PENGENDALIAN KEBIJAKAN
Dalam
buku kebijakan publik, sebagian besar pembahasannya yaitu mengenai evaluasi
kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai sebuah
manajemen, itu berarti bahwa dalam konteks ini dapat diartikan bahwa kebijakan
publik harus dikendalikan. Kebijakan publik yang harus dikendalikan lebih tepat
disebut pengartian dari pengendalian pubik dibandingkan dengan evaluasi
kebijakan. Sebagai sebuah hal yang harus dikendalikan, pengendalian kebijakan
memiliki tiga dimensi yang diantaranya sebagai berikut
1.
Monitoing kebijakan, atau pengawasan kebijakan
Pengawasan
dapat berupa pemantauan dengan cara menilai pelaksanaan untuk tujuan
pengendalian pelaksanaan, agar pelaksanaan akan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan.
2.
Evaluasi kebijakan
Merupakan
sebuah penilaian terhadap pencapaian pelaksanaan atau kinerja dari sebuah
implementasi.
3.
Pengganjaran kebijakan
Pengganjaran
dalam kebijakan publik termasuk di dalamnya adalah penghukuman. Bermakna
insentif atau disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari
monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan sebelumnya. Pengganjaran dalam hal
ini menjadi sangat penting karena sebuah monitoring dan evaluasi yang telah
dilakukan tanpa memberikan sebuah balasan atau ganjaran termasuk hukuman di
dalamnya tidak akan berarti apa-apa.
Ketiga dimensi di atas merupakan inti dari pengendalian kebijakan,
karena tanpa adanya ketiga hal di atas maka kebijakan akan lari seperti
diumpamakan sebuah truk besar yang lari kencang tak terkendali.
Monitoring
Kebijakan
Menurut Kunarjo dalam Glosari
Pembiayaan Pembangunan (1991), monitoring atau pemantauan adalah usaha
secara terus-menerus untuk memahami perkembangan bidang-bidang tertentu dari
pelaksanaan tugas atau proyek yang sedang dilaksanakan. Terdapat dua jenis
teknik monitoring, yaitu on desk dan on site. On desk yaitu dengan mencermati laporan-laporan perkembangan,
sedangkan on site yaitu dengan cara
turun ke lapangan memeriksa secara langsung. Terdapat pula cara ketiga, yaitu
melakukan keduanya on desk dan on site. Dalam hal ini tujuan monitoring adalah untuk:
1.
Menghindarkan terjadinya penyimpangan/kesalahan/keterlambatan,
sehingga dapat diluruskan atau diperbaiki
2.
Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi
yang sesuai
3.
Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju ke arah kinerja
kebijakan yang dikehendaki.
Sebagai sebuah standar pemantauan, masing-masing lembaga
mengembangkan lebih lanjut model yang sesuai dengan kebijakan yang sedang
dilaksanakan. Model monitoring, secara umum digambarkan sebagai sekuensi antara
perencanaan dan evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut
sebagai “bagian-bagian” dari evaluasi. Artinya monitoring dalam evaluasi suatu
kebijakan dilaksanakan setiap proses tahapan kebijakan yaitu mulai dari
perencanaan hingga pencapaian.
Pengawasan yang baik adalah pengawasan yang dapat secara langsung
menjadi evaluasi. Artinya, evaluasi menjadi hasil dari monitoring-monitoring
yang telah dilakukan. Jadi antara monitoring dengan evaluasi terjadi sebuah
sinergi sehingga suatu pelaksanaan tidak perlu melakukan pengulangan atau
perbaikan terhadap sebuah proses dan pekerjaan. Dampak dari tidak dapat
membedakan antara monitoring dan evaluasi yaitu: pertama, dalam birokrasi
sering dipahami istilah monev (monitoring evaluasi), akibatnya setiap
monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal tidak selalu seperti itu;
kedua, pelaksana monitoring adalah juga pelaksana evaluasi. Padahal, baiknya
berbeda. Bahkan evaluasi khusus, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga
terkait, agar hasil evaluasi yang dilakukan fair;
dan ketiga, yaitu dampak dari adanya monev maka ukuran monitoring dan evaluasi
disamakan.
Yang sering kali terlupa dalam monitoring adalah 4 “Faktor X”,
yaitu lupa:
1.
Memastikan kebijakan setelah selesai dirumuskan dan sudah selesai
disosialisasikan
2.
Memastikan masyarakat atau publik mengetahui dan mengerti
kebijakann yang diimplementasikan
3.
Memastikan pelaksananya cakap dan siap serta professional
4.
Memastikan pemonitornya mengerti monitoring dan bagaimana cara
monitoring yang baik.
Evaluasi
Kebijakan
Bagian ini membahas evaluasi kebijakan untuk tujuan khusus
pengendalian, bahwa evaluasi kebijakan fokus kepada pemahaman bahwa sebuah
kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Begitu juga dengan kebijakan
bahwa harus selalu terus diawasi, dan salah satu mekanisme dari pengawasan
tersebut disebut sebagai evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan disarankan
untuk dilaksanakan dengan cara komparasi, dengan pilihan-pilihan:
1.
Komparasi dengan tujuan
2.
Komparasi dengan historical
3.
Komparasi dengan best
practices
Tujuan pokok dari evaluasi bukan untuk menyalah-nyalahkan melainkan
untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari
suatu kebijakan publik. artinya, evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan
dan menutup kekurangan. Adapun ciri dari evaluasi kebijakan adalah:
1.
Tujuannya adalah menemukan hal-hal yang strategis untuk
meningkatkan kinerja kebijakan
2.
Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelansana
kebijakan, dan target kebijakan
3.
Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi
4.
Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau atas dasar
kebencian
5.
Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.
Model Evaluasi Dunn
Menurut
William N. Dunn (1999:608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran, pemberian angka, dan penilaian. Evaluasi berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi member
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. artinya, meski berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan publik,
evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada
implementasi kebijakan publik. Secara umum, Dunn menggambarkan
kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik yaitu berdasarkan tipe kriteria
evaluasi diantaranya yaitu: (1) efektivitas, (2) efisiensi, (3) kecukupan, (4)
perataan, (5) responsivitas, dan (6) ketepatan.
Secara
spesifik Dunn (1999:612-634) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi
implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi
keputusan teoritis. Evaluasi semu tujuannya yaitu untuk menghasilkan informasi
valid tentang hasil kebijakan. Selain itu tujuan evaluasi formal yaitu untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan
secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan. Dan evaluasi
keputusan teoritis memiliki tujuan untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh
berbagai pelaku kebijakan.
Model Evaluasi Lester & Steward
Untuk
pembanding, James P. Lester dan Joseph Steward Jr (2000), mengelompokkan
evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang
berkenaan dengan proses implementasi, diantaranya: (1) evaluasi impak, yaitu
evaluasi berkenaan dengan hasil atau pengaruh dari implementasi kebijakan; (2)
evaluasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan
yang dikehendaki; dan (3) evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi
dari berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan
tertentu.
Model Evaluasi House
Ernest
R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi
model evaluasi menjadi delapan model, yaitu sebagai berikut:
No.
|
Model
|
Indikator
|
1.
|
Sistem
|
Efisiensi
|
2.
|
Perilaku
|
·
Produktivitas
·
Akuntabilitas
|
3.
|
Formulasi
Keputusan
|
·
Keefektivan
·
Keterjagaan Kualitas
|
4.
|
Tujuan-bebas
(goal free)
|
·
Pilihan Pengguna
·
Manfaat Sosial
|
5.
|
Kekritisan
Seni (art criticism)
|
·
Standar yang semakin baik
·
Kesadaran yang semakin meningkat
|
6.
|
Review
Profesional
|
Penerimaan
Profesional
|
7.
|
Kuasi-legal (quasi-legal)
|
Resolusi
|
8.
|
Studi Kasus
|
Pemahaman
atas diversitas
|
Ada
pula pemilihan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:
1.
Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan
(proses dan hasilnya), di satu tempat yang sama atau berlainan
2.
Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan
rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut
3.
Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun
menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis labolatorium
4.
Evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak
dalam waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot)
Model Evaluasi
Anderson
Dalam model ini terbagi menjadi tiga tipe evaluasi kebijakan
menurut James Anderson (2011:276-278), sebagai berikut:
1.
Evaluasi kebijakan publik dipahami sebagai kegiatan fungsional yang
selalu melekat pada setiap kebijakan publik
2.
Evaluasi yang memfokuskan kepada proses bekerjanya kebijakan publik
3.
Evaluasi sistematis untuk mengukur kebijakan atau negukur
pencapaian dibanding target yang ditetapkan.
Di
sisi lain, Edrwad A. Suchman lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan
enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1.
Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2.
Analisis terhadap masalah
3.
Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4.
Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5.
Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain
6.
Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak
(dikutip Winarno, 2002:169).
Model Evaluasi Wibawa
Menurut
Wibawa dkk. (1993:10-11), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi,
yaitu:
No.
|
Fungsi
|
Keterangan
|
1.
|
Eksplansi
|
·
Dapat diketahui realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat
suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi
realitas.
·
Evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang
mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan
|
2.
|
Kepatuhan
|
·
Dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku
sesuai dengan standard an prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan
|
3.
|
Audit
|
·
Dapat diketahui apakah output
benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru
kebocoran atau penyimpangan
|
4.
|
Akunting
|
·
Dapat diketahui apa akibat atau implikasi sosial dan ekonomi dari
kebijakan tersebut.
|
Model Evaluasi Bingham dan Felbinger
Bingham
dan Felbinger (dalam Lester & Steward, 2000) membagi evaluasi kebijakan menjadi
tiga empat jenis, yaitu:
1.
Evaluasi proses, yang focus kepada bagaimana proses implementasi
dari suatu.
2.
Evaluasi impak, yang memberikan focus kepada hasil akhir dari suatu
kebijakan.
3.
Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang
direncanakan dalam kebijakan pada saat dirumuskan.
4.
Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau
temuan evaluasi dari berbagai kebijakan yang terkait.
Model Evaluasi Howlet dan Ramesh
Howlet
dan Ramesh (1995) mengkelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu:
1.
Evaluasi administrative,
yang berkenaan dengan evaluasi sisi administrasi- anggaran, efisiensi, biaya-
dari proses kebijakan di dalam pemerintah, berkenaan dengan, yaitu berkenaan
dengan:
a.
Effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh
kebijakan
b.
Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan
oleh kebijakan
c.
Eduquacy of performance evaluation atau effectiveness
evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah
ditetapkan
d.
Efficiency evaluation, yang menilai biaya program, dan memberikan penilaian tentang
kefektivan biaya tersebut
e.
Process evaluations, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk
melaksanakan program
2.
Evaluasi jusdisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu
keabsahan hukumndi mana kebijakan diimplementasikan termasuk di dalamnya
kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan
administrasi Negara, hingga hak asasi manusia.
3.
Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konsistuen
politik terhadap kebijakan public yang diimplementasikan.
Metode Evaluasi Kuantitatif
Evaluasi kebijakan adalah tindakan untuk
menilai/mengukur keseuaian hasil/produk/output/outcome suatu kebijakan dengan
tujuan kebijakan yang sudah ditentukan sebelumnya. Produk evaluasi kebijakan
adalah nilai/skor dampak/impak/capaian/kinerja/ kebijakan kepada public/target
kebijakan/objek kebijakan. Hasilnya adalah seleisih (gap) antara tujuan dan
capaian, penyebab selisih, dan apa feedback/koreksi/
pembelajaran yang dapat diambil. Untuk disepakati, tujuan umum (setiap)
evaluasi (kebijkan) adalah:
1.
Menilai prestasi
2.
Menemukan kesenjangan antara prestasi yang dicapai dan harapan
prestasi yang hendak dicapai
3.
Menemukan pembelajaran untuk perbaikan ke depan.
Bagaimana
menilai prestasi? Ada dua metode untuk menilai prestasi, yaitu metode komparasi
dan metode non-komparasi. Metode komparasi terdiri atas teknik:
1.
Komparasi dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya (komparasi manajerial)
2.
Komparasi dengan prestasi di masa sebelumnya (komparasi historical)
3.
Komparasi dengan organisasi sejenis yang terbaik (best practions
benchmarking)
4.
Komparasi dengan rata-rata kinerja organisasi sejenis (komparasi
rerata industri)
Metode
non-komparasi yang baisanya menggunakan metode penilaian prestasi berperingkat
(rating based performance) mempunyai bebrapa pendekatan, yaitu:
1.
Rating oleh organisasi bersangkutan, yang dilakukan oleh:
a.
Pengawas
b.
Pimpinan
2.
Rating oleh organisasi lain, yang dilakukan oleh:
a.
Tunggal, atau satu organisasi
b.
Multi, atau banyak organisasi
Secara
operasional, metode non-komparasi yang biasanya menggunakan metode penilaian
prestasi berperingkat (rating based performance) dari berbagai pendekatan
tersebut mempunyai beberapa teknik, yaitu:
1.
Penilaian dengan metode SMART
2.
Peniaian dengan metode BSC (cek KRA dan kemudian KPI)
3.
Penilaian dengan metode Malcolm Baldrige for Perfomance of
Excellence
4.
Penilaian dengan metode BARS (behaviorally anchored rating scales)
Karena
evaluasi adalah pengukuran, perlu diketahui cara pengakurannya. Pada
pelaksanannya, metode non-komparasi dari berbagai pendekatan dan teknik
tersebut mempunyai beberapa teknik pengukuran sebagai berikut, yaitu:
a.
Penilaian dengan skala tinga tingkat
1)
Pencapaian keseluruhan: luar baisa, dapat diterima, tidak selurunya
dapat diterima
2)
Pencapaian sasaran: melampaui, memenuhi, gagal (memenuhi)
3)
Kompetensi: sangat kompeten, kompeten, kurang kompeten
4)
Penyebaran kemampuan: di atas rata-rata, rata-rata, di bawah
rata-rata
b.
Penilaian dengan skalam lima tingkat berbasiskan Likert
c.
Penilaian dengan skala empat tingkat, dengan menghilangkan faktor
“tengah”, untuk menghilangkan faktor kategori ambigu (menengah) atau katogeri
menyakitkan (paling bawah)
d.
Penialain dengan skala enam tingkat
1)
Exceptional performance
2)
Excellence performance
3)
A well balanced performance
4)
Reasonable performance
5)
Uanacceptable performance
Evaluasi total
Sesungguhnya
evaluasi kebijakan public mempunyai empat lingkup makna, yaitu evaluasi
perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, evaluasi kinerja
kebijakan, da evaluasi lingkungan kebijakan. Evaluasi kebijakan berfokus pada 4
hal yakni, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, lingkungan kebijakan,
dan kinerja kebijakan. Karena keempat komponen kebijakan tersebutlah yang
menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak. Namun demikian,
konsep di dalam konsep “evaluasi” sendiri selalu terikut konsep “kinerja”,
sehingga evaluasi kebijakan public pada ketiga wilayah bermakna “kegiatan
pasca”. Pembedaan ini penting untuk memilahkannya dengan “analisis”
(kebijakan). Dari proses kebijakan selalu ada sisi evaluasi kebijakan dari
setiap public kebijakan publik. Namun sebagian besar dari kita memahami
evaluasi kebijakan sebagai evaluasi atau implementasi kebjakan saja.
Sesungguhnya evaluasi kebijakan publik mempunyai tiga lingkup mkna, yaitu
evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi
lingkungan kebijakan.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara
umum,evaluasi formulasi kebijakan public berkenaan dengan apakah formulasi
kebijakan public telah dilaksanakan:
1.
Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masaah kebijakan publik yang berlainan;
2.
Mengarah kepada permasalahan yang diterima secara bersama, baik
dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesmaan dan keterpaduan langkah
perumusan;
3.
Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduanlangkah perumusan.
4.
Mendayagunakan sumberdaya yang ada secara optimal, baik dalam
bentuk sumberdaya waktu dana, manusia dan kondisi lingkungan strategis.
Secara
praktis, paling tidak ada tida belas model evaluasi formulasi kebijakan public (model
pengamatan terpadu/ mixed scanning dikeluarkan dari daftar), yaitu:
1.
Model Kelembagaan (Institutional)
2.
Model Proses (Process)
3.
Model Kelompok (Group)
4.
Model Elite (Elite)
5.
Model Rasional (Rational)
6.
Model Inkemental (Incremental)
7.
Model Teori Permainan (Game Theory)
8.
Model Pilihan Public (Pubic Choice)
9.
Model Sistem (System)
10.
Model Demokratis
11.
Model Strategis
12.
Model Delebratif
Sederhananya,
jika formulasi kebijakan menentukan menggunakan model kelompok, karena masalah yanh dihadapi akan dapat diselesaikan
dengan model kebijakan yang dirumuskan dalam kelompok, maka proses formulasinya
pun harus secara model kelompok. Apabila konsep model formulasinya adalah model
kelompok, namun prakti formulasinya menggunakan model elite, maka dapat
dikatakan bahwa formulasi kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara
proses.
Evaluasi
Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi
kebijkana public adalah bagian yang terpenting dari suatu kebijakan, tujuan
dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi
dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan. Petunjuk praktis evaluasi
implementasi kebijakan public dapat diringkas sebagai berikut:
Model
sederhana Evaluasi Implementasi
Evaluasi Kinerja Kebijakan
Penilaian kinerja menjadi isu penting dalam kebijakan publik.
Alasan pertama, karena kebijakan dibuat untuk suatu tujuan. Karena itu, kebijakan harus dinilai sejauh mana ia
mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Di sini kita memasuki alasan kedua,
bahwa pengukuran kinerja menentukan
kemana kebijakan akan dibawa. Terdapat penilaian kinerja kebijakan yang
berkenan dengan:
1.
Dimensi hasil
2.
Dimensi proses pencapaian hasil dan pembelajaran
3.
Dimensi sumber daya yang digunakan (efiseinsi dan efektivitas)
4.
Dimensi keberadaan dan perkembangan organisasi
5.
Dimensi kepemimpinan dan pembelajaran
Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Istilah
environment mempunyai padanan kata surrounding yaitu everything that is around of near; the conditions that affect the
development yang berasal dari kata environs
yang berarti the area surrounding a
place (Oxford Dictionary, 2005 (1948): 511-2; lingkungan adalah surrounding around, a ring round, encircle,
circumstances, envelope, enclose (Oxford Dictionary on Historical
Princiles, Vol I A-M, 1973 (1933): 667). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun
dipahami sebagai keadaan sekitar yang
mempengaruhi (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 830).
Seringkali
dikatakan karyawan atau staf adalah lingkungan internel.
Sesungguhnya “mereka” bukan lah lingkungan
organisasi, melainkan komponen
organisasi. Lingkungan adalah segala sesuatu yang bukan komponen organisasi.
Sebagaimana
tentang “Kebijakan dan Lingkungan,” maka dapat dipahami bahwa lingkungan
kebijakan terdiri dari delapan konteks, yaitu:
1.
Politik
2.
Budaya dan nilai-nilai
3.
Ekonomi
4.
Teknologi
5.
Sosial dan demografi
6.
Sejarah
7.
Alam (iklim)
8.
Kebijakan lain
Kedelapan konteks lingkungan tersebut mempengaruhi kebijakan publik
melalui dua institusi, yaitu kelompok
kepentingan dan kelompok penekan.
Jadi, lingkungan selalu bermakna “eksternal”. Evaluasi kebijakan merujuk kepada
segala sesuatu di luar kebijakan, baik rumusan (dan proses perumusannya),
implementasi, dan kinerja kebijakan. Konteks “lingkungan” dikedepankan karena
perubuahan yang terjadi hari ini dan di masa depan adalah perubahan pada volume
yang besar dan cepat. Kenyataan ini sangat mencemaskan, karena kita banyak
melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat, mendadak sudah menjadi usang
karena perubahan. Evaluasi ini sendiri terbagi menjadi dua yaitu, evaluasi
lingkungan formuasi kebijakan dan evaluasi lingkungan implementasi kebijakan. Evaluasi
lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan sebuat deskripsi bagaimana
lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan seperti itu. Evaluasi lingkungan
implementasi kebijakan berkenaan dengan faktor-faktor lingkungan apa saja yang
membuat kebijakan gagal atau berhasil diimplementasikan. Jadi, pada prinsipnya
evaluasi lingkungan kebijakan publik memberikan sebuah deskripsi yang jelas
bagaimana konteks kebijakan dirumuskan dan konteks kebijakan diimplementasikan.
Praktik Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan berbeda dengan penelitian kebijakan, karena sifatnya strategis, dan bukan
akademis. Untuk itu, disarankan langkah-langkah praktik evaluasi kebijakan
sebagai berikut:
1.
Mempersiapkan rencana evaluasi
2.
Membentuk tim evaluasi.
3.
Proses penyusunan rencana kerja
4.
Proses evaluasi kebijakan.
5.
Pelaporan
Jenjang Evaluasi Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan di depan, terpapar beberapa jenjang dalam
kebijakan publik, yang disampaikan secara beruntutan sebagai berikut:
1.
Kebijakan
2.
Program
3.
Proyek
4.
Kegiatan
Evaluasi pada jenjang kebijakannya: UU, PP, Perpres, Perda, Kepmen,
dan seterusnya, berkenaan dengan formalisasi misi lembaga, visi pemimpin, dan
strategi tim manajemen. Yang dievaluasi adalah: apakah rumusan berisi strategi
yang terbaik untuk mencapai visi?
Evaluasi pada jenjang programnya: program pembangunan tertentu,
berkenaan dengan klusterisasi strategi menjadi bagian-bagian yang kepadanya
dilekatkan anggaran. Evaluasinya adalah: apakah klusterisasi sudah sesuai dan
anggaran sesuai dengan kebutuhan per kluster?
Evaluasi pada jenjang proyeknya: proyek pembangunan tertentu, yaitu
berkenaan dengan klusterisasi program menjadi bagian-bagian yang dilekatkan
pelaksanaanya (who doing what). Evaluasinya adalah: apakah klusterisasi who doing what sudah sesuai dengan
“tupoksi” dan kapasitas pelaksana.
Evaluasi pada jenjang kegiatannya: Pelaksanaan kegiatan pembangunan
tertentu, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan dari setiap program di
lapangan sesuai dengan rincian pekerjaan yang sudah dibuat. Evaluasinya adalah:
apakah pekerjaan diselenggarakan sesuai rincian dan diselenggarakan secara
efisien?
Evaluasi di
Indonesia
Dengan
diterbitkannya PP No.39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, telah membuat isu evaluasi kebijakan menjadi
perhatian yang sangat penting di Indonesia. Dalam pelaksanaannya ditemukan
beberapa permasalahan diantaranya; Pertama, secara konsep yaitu
pengendalian pembangunan karena evaluasi merupakan bagian dari pengendalian. Kedua,
Pasal 1 ayat (1) (2) (3) menyebutkan tiga isu penting dalam kebijakan yaitu
pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Ketiga, kebingungan membedakan
antara “program” dengan “kebijakan”. Pasal 1 ayat 22 menjelaskan bahwa keluaran
adalah barang/jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilakukan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Keempat,
kebingungan membedakan “efektivitas” “kemanfaatan” “keluaran” dan “hasil”.
Bappenas telah memiliki konsep standar yakni keluaran (output), kemanfaatan
(outcome) dan hasil mencakup keluaran dan kemanfaatan. Kelima,
kebingungan memahami konsep “evaluasi” yakni sebuah kegiatan pasca kegiatan.
Menilai sebuah kegiatan yang telah selesai dilaksanakan. Istilah “Evaluasi”
yang digunakan “pada saat pelaksanaan” bukanlah evaluasi itu sendiri, melainkan
pengawasan yang didalamnya terdapat tugas penilaian.
Evaluasi
senantiasa dilakukan pasca implementasi, karena kinerja ada setelah
implementasi selesai. Tidaklah fair jika evaluasi dilakukan sebelum pekerjaan
selesai. Evaluasi yang disarankan adalah evaluasi yang menggunakan “taktik”
dalam penyelesaian masalahnya. Jadi tiga bulan sebelum evaluasi, dilakukan
“pra-evaluasi” agar proses evaluasinya sendiri dapat dilakukan dengan lebih
cepat. Karena hasil evaluasi dengan segera akan digunakan sebagai materi
perencanaan periode atau tahap selanjutnya. Bagi indonesia, model yang
disarankan adalah mulai mengembangkan penilaian antara evaluasi yang bersifat
teknis. Namun demikian, jika Bappenas tidak dikehendaki sebagai agen evaluasi,
Bappenas telah menjadi agen perencanaan, maka peran evaluasi dapat dilakukan
oleh agen yang bersifat khusus yang dimasa lalu bernama sekretaris pengendalian
operasional pembangunan yang melekat kepada kantor kepresidenan.
Evaluasi dan Good
Governance
Dari sisi akuntabilitasnya, evaluasi kebijakan merupakan bagian
terpenting dalam pelaksanaan good governance. Dengan evaluasi kebijakan,
pemerintah dapat mempertanggung jawabkan dirinya dalam konteks ketata kelolaan
yang baik. Evaluasi kebijakan perlu dilaksanakan secara memadai dari sisi
dimensi kebijakan publik, untuk mendapatkan gambaran terbaik dimana terjadi
kemajuan dan di mana ada kemandegan. Hal ini merupakan sisi fairness dalam
good governance. Panduan utama untuk menilai suatu evaluasi itu baik dan
bisa dipertanggungjawabkan, maka dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni; Pertama,
evaluasi digunakan pada keempat dimensi kebijakan publik. Kedua,
evaluasi dilakukan dengan tujuan melihat sejauh mana tujuan yang dikehendaki
oleh kebijakan tujuan intervensi secara terbatas dicapai. Ketiga,
evaluasi dilakukan dari sisi input,
proses, dan produk, serta by product nya. Keempat, evaluasi
kebijakan dilakukan untuk mencapai akuntabilitas dengan beberapa tingkatan.
Secara minimal, paling tidak evaluasi harus mencapai akuntabilitas
teknis/administratif, strategis/manajerial, legal, politik dan moral, sembari
menggagas bahwa kebijakan publik yang dibuat kelak harus dipertanggungjawabkan
kepada Yang Maha Kuasa yang juga memberi kesempatan untuk memegang kekuasaan
didunia sebagai pertanggungjawaban kebijakan publik.
Pengganjaran
Setiap
kebijakan publik harus dan wajib untuk dinilai. Penilaian dilakukan melalui
evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga tersebut, lembaga diatasnya,
lembaga pengawas, dan/atau masyarakat atau publik. Setelah penilaian, maka hal
selanjutnya yang dilakukan adalah diganjar. Jika berhasil diberikan insentif (reward)
dan jika gagal diberikan hukuman (punishment). Ganjaran tentu tidaklah
sederahana yang diperkirakan, karena ganjaran bergerak pada lima jenjang;
1.
Etika: dengan hukuman terberat adalah social punishment berupa
pengucilan dan pendiskreditan secara sosial.
2.
Politik: dengan hukuman terberat adalah impeachment.
3.
Hukum: dengan hukuman terberat adalah penjara dan/atau denda.
4.
Manajemen: dengan hukuman terberat adalah pemberhentian dari
jabatan manajemen.
5.
Teknis/finansial: dengan hukuman terberat mengganti kerugian.
Konsep pengganjaran menjadi sebuah solusi final untuk mengendalikan
kebijakan agar dapat menccapai tujuannya. Terdapat model-model evaluasi
kebijakan yang tidak diikuti oleh hadiah jika berprestasi, atau sanksi jika
gagal. Adapun kebijakan tertentu yang mengandung sanksi biasanya hanya untuk
masyarakat, khususnya pelaku usaha atau korporasi. Jika tidak memenuhi aturan
maka akan dikenakan sanksi. Namun tidak ada kriteria sanksi untuk organisasi
publik yang tidak berprestasi. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada kebijakan
yang memberikan insentif jika kebijakan dilaksanakan dengan baik dan perform.
Kebijakan di indonesia masih bersifat hukum semata yang hanya melihat kesalahan
dan kemudian hukum.
Revisi
Kebijakan
Ketika
evaluasi kebijakan menghasilkan kesimpulan, maka ada kebijakan yang dihentikan
dan ada pula yang dilanjutkan. Ketika dilanjutkan maka biasanya terdapat revisi
dalam kebijakan tersebut. Revisi dilakukan karena kebijakan itu hidup sebab ada
pada masyarakat yang hidup. Perubahan diperlukan untuk adaptasi dan antisipasi.
Paul Sabatier dan Hank C.Jenkins-Smith (1993) menyebut revisi kebijakan sebagai
policy change yang merupakan proses yang terkait sebagai akibat
interaksi dari para pihak yang berkoalisi. Proses yang dilakukannya sangat
pelik karena melibatkan sub-sub sistem didalam proses kebijakan publik.
Sedangkan menurut pemahaman Grindle dan Thomas (1980) mengistilahkan revisi
kebijakan sebagai policy reform yang dapat dipahami sebagai bagian yang
sebangun dengan proses perumusan kebijakan. Perbedaannya, revisi kebijakan
harus dimulai dari evaluasi kebijakan. Oleh karena itu, prosesnya dapat disusun
sebagai berikut.
1.
Munculnya isu kebijakan yang memerlukan evaluasi kebijakan
2.
Menangkap isu kebijakan dan membentuk tim evaluasi kebijakan yang
merangkap tim revisi kebijakan
3.
Proses evaluasi kebijakan
4.
Proses revisi kebijakan/penyusunan draf nol
5.
Forum publik I (para pakar kebijakan dan pakar yang berkenan dengan
masalah terkait)
6.
Forum publik II (Instansi pemerintah diluar lembaga pemerintahan
yang merumuskan kebijakan tersebut)
7.
Forum publik III (beneficiaries)
8.
Forum publik IV (seluruh pihak terkait secara luas: tokoh
masyarakat, LSM, asosiasi usaha terkait)
9.
Perumusan draf 1
10.
Diskusi FGD draf 1 dilaksanakan
11.
Perumusan draf 2 (draf final)
12.
Pengesahan (untuk kebijakan yang bukan Undang-Undang) atau proses
legislasi (untuk kebijakan Undang-Undang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar