EVALUASI, PERUBAHAN, DAN TERMINASI
KEBIJAKAN PUBLIK
Secara umum, evaluasi kebijakan bisa
dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan
yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Menurut Lester dan Stewawrt,
evaluasi kebijakan dibedakan menjadi 2 tugas yang berbeda. Tugas pertama
adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah
untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan pada
standard atau kriteria yang telah diterapkan sebelumnya. Untuk memenuhi
kedua tugas diatas, maka evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan
yakni pengkhususan (spesification), pengukuran (measurement),
analisis, dan rekomendasi.
A. Tipe-Tipe
Evaluasi Kebijakan Publik
James Anderson membagi evaluasi
kebijakan kedalam tiga tipe.
1. Evaluasi kebijakan dipahami
sebagai kegiatan fungsional yang berarti evaluasi dipandang sebagai kegiatan
yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri. Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat pertimbangan
mengenai manfaat atau dampak dari kebijakan, program dan proyek. Pertimbangan
ini banyak memberikan kesan bahwa pertimbangan itu didasarkan pada bukti yang terpisah dan dipengaruhi oleh
ideologi, kepentingan para pendukungnya dan kriteria lainnya.
2. Evaluasi yang memfokuskan diri
pada bekerjanya kebijakan atau program tertentu. Evaluasi tipe ini akan lebih
membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan
program. Namun demikian, tipe ini memiliki kelemahan dalam hal kecenderungannya
untuk menghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampat suatu program
terhadap masyarakat.
3. Evaluasi kebijakan sistematis.
Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi telah mendapatkan
perhatian yang meningkat dari para peminat kebijakan publik. Evaluasi
sistematis melihat secara objektif program kebijakan yang dijalankan untuk
mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan tersebut tercapai. Evaluasi ini lebih diarahkan untuk melihat dampak
yang ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauh mana kebijakan
tersebut menjawab kebutuhan atau masalah masyarakat.
Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan
untuk hal-hal yang baik. Bisa juga evaluasi dilakukan untuk tujuan buruk.
Selain itu juga, evaluasi dapat digunakan untuk meraih tujuan politik tertentu.
Oleh karena itu, motivasi seorang evaluator dalam melakukan evaluasi dapat
dibedakan kedalam 2 bentuk, yakni motivasi untuk melayani kepentingan publik
dan motivasi untuk melayani kepentingan pribadi.
B. Beberapa
langkah dalam evaluasi kebijakan publik
Edward A.Suchman mengemukakan enam
langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni :
1. Mengidentifikasi tujuan program
yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi
kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan
perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang
diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk
menentukan keberadaan suatu dampak
Mendefinisikan masalah adalah
tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan. Hanya setelah masalah dapat
didefinisikan dengan jelas, maka tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Kegagalan
dalam mendefinisikan masalah akan berakibat pada kegagalan dalam memutuskan
tujuan-tujuan. Evaluasi kegiatan adalah usaha untuk menentukan dampak dari
kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Secara minimal, tujuan evaluasi
kebijakan adalah agar mengetahui apa yang ingin dicapai dari suatu kebijakan
tertentu, bagaimana kita melakukannya, dan dampak yang telah ditimbulkannya.
Ada 3 hal yang dapat dilakukan
oleh evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan publik. Pertama,
evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan. Keluaran
ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna
sama sekali bagi seorang evaluator. Kedua, evaluasi kebijakan barangkali
mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah sosial. Ketiga,
evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy
feedback termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan pemerintah atau
pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
Dampak dari suatu kebijakan
memiliki beberapa dimensi yang semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan
evaluasi. Pertama, dampak kebijakan pada masalah publik dan dampak
kebijakan pada orang yang terlibat. Dengan demikian, mereka atau individu yang
diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi dan dampak yang
diharapkan dari adanya kebijakan harus ditentukan. Bila tujuan program yang
diharapkan merupakan kombinasi dari semua itu, maka analisis akan menjadi
semakin rumit karena prioritas harus dikaitkan dengan bermacam-macam dampak
yang diinginkan. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai dampak pada
keadaan-keadaan atau kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan. Kebijakan
ini dinamakan eksternalitas atau dampak yang melimpah. Eksternalitas ini bisa bersifat
negatif dan juga positif. Ketiga, kebijakan mungkin mempunyai dampak
pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang. Keempat, evaluasi
juga bisa menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan
untuk membiayai program kebijakan publik. Sementara itu, biaya langsung lainnya
dari kebijakan mungkin akan lebih sulit untuk ditemukan atau dihitung. Biaya
lainnya yang bersifat immaterial akan sulit untuk dihitung. Kelima, evaluasi
kebijakan yang menyangkut biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat
atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Biaya seperti
itu seringkali tidak dipertimbangkan dalam membuat evaluasi kebijakan. Hal itu
terjadi karena biaya tersebut tidak dapat dihitung karena sulitnya menentukan
ukuran yang hendak dipakai.
Dilihat dari sifatnya, dampak dari kebijakan
dibedakan kedalam simbolik (intangible) maupun materi (tangible).
Menurut Gabriel Almond dan G.Powell, hasil kebijakan yang bersifat simbolik
mencakup penegasan tentang nilai-nilai oleh para elite; pameran bendera dan
pasukan, upacara militer; kunjungan oleh pejabat tinggi; dan pernyataan
kebijakan atau maksud oleh pemimpin politik dan ketergantungan yang besar dalam
menyadap kepercayaan rakyat, tingkah laku; dan aspirasi bagi keefektifannya. Kebijakan
yang bersifat materi dalam praktiknya berubah menjadi lebih bersifat simbolik.
Sedangkan kebijakan publik yang keuntungannya lebih tampak bersifat simbolik
dalam pelaksanaannya menghasilkan keuntungan yang lebih bersifat materi.
Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakann mungkin sangat jauh dari
yang diharapkan tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi
yang penting bagi masyarakat.
C. Berbagai
Masalah dalam Evaluasi Kebijakan Publik
Anderson mengidentifikasi bahwa
setidaknya ada 6 masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.
1. Ketidakpastian
atas tujuan kebijakan. Tujuan program yang disusun untuk menjalankan kebijakan
harus jelas. Karena jika tidak jelas, maka kesulitan yang timbul adalah
menentukan sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai.
2. Kausalitas. Bila seorang evaluator
menggunakan evaluasi sistematik untuk melakukan evaluasi terhadap program
kebijakan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan yang terjadi dalam
kehidupan nyata harus disebabkan oleh tindakan kebijakan.
3. Dampak
kebijakan yang menyebar atau eksternalitas yaitu suatu dampak yang ditimbulkan oleh
kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran atau
tujuan kebijakan. Tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok lain selain
kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Dampak dari program pada kelompok
mungkin bersifat simbolik atau material, dan mungkin juga bersifat sangat luas
dan mempunyai jangkauan yang panjang.
4. Kesulitan
dalam memperoleh dana. Kekurangan data statistik dan informasi lain yang relevan
barangkali akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.
Model ekonometrik yang biasa digunakan untuk meramalkan dampak dari pengurangan
pajak pada kegiatan ekonomi dapat dilakukan tetapi data yang cocok untuk
menunjukkan dampak yang sebenarnya pada ekonomi sulit untuk diperoleh.
5. Resistensi
pejabat. Dalam
birokrasi, studi evaluasi mungkin mendapatkan dukungan sangat kuat dari pejabat
tinggi yang harus membuat keputusan mengenai alokasi sumber diantara program.
Akan tetapi pejabat tinggi itu mungkin juga tidak menginginkan evaluasi jika
hasilnya mempunyai akibat yang memecah belah birokrasi.
6. Evaluasi
mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan
yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang
tidak meyakinkan. Bisa jadi suatu evaluasi kebijakan dikritik dengan alasan
bahwa evaluasi tersebut tidak direncanakan dengan baik.
1. Tujuan-tujuan
kebijakan. Jika
tujuan kebijakan tidak jelas, maka kriteria untuk keberhasilan suatu kebijakan
juga tidak akan jelas. Kekaburan dalam tujuan kebijakan publik kadang kala bisa
merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam titik pandang mengenai tujuan
kebijakan.
2. Membatasi
kriteria untuk keberhasilan. Bahkan saat tujuan kebijakan secara jelas dinyatakan, tetap
terdapat masalah tentang bagaimana keberhasilan itu akan diukur.
3. Efek
samping.
Kadangkala dampak dari kebijakan publik lain mempengaruhi kebijakan yang sedang
dievaluasi. Kesulitan ini bisa dihadirkan pada saat orang mencoba untuk
mengidentifikasi dan mengukur efek sampingan ini dari kebijakan yang sedang
dievaluasi.
4. Masalah
data. Seringkali informasi diperlukan untuk
menilai dampak dari sebuah kebijakan mungkin tidak tersedia atau mungkin
tersedia dalam suatu bentuk yang tidak cocok.
5. Masalah
metodologi.
Masalah ini umum untuk masalah tunggal, atau suatu kelompok penduduk,
menjadi target dari beberapa kebijakan dengan tujuan yang sama atau berkaitan.
6. Masalah
politik.
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan dimana politisi/birokrasi mempunyai
komitmen terhadap reputasi dan karier pribadi mereka dan darimana kelompok klien
menerima keuntungan yang sedang dievaluasi.
7. Biaya. Ini bukan tidak umum untuk
evaluasi suatu kebijakan terhadap biaya 1% dari total biaya kebijakan.
Khususnya untuk kasus pada saat banyak metode canggih yang digunakan dalam
studi evaluasi.
Anderson menyatakan ada 8 faktor yang menyebabkan
kebijakan tidak memperoleh dampak yang diinginkan yaitu;
1. Sumber yang tidak memadai.
2. Cara yang digunakan untuk
melaksanakan kebijakan
3. Masalah publik seringkali
disebabkan oleh banyaknya faktor, sementara kebijakan yang ada ditujukan hanya
kepada penanggulangan satu atau beberapa masalah.
4. Cara orang menanggapi atau
menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang justru meniadakan dampak kebijakan
yang diinginkan.
5. Tujuan kebijakan yang tidak
sebanding dan bertentangan satu sama lain.
6. Biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan masalah membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan masalah tersebut.
7. Banyak masalah publik yang tidak
mungkin dapat diselesaikan.
8. Menyangkut sifat masalah yang akan
dipecahkan oleh suatu tindakan kebijakan.
D. Perubahan
dan Terminasi Kebijakan
Perubahan dan terminasi kebijakan
merupakan tahap selanjutnya setelah evaluasi kebijakan. Setelah masalah-masalah
kebijakan timbul dan kegagalan program kebijakan diidentifikasi, maka tahap
selanjutnya dalam lingkaran kebijakan (policy cycle) adalah perubahan
kebijakan atau terminasi suatu kebijakan. Namun tidaka semua kebijakan akan
menimbulkan masalah dan gagal meraih dampak yang diinginkan, ada juga kebijakan
yang berhasil.
Konsep perubahan kebijakan merujuk
pada penggantian kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang
lain. Perubahan kebijakan ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi
kebijakan yang sudah ada. Menurut Anderson, perubahan kebijakan mengambil 3
bentuk yakni: 1) perubahan inkremental pada kebijakan yang sudah ada; 2) pembuatan
undang-undang baru untuk kebijakan khusus; 3) penggantian kebijakan yang besar
sebagai akibat dari pemilihan umum kembali.
Kebijakan publik secara konstan
bisa berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan yang ada tergantung pada beberapa
faktor: 1) sejauh mana kebijakan awal dinilai mampu “memecahkan” persoalan, 2)
kemampuan dengan mana kebijakan semacam itu dikelola, 3) kelemahan yang mungkin
ada selama proses implementasi kebijakan berlangsung, 4) perubahan terhadap
kebijakan ditentukan kekuatan politik dan kesadaran dari kelompok dimana
kebijakan tersebut ditujukan.
Ada 3 alasan mengapa dilakukan
perubahan kebijakan. Yaitu; 1) pemerintah, selama bertahun-tahun secara
perlahan memperluas kegiatannya dalam bidang kebijakan tertentu sehingga ada
beberapa kegiatan yang secara relatif baru yang dapat melibatkan pemerintah; 2)
kebijakan itu sendiri mungkin menciptakan kondisi yang membutuhkan perubahan
karena tidak memadainya akibat atau adanya akibat yang bertentangan; 3) tingkat
relatif pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan implikasi keuangan dari komitmen
kebijakan yang ada, mempunyai makna bahwa ruang gerak untuk menghindari masalah
terminasi kebijakan atau perubahan kebijakan dengan menggulirkan suatu program
baru tanpa memotong program lama adalah sangat tidak mungkin.
Menurut Peter, perubahan bisa mengambil
bentuk sebagai berikut: 1) Linear, Bentuk perubahan ini mencakup pergantian
secara langsung suatu kebijakan oleh kebijakan lain atau perubahan simpel
terhadap suatu kebijakan yang ada, 2) Consolidation, Kebijakan mencakup
penggabungan kebijakan sebelumnya kedalam suatu kebijakan baru, 3) Splitting,
Badan/agensi dipecah kedalam dua atau lebih komponen, 4) Nonliner,
Kebijakan adalah kompleks dan mencakup unsur dari jenis perubahan lain.
Ada beberapa model perubahan
kebijakan yaitu:
1) The
Cyclical Thesis. Menurut Schlesinger model ini menjelaskan bahwa
perubahan kebijakan disebabkan adanya suatu pergeseran secara terus menerus
dalam keterlibatan secara nasional antara kepentingan publik dan kepentingan
swasta.
2) The
Evolutionary or Policy-Learning Thesis. Model ini dikembangkan oleh Paul
Sabatier et al. Sebagai suatu kerangka kerja konseptual dari proses
kebijakan yang memandang perubahan kebijakan sebagai suatu fungsi dari 3 faktor
sebagai berikut; (a) interaksi dari “advocacy coalitions” yang bersaing
dalam suatu subsistem/komunitas kebijakan, (b) perubahan eksternal terhadap
subsistem dan (c) akibat dari parameter sistem stabil.
3) The
Backlash or Zigzag Thesis. Model ini dikembangkan oleh Edwin Amenta dan Theda
Skocpol. Mereka berpendapat bahwa terdapat pola yang tidak menentukan dalam
sejarah kebijakan publik AS. Pola ini dikarakteristikkan oleh “zigzag
effect”atau stimulus dan respons (backlash). Ini bukan merupakan
suatu pergeseran besar dari liberal ke konservatif sebagaimana halnya dengan
suatu pergeseran dari kebijakan yang menguntungkan suatu kelompok bergeser ke kebijakan
yang menguntungkan kelompok lain, dalam backlash. Konsep “class
struggles” atau koalisi masyarakat yang bersaing merupakan suatu cara yang
berguna untuk menjelaskan pergeseran itu.
Sebagai
suatu konsep, terminasi kebijakan menjadi objek studi dalam pertengahan tahun
1970-an pada waktu para sarjana memfokuskan pada terminasi organisasi sebagai
suatu cara mengakhiri kebijakan atau program yang telah usang atau tidak
memadai lagi. Terdapat beberapa tipe terminasi, mencakup sebagai berikut; 1) terminasi
fungsional, menunjuk kepada suatu wilayah secara keseluruhan yang mencakup
organisasi dan kebijakan, dan ini merupakan fenomena yang sangat jarang.
Privatisasi pengumpulan sampah merupakan suatu contoh dari tipe terminasi. 2) terminasi
organisasi, menunjuk pada eliminasi suatu organisasi secara keseluruhan. Organisasi
pada umumnya akan direorganisasi ketimbang dieliminasi sama sekali. 3) terminasi
kebijakan, menunjuk kepada eliminasi suatu kebijakan pada waktu teori yang
mendasari atau pendekatan tidak lagi dibutuhkan atau dipercayai benar. 4) terminasi
program, menunjuk kepada eliminasi tindakan khusus yang dirancang untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan. Jumlah konstituen yang terbatas
mengkharakteristikan program spesifik. Mengeliminasi suatu program khusus
dengan konstituensi yang secara relatif kecil adalah selalu mudah, ketimbang
eliminasi suatu kebijakan atau organisasi dengan konstituensi yang sangat
besar.
Pada
umumnya, terminasi bisa didekati dalam dua cara yaitu; 1) terminasi ledakan besar/big
bang termination,. Pendekatan ini terjadi dengan suatu keputusan
autoritatif atau pukulan yang menentukan dalam satu titik waktu. Pada tipe ini,
oposisi tidak punya waktu untuk mengorganisir diri menentang terminasi. 2)
pendekatan mengaduh yang panjang atau the long whimper approach. Tipe
ini muncul melalui suatu kemerosotan jangka panjang dalam sumber dengan mana
suatu kebijakan atau organisasi dipertahankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar