah data. Seringkali informasi diperlukan untuk menilai dampak dari sebuah kebijakan mungkin tidak tersedia atau mungkin tersedia dalam suatu bentuk yang tidak cocok.
5.    Masalah metodologi. Masalah ini umum untuk masalah tunggal, atau suatu kelompok penduduk, menjadi target dari beberapa kebijakan dengan tujuan yang sama atau berkaitan.
6.    Masalah politik. Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan dimana politisi/birokrasi mempunyai komitmen terhadap reputasi dan karier pribadi mereka dan darimana kelompok klien menerima keuntungan yang sedang dievaluasi.
7.    Biaya. Ini bukan tidak umum untuk evaluasi suatu kebijakan terhadap biaya 1% dari total biaya kebijakan. Khususnya untuk kasus pada saat banyak metode canggih yang digunakan dalam studi evaluasi.
Anderson menyatakan ada 8 faktor yang menyebabkan kebijakan tidak memperoleh dampak yang diinginkan yaitu;
1.    Sumber yang tidak memadai.
2.    Cara yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan
3.    Masalah publik seringkali disebabkan oleh banyaknya faktor, sementara kebijakan yang ada ditujukan hanya kepada penanggulangan satu atau beberapa masalah.
4.    Cara orang menanggapi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang justru meniadakan dampak kebijakan yang diinginkan.
5.    Tujuan kebijakan yang tidak sebanding dan bertentangan satu sama lain.
6.    Biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah tersebut.
7.    Banyak masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan.
8.    Menyangkut sifat masalah yang akan dipecahkan oleh suatu tindakan kebijakan.
D.  Perubahan dan Terminasi Kebijakan
Perubahan dan terminasi kebijakan merupakan tahap selanjutnya setelah evaluasi kebijakan. Setelah masalah-masalah kebijakan timbul dan kegagalan program kebijakan diidentifikasi, maka tahap selanjutnya dalam lingkaran kebijakan (policy cycle) adalah perubahan kebijakan atau terminasi suatu kebijakan. Namun tidaka semua kebijakan akan menimbulkan masalah dan gagal meraih dampak yang diinginkan, ada juga kebijakan yang berhasil.
Konsep perubahan kebijakan merujuk pada penggantian kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan kebijakan ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi kebijakan yang sudah ada. Menurut Anderson, perubahan kebijakan mengambil 3 bentuk yakni: 1) perubahan inkremental pada kebijakan yang sudah ada; 2) pembuatan undang-undang baru untuk kebijakan khusus; 3) penggantian kebijakan yang besar sebagai akibat dari pemilihan umum kembali.
Kebijakan publik secara konstan bisa berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan yang ada tergantung pada beberapa faktor: 1) sejauh mana kebijakan awal dinilai mampu “memecahkan” persoalan, 2) kemampuan dengan mana kebijakan semacam itu dikelola, 3) kelemahan yang mungkin ada selama proses implementasi kebijakan berlangsung, 4) perubahan terhadap kebijakan ditentukan kekuatan politik dan kesadaran dari kelompok dimana kebijakan tersebut ditujukan.
Ada 3 alasan mengapa dilakukan perubahan kebijakan. Yaitu; 1) pemerintah, selama bertahun-tahun secara perlahan memperluas kegiatannya dalam bidang kebijakan tertentu sehingga ada beberapa kegiatan yang secara relatif baru yang dapat melibatkan pemerintah; 2) kebijakan itu sendiri mungkin menciptakan kondisi yang membutuhkan perubahan karena tidak memadainya akibat atau adanya akibat yang bertentangan; 3) tingkat relatif pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan implikasi keuangan dari komitmen kebijakan yang ada, mempunyai makna bahwa ruang gerak untuk menghindari masalah terminasi kebijakan atau perubahan kebijakan dengan menggulirkan suatu program baru tanpa memotong program lama adalah sangat tidak mungkin.
Menurut Peter, perubahan bisa mengambil bentuk sebagai berikut: 1) Linear, Bentuk perubahan ini mencakup pergantian secara langsung suatu kebijakan oleh kebijakan lain atau perubahan simpel terhadap suatu kebijakan yang ada, 2) Consolidation, Kebijakan mencakup penggabungan kebijakan sebelumnya kedalam suatu kebijakan baru, 3) Splitting, Badan/agensi dipecah kedalam dua atau lebih komponen, 4) Nonliner, Kebijakan adalah kompleks dan mencakup unsur dari jenis perubahan lain.
Ada beberapa model perubahan kebijakan yaitu:
1)   The Cyclical Thesis. Menurut Schlesinger model ini menjelaskan bahwa perubahan kebijakan disebabkan adanya suatu pergeseran secara terus menerus dalam keterlibatan secara nasional antara kepentingan publik dan kepentingan swasta.
2)   The Evolutionary or Policy-Learning Thesis. Model ini dikembangkan oleh Paul Sabatier et al. Sebagai suatu kerangka kerja konseptual dari proses kebijakan yang memandang perubahan kebijakan sebagai suatu fungsi dari 3 faktor sebagai berikut; (a) interaksi dari “advocacy coalitions” yang bersaing dalam suatu subsistem/komunitas kebijakan, (b) perubahan eksternal terhadap subsistem dan (c) akibat dari parameter sistem stabil.
3)   The Backlash or Zigzag Thesis. Model ini dikembangkan oleh Edwin Amenta dan Theda Skocpol. Mereka berpendapat bahwa terdapat pola yang tidak menentukan dalam sejarah kebijakan publik AS. Pola ini dikarakteristikkan oleh “zigzag effect”atau stimulus dan respons (backlash). Ini bukan merupakan suatu pergeseran besar dari liberal ke konservatif sebagaimana halnya dengan suatu pergeseran dari kebijakan yang menguntungkan suatu kelompok bergeser ke kebijakan yang menguntungkan kelompok lain, dalam backlash. Konsep “class struggles” atau koalisi masyarakat yang bersaing merupakan suatu cara yang berguna untuk menjelaskan pergeseran itu.

Sebagai suatu konsep, terminasi kebijakan menjadi objek studi dalam pertengahan tahun 1970-an pada waktu para sarjana memfokuskan pada terminasi organisasi sebagai suatu cara mengakhiri kebijakan atau program yang telah usang atau tidak memadai lagi. Terdapat beberapa tipe terminasi, mencakup sebagai berikut; 1) terminasi fungsional, menunjuk kepada suatu wilayah secara keseluruhan yang mencakup organisasi dan kebijakan, dan ini merupakan fenomena yang sangat jarang. Privatisasi pengumpulan sampah merupakan suatu contoh dari tipe terminasi. 2) terminasi organisasi, menunjuk pada eliminasi suatu organisasi secara keseluruhan. Organisasi pada umumnya akan direorganisasi ketimbang dieliminasi sama sekali. 3) terminasi kebijakan, menunjuk kepada eliminasi suatu kebijakan pada waktu teori yang mendasari atau pendekatan tidak lagi dibutuhkan atau dipercayai benar. 4) terminasi program, menunjuk kepada eliminasi tindakan khusus yang dirancang untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Jumlah konstituen yang terbatas mengkharakteristikan program spesifik. Mengeliminasi suatu program khusus dengan konstituensi yang secara relatif kecil adalah selalu mudah, ketimbang eliminasi suatu kebijakan atau organisasi dengan konstituensi yang sangat besar.
Pada umumnya, terminasi bisa didekati dalam dua cara yaitu; 1) terminasi ledakan besar/big bang termination,. Pendekatan ini terjadi dengan suatu keputusan autoritatif atau pukulan yang menentukan dalam satu titik waktu. Pada tipe ini, oposisi tidak punya waktu untuk mengorganisir diri menentang terminasi. 2) pendekatan mengaduh yang panjang atau the long whimper approach. Tipe ini muncul melalui suatu kemerosotan jangka panjang dalam sumber dengan mana suatu kebijakan atau organisasi dipertahankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar