Kamis, 28 Maret 2019

Evaluasi Program Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)


Evaluasi Kebijakan Program Pemberian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
(Studi Kasus pada Sekolah Dasar di Kabupaten Mamuju Utara)

Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, berbagai program pendidikan telah diluncurkan oleh pemerintah sendiri seperti program wajib belajar 9 tahun, kebijakan pendidikan gratis, pemberian dana bantuan operasional sekolah (Dana BOS) dan masih banyak lagi program-program dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia salah satu dari berbagai program yang telah diluncurkan oleh pemerintah tersebut yang masih berlangsung sampai saat ini adalah pemberian dana bantuan operasional sekolah (Dana BOS). Evaluasi kebijakan yang saya analisis yakni tentang pelaksanaan dari program pemberian dana bantuan operasional sekolah (Program BOS) pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara, dengan melihat atau mengukur evaluasinya menggunakan Model Evaluasi Daun (William N.Dunn 1998: 608-610) yang menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik seperti evektifitas, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan.
Definisi dari dana BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksanaan program wajib belajar. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, Bahwa Biaya Non Personalia adalah biaya untuk bahan atau pelatihan pendidikan habis pakai dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lain-lain. Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia yang diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Dalam buku petunjuk teknis penggunaan dana BOS dan laporan keuangan bantuan operasional sekolah dijelaskan bahwa secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Secara khusus, program BOS bertujuan untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD Negeri sederajat dan SMP Negeri sederajat terhadap biaya operasional sekolah.
Dalam pelaksanaannya, dana BOS dibeberapa wilayah mengalami permasalahan misalnya dalam hal pencapaian tujuan dari dana BOS itu sendiri. Maka dari itu, saya melakukan evaluasi terhadap program BOS di sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara dengan melihat kriteria-kriteria evaluasi yang digunakan dalam mengukur proses evaluasi antara lain:
·      Kriteria efektifitas
Efektifitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Dalam evaluasi yang dilakukan efektifitas digunakan untuk melihat sejauh mana realisasi dari tujuan program BOS itu sendiri yang ada pada SD di Kabupaten Mamuju Utara. Adapun indikator yang digunakan dalam melihat efektifitas program BOS pada SD di Kabupaten Mamuju Utara ialah sejauh mana pencapaian tujuan program BOS, realisasi perencanaan kegiatan dan anggaran sekolah, usaha dalam sosialisasi program BOS dan pengawasan dalam program BOS.
Indikator pertama, tujuan dari program BOS yakni pembebasan pungutan bagi siswa-siswi SD sederajat sudah tercapai, dimana hingga saat ini sejak adanya dana BOS para siswa tidak dipungut biaya lagi dalam operasional sekolah sebagaimana yang diatur dalam juknis BOS. Indikator kedua yakni proses perencanaan rencana kegiatan anggaran sekolah (RKAS) sudah terealisasi dengan baik, dimana proses penyusunan RKAS disusun bersama antara pihak sekolah dengan para orang tua serta pihak yang terkait dalam penyusunan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah untuk tahun ajaran selanjutnya, sehingga tercipta sinergitas yang cukup baik dalam operasional dibeberapa sekolah. Indikator ketiga, usaha sosialisasi yang dilakukan dalam pelaksanaan program BOS juga terealisasi dengan baik yang dilakukan dalam bentuk rapat, pertemuan dan dibeberapa sekolah sudah terpasang spanduk yang mengajak masyarakat untuk menyekolahkan anaknya karena sekolah sudah tidak dipungut biaya lagi. Indikator keempat, pengawasan terhadap program BOS menunjukkan hasil yang kurang maksimal atau dengan kata lain pelaksanaannya belum tercapai maksimal, karena terkendala masalah dana dan operasional yang tidak ada.

·      Kriteria kecukupan
Kecukupan berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai dan kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif  kebijakan dengan hasil yang diharapkan. Adapun indikator yang digunakan adalah melihat ketersediaan dana atau alokasi dana yang ada terhadap jumlah siswa yang ada disekolah dan program kegiatan yang telah direncanakan sekolah. Untuk ketersediaan dana terhadap kebutuhan operasional untuk sekolah yang jumlah muridnya tidak terlalu banyak masih perlu diperhatikan lagi. Dan hendaknya ada penambahan dan dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional sekolah sebagaimana diatur dala juknis program BOS, karena selain kebutuhan ditiap sekolah yang berbeda besaran dana BOS untuk membiayai komponen tersebut juga berbeda.
·      Kriteria  perataan
Kriteria perataan memfokuskan pada distribusi dari suatu jenis program yang diterapkan, memberikan gambaran akan biaya yang akan didistribusikan secara merata kepada target dengan kategori kelompok yang berbeda. Indikator yang digunakan yakni tingkat kesamaan siswa dalam proses belajar mengajar serta kegiatan sekolah dan tingkat kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan.
Untuk masalah mengenai kesamaan dan kesempatan para siswa dalam memperoleh pendidikan di sekolah mereka sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan karena dari beberapa sekolah yang ada  tidak membeda-bedakan para siswa dalam memperoleh akses pendidikan yang ada disekolah. Dan untuk indikator kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan sudah ada pemberian bantuan dana untuk mereka yang tidak mampu, namun masih ada beberapa sekolah yang belum memberikan bantuan tersebut secara merata untuk setiap tahunnya. Hal itu disebabkan jumlah dana yang terbatas tetapi secara keseluruhan bahwa kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan sudah terealisasi.
·      Kriteria responsivitas
Responsivitas berkenaan dengan seberapa suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi atau nilai kelompok masyarakat. Jika kriteria ini gagal, maka alternatif dari suatu kebijakan dapat dipastikan gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Ada 2 indikator yang digunakan untuk melihat kriteria responsivitas yakni tingkat kepuasan masyarakat dan dampak yang dapat ditimbulkan dalam program BOS di Kabupaten Mamuju Utara. Untuk tingkat kepuasan masyarakat Mamuju Utara menunjukan bahwa rata-rata masyarakat sudah cukup puas dengan adanya program BOS dengan asumsi dari sebagian menganggap bahwa program BOS sangat membantu masyarakat dalam hal biaya pendidikan. Sedangkan untuk dampak dari program BOS ini lebih banyak berdampak pada positif dimana dampaknya antara lain dapat meningkatkan kesadaran dan merubah pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan derajat kesejahteraan dalam hal pendidikan.
·      Kriteria ketepatan
Kriteria ketepatan berbicara mengenai apakah hasil yang dicapai mendatangkan manfaat. Indikator yang digunakan yakni peningkatan angka partisipasi sekolah dan tingkat penurunan jumlah siswa putus sekolah dalam pelaksanaan program BOS pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara menunjukan pencapaian hasil yang baik. Peningkatan angka partisipasi sekolah menunjukan bahwa program BOS telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan tingginya minat para orangtua dalam mendaftarkan anaknya pada sekolah yang ada dibeberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Mamuju Utara. Sedangkan untuk penurunan jumlah siswa yang putus sekolah menunjukan bahaw hampir tidak ada lagi siswa dibeberapa sekolah yang ada di Kabupaten Mamuju Utara yang putus sekolah disebabkan karena masalah biaya semenjak diluncurkannya kebijakan BOS.

Dari penjelasan dengan 5 kriteria diatas menunjukkan bahwa hasil evaluasi terhadap program BOS pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara menemukan bahwa ada kriteria evaluasi yang sudah tercapai dan ada juga yang belum tercapai. Namun sebagian menunjukan bahwa kriteria evaluasi disetiap indikator sudah tercapai. Hal ini menandakan bahwa evaluasi program BOS memperlihatkan hasil yang cukup baik setidaknya untuk saat ini. Walaupun begitu, masih banyak catatan penting yang harus diselesaikan demi keberlanjutan program BOS khususnya di Kabupaten Mamuju Utara, karena bukan tidak mungkin beberapa hal yang kemudian belum maksimal dalam jalannya program BOS tersebut justru akan menjadi masalah besar ke depannya.

Sumber: Muhamad Firyal Akbar. 2016. Evaluasi kebijakan program pemberian dana bantuan operasional sekolah. Jurnal Analisis dan Pelayanan Publik. 2(1).


Senin, 25 Maret 2019

Soal dan Jawaban UTS Evaluasi dan Terminasi Kebijakan


UJIAN TENGAH SEMESTER
Nama
:
Siti Sahati
NIM
:
6661160041
Semester/Kelas
:
VI/A
Mata Kuliah
:
Evaluasi dan Terminasi Kebijakan
Dosen Pengampu
:
Maulana Yusuf, M.Si

INTRUKSI
a.    Kerjakan soal yang  tersedia
b.    Dikumpulkan 1 minggu setelah soal dibagikan.
c.    Kirim via email. Subyek : JAWABAN UTS
SOAL
1.    Uraikan mengapa evaluasi dan terminasi kebijakan harus dilakukan?
Jawab :
Evaluasi kebijakan perlu dilakukan untuk beberapa alasan. Pertama, evaluasi evaluasi memberikan informasi valid dan dapat dipercaya mengenai yang telah dapat penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kriteria kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target tertentu telah dicapai. Kedua, evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan cara mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Selain itu, nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target  dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Ketiga, evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk perumusan masalah dan rekomendasi . informasi tentang tidak memadainya kinerja  kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang  masalah kebijakan. Evaluasi dapat juga menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan cara menunjukan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan digantikan dengan yang lain
Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik (2000:608) menjelaskan bahwa istilah “evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program”. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apprasial), pemberian angka (ratting) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan, dalam arti satuan nilainya. Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa dilakukan evaluasi. Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggung jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menurut Winarno (2008:225) Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaliknya bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik.
Pada dasarnya, kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sabelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih maksud atau  tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.  Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa alasan di lakukannya evaluasi dan terminasi kebijakan adalah sebagai berikut:
·      Untuk mengetahui keberhasilan dari suatu kebijakan. Dengan dilakukannya evaluasi kebijakan maka akan ditemukan informasi mengenai apakah suatu kebijakan yang dijalankan sukses ataukah sebaliknya.
·      Untuk mengetahui efektivitas kebijakan guna mengemukakan penilaian apakah suatu kebijakan mencapai tujuannya atau tidak
·      Untuk menjamin terhindarnya pengulangan kesalahan (guarantee to non-recurrence). Informasi yang memadai tentang nilai sebuah hasil kebijakan dengan sendirinya akan memberikan rambu agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama dalam implementasi yang serupa atau kebijakan yang lain pada masing-masing masa yang akan datang.
·      Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Kegiatan penilaian terhadap kinerja kebijakan yang telah diambil merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pengambil kebijakan kepada publik, baik yang terkait secara langsung maupun tidak dengan implementasi tindakan kebijakan.
·      Untuk mensosialisasikan manfaat sebuah kebijakan. Dengan adanya kegiatan evaluasi dan terminasi kebijakan, maka masyarakat luas khususnya kelompok sasaran dan penerima akan mengetahi manfaat kebijakan secara lebih terukur.

2.    Jelaskan 3 definisi evaluasi dan terminasi kebijakan menurut para ahli!
Jawab :
a.    Menurut William N. Dunn dalam Publik Policy Analisis: An Introduction  (2003: 608-610), istilah evaluasi merupakan salah satu dari proses ataupun siklus kebijakan publik setelah perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring atau pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Pada dasarnya, evaluasi kebijakan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut telah tercapai atau tidak. Tetapi evaluasi tidak hanya sekedar mengahasilkan sebuah kesimpulan mengenai tercapai atau  tidaknya sebuah kebijakan atau masalah telah terselesaikan, tetapi evaluasi juga berfungsi sebagai klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan masalah pada proses kebijakan selanjutnya.  
b.      Menurut Muhadjir dalam Widodo mengemukakan “Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan”. Dalam bahasa yang lebih singkat Jones mengartikan evaluasi adalah “Kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan”. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai “Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak”.40 Hal ini berarti bahwa proses evaluasi tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari proses kebijakan dapat dievaluasi.
c.       Menurut Anderson (1975) Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan.

3.    Uraikan evaluasi kebijakan yang anda teliti berdasarkan model yang anda gunakan! Jelaskan mengapa anda memilih model tersebut!
Jawab :
Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, berbagai program pendidikan telah diluncurkan oleh pemerintah sendiri seperti program wajib belajar 9 tahun, kebijakan pendidikan gratis, pemberian dana bantuan operasional sekolah (Dana BOS) dan masih banyak lagi program-program dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia salah satu dari berbagai program yang telah diluncurkan oleh pemerintah tersebut yang masih berlangsung sampai saat ini adalah pemberian dana bantuan operasional sekolah (Dana BOS). Evaluasi kebijakan yang saya analisis yakni tentang pelaksanaan dari program pemberian dana bantuan operasional sekolah (Program BOS) pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara, dengan melihat atau mengukur evaluasinya menggunakan Model Evaluasi Daun (William N.Dunn 1998: 608-610) yang menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik seperti evektifitas, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan.
Definisi dari dana BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksanaan program wajib belajar. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, Bahwa Biaya Non Personalia adalah biaya untuk bahan atau pelatihan pendidikan habis pakai dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lain-lain. Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia yang diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Dalam buku petunjuk teknis penggunaan dana BOS dan laporan keuangan bantuan operasional sekolah dijelaskan bahwa secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Secara khusus, program BOS bertujuan untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD Negeri sederajat dan SMP Negeri sederajat terhadap biaya operasional sekolah.
Dalam pelaksanaannya, dana BOS dibeberapa wilayah mengalami permasalahan misalnya dalam hal pencapaian tujuan dari dana BOS itu sendiri. Maka dari itu, saya melakukan evaluasi terhadap program BOS di sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara dengan melihat kriteria-kriteria evaluasi yang digunakan dalam mengukur proses evaluasi antara lain:
·      Kriteria efektifitas
Efektifitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Dalam evaluasi yang dilakukan efektifitas digunakan untuk melihat sejauh mana realisasi dari tujuan program BOS itu sendiri yang ada pada SD di Kabupaten Mamuju Utara. Adapun indikator yang digunakan dalam melihat efektifitas program BOS pada SD di Kabupaten Mamuju Utara ialah sejauh mana pencapaian tujuan program BOS, realisasi perencanaan kegiatan dan anggaran sekolah, usaha dalam sosialisasi program BOS dan pengawasan dalam program BOS.
Indikator pertama, tujuan dari program BOS yakni pembebasan pungutan bagi siswa-siswi SD sederajat sudah tercapai, dimana hingga saat ini sejak adanya dana BOS para siswa tidak dipungut biaya lagi dalam operasional sekolah sebagaimana yang diatur dalam juknis BOS. Indikator kedua yakni proses perencanaan rencana kegiatan anggaran sekolah (RKAS) sudah terealisasi dengan baik, dimana proses penyusunan RKAS disusun bersama antara pihak sekolah dengan para orang tua serta pihak yang terkait dalam penyusunan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah untuk tahun ajaran selanjutnya, sehingga tercipta sinergitas yang cukup baik dalam operasional dibeberapa sekolah. Indikator ketiga, usaha sosialisasi yang dilakukan dalam pelaksanaan program BOS juga terealisasi dengan baik yang dilakukan dalam bentuk rapat, pertemuan dan dibeberapa sekolah sudah terpasang spanduk yang mengajak masyarakat untuk menyekolahkan anaknya karena sekolah sudah tidak dipungut biaya lagi. Indikator keempat, pengawasan terhadap program BOS menunjukkan hasil yang kurang maksimal atau dengan kata lain pelaksanaannya belum tercapai maksimal, karena terkendala masalah dana dan operasional yang tidak ada.

·      Kriteria kecukupan
Kecukupan berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai dan kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif  kebijakan dengan hasil yang diharapkan. Adapun indikator yang digunakan adalah melihat ketersediaan dana atau alokasi dana yang ada terhadap jumlah siswa yang ada disekolah dan program kegiatan yang telah direncanakan sekolah. Untuk ketersediaan dana terhadap kebutuhan operasional untuk sekolah yang jumlah muridnya tidak terlalu banyak masih perlu diperhatikan lagi. Dan hendaknya ada penambahan dan dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional sekolah sebagaimana diatur dala juknis program BOS, karena selain kebutuhan ditiap sekolah yang berbeda besaran dana BOS untuk membiayai komponen tersebut juga berbeda.
·      Kriteria  perataan
Kriteria perataan memfokuskan pada distribusi dari suatu jenis program yang diterapkan, memberikan gambaran akan biaya yang akan didistribusikan secara merata kepada target dengan kategori kelompok yang berbeda. Indikator yang digunakan yakni tingkat kesamaan siswa dalam proses belajar mengajar serta kegiatan sekolah dan tingkat kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan.
Untuk masalah mengenai kesamaan dan kesempatan para siswa dalam memperoleh pendidikan di sekolah mereka sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan karena dari beberapa sekolah yang ada  tidak membeda-bedakan para siswa dalam memperoleh akses pendidikan yang ada disekolah. Dan untuk indikator kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan sudah ada pemberian bantuan dana untuk mereka yang tidak mampu, namun masih ada beberapa sekolah yang belum memberikan bantuan tersebut secara merata untuk setiap tahunnya. Hal itu disebabkan jumlah dana yang terbatas tetapi secara keseluruhan bahwa kesempatan siswa tidak mampu dalam mendapatkan bantuan pendidikan sudah terealisasi.
·      Kriteria responsivitas
Responsivitas berkenaan dengan seberapa suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi atau nilai kelompok masyarakat. Jika kriteria ini gagal, maka alternatif dari suatu kebijakan dapat dipastikan gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Ada 2 indikator yang digunakan untuk melihat kriteria responsivitas yakni tingkat kepuasan masyarakat dan dampak yang dapat ditimbulkan dalam program BOS di Kabupaten Mamuju Utara. Untuk tingkat kepuasan masyarakat Mamuju Utara menunjukan bahwa rata-rata masyarakat sudah cukup puas dengan adanya program BOS dengan asumsi dari sebagian menganggap bahwa program BOS sangat membantu masyarakat dalam hal biaya pendidikan. Sedangkan untuk dampak dari program BOS ini lebih banyak berdampak pada positif dimana dampaknya antara lain dapat meningkatkan kesadaran dan merubah pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan derajat kesejahteraan dalam hal pendidikan.
·      Kriteria ketepatan
Kriteria ketepatan berbicara mengenai apakah hasil yang dicapai mendatangkan manfaat. Indikator yang digunakan yakni peningkatan angka partisipasi sekolah dan tingkat penurunan jumlah siswa putus sekolah dalam pelaksanaan program BOS pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara menunjukan pencapaian hasil yang baik. Peningkatan angka partisipasi sekolah menunjukan bahwa program BOS telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan tingginya minat para orangtua dalam mendaftarkan anaknya pada sekolah yang ada dibeberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Mamuju Utara. Sedangkan untuk penurunan jumlah siswa yang putus sekolah menunjukan bahaw hampir tidak ada lagi siswa dibeberapa sekolah yang ada di Kabupaten Mamuju Utara yang putus sekolah disebabkan karena masalah biaya semenjak diluncurkannya kebijakan BOS.

Dari penjelasan dengan 5 kriteria diatas menunjukkan bahwa hasil evaluasi terhadap program BOS pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara menemukan bahwa ada kriteria evaluasi yang sudah tercapai dan ada juga yang belum tercapai. Namun sebagian menunjukan bahwa kriteria evaluasi disetiap indikator sudah tercapai. Hal ini menandakan bahwa evaluasi program BOS memperlihatkan hasil yang cukup baik setidaknya untuk saat ini. Walaupun begitu, masih banyak catatan penting yang harus diselesaikan demi keberlanjutan program BOS khususnya di Kabupaten Mamuju Utara, karena bukan tidak mungkin beberapa hal yang kemudian belum maksimal dalam jalannya program BOS tersebut justru akan menjadi masalah besar ke depannya.
Sumber: Muhamad Firyal Akbar. 2016. Evaluasi kebijakan program pemberian dana bantuan operasional sekolah. Jurnal Analisis dan Pelayanan Publik. 2(1).

Kamis, 21 Maret 2019

Pengendalian Kebijakan Publik


PENGENDALIAN KEBIJAKAN

Dalam buku kebijakan publik, sebagian besar pembahasannya yaitu mengenai evaluasi kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai sebuah manajemen, itu berarti bahwa dalam konteks ini dapat diartikan bahwa kebijakan publik harus dikendalikan. Kebijakan publik yang harus dikendalikan lebih tepat disebut pengartian dari pengendalian pubik dibandingkan dengan evaluasi kebijakan. Sebagai sebuah hal yang harus dikendalikan, pengendalian kebijakan memiliki tiga dimensi yang diantaranya sebagai berikut
1.    Monitoing kebijakan, atau pengawasan kebijakan
Pengawasan dapat berupa pemantauan dengan cara menilai pelaksanaan untuk tujuan pengendalian pelaksanaan, agar pelaksanaan akan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
2.    Evaluasi kebijakan
Merupakan sebuah penilaian terhadap pencapaian pelaksanaan atau kinerja dari sebuah implementasi.
3.    Pengganjaran kebijakan
Pengganjaran dalam kebijakan publik termasuk di dalamnya adalah penghukuman. Bermakna insentif atau disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan sebelumnya. Pengganjaran dalam hal ini menjadi sangat penting karena sebuah monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan tanpa memberikan sebuah balasan atau ganjaran termasuk hukuman di dalamnya tidak akan berarti apa-apa.

Ketiga dimensi di atas merupakan inti dari pengendalian kebijakan, karena tanpa adanya ketiga hal di atas maka kebijakan akan lari seperti diumpamakan sebuah truk besar yang lari kencang tak terkendali.

Monitoring Kebijakan
Menurut Kunarjo dalam Glosari Pembiayaan Pembangunan (1991), monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus-menerus untuk memahami perkembangan bidang-bidang tertentu dari pelaksanaan tugas atau proyek yang sedang dilaksanakan. Terdapat dua jenis teknik monitoring, yaitu on desk dan on site. On desk yaitu dengan mencermati laporan-laporan perkembangan, sedangkan on site yaitu dengan cara turun ke lapangan memeriksa secara langsung. Terdapat pula cara ketiga, yaitu melakukan keduanya on desk dan on site. Dalam hal ini tujuan monitoring adalah untuk:
1.    Menghindarkan terjadinya penyimpangan/kesalahan/keterlambatan, sehingga dapat diluruskan atau diperbaiki
2.    Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi yang sesuai
3.    Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju ke arah kinerja kebijakan yang dikehendaki.

Sebagai sebuah standar pemantauan, masing-masing lembaga mengembangkan lebih lanjut model yang sesuai dengan kebijakan yang sedang dilaksanakan. Model monitoring, secara umum digambarkan sebagai sekuensi antara perencanaan dan evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut sebagai “bagian-bagian” dari evaluasi. Artinya monitoring dalam evaluasi suatu kebijakan dilaksanakan setiap proses tahapan kebijakan yaitu mulai dari perencanaan hingga pencapaian.
Pengawasan yang baik adalah pengawasan yang dapat secara langsung menjadi evaluasi. Artinya, evaluasi menjadi hasil dari monitoring-monitoring yang telah dilakukan. Jadi antara monitoring dengan evaluasi terjadi sebuah sinergi sehingga suatu pelaksanaan tidak perlu melakukan pengulangan atau perbaikan terhadap sebuah proses dan pekerjaan. Dampak dari tidak dapat membedakan antara monitoring dan evaluasi yaitu: pertama, dalam birokrasi sering dipahami istilah monev (monitoring evaluasi), akibatnya setiap monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal tidak selalu seperti itu; kedua, pelaksana monitoring adalah juga pelaksana evaluasi. Padahal, baiknya berbeda. Bahkan evaluasi khusus, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga terkait, agar hasil evaluasi yang dilakukan fair; dan ketiga, yaitu dampak dari adanya monev maka ukuran monitoring dan evaluasi disamakan.

Yang sering kali terlupa dalam monitoring adalah 4 “Faktor X”, yaitu lupa:
1.    Memastikan kebijakan setelah selesai dirumuskan dan sudah selesai disosialisasikan
2.    Memastikan masyarakat atau publik mengetahui dan mengerti kebijakann yang diimplementasikan
3.    Memastikan pelaksananya cakap dan siap serta professional
4.    Memastikan pemonitornya mengerti monitoring dan bagaimana cara monitoring yang baik.

Evaluasi Kebijakan
Bagian ini membahas evaluasi kebijakan untuk tujuan khusus pengendalian, bahwa evaluasi kebijakan fokus kepada pemahaman bahwa sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Begitu juga dengan kebijakan bahwa harus selalu terus diawasi, dan salah satu mekanisme dari pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan disarankan untuk dilaksanakan dengan cara komparasi, dengan pilihan-pilihan:
1.    Komparasi dengan tujuan
2.    Komparasi dengan historical
3.    Komparasi dengan best practices

Tujuan pokok dari evaluasi bukan untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. artinya, evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan.  Adapun ciri dari evaluasi kebijakan adalah:
1.    Tujuannya adalah menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan
2.    Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelansana kebijakan, dan target kebijakan
3.    Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi
4.    Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau atas dasar kebencian
5.    Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.

Model Evaluasi Dunn
Menurut William N. Dunn (1999:608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran, pemberian angka, dan penilaian. Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi member informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. artinya, meski berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan publik, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik. Secara umum, Dunn menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik yaitu berdasarkan tipe kriteria evaluasi diantaranya yaitu: (1) efektivitas, (2) efisiensi, (3) kecukupan, (4) perataan, (5) responsivitas, dan (6) ketepatan.
Secara spesifik Dunn (1999:612-634) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis. Evaluasi semu tujuannya yaitu untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan. Selain itu tujuan evaluasi formal yaitu untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan. Dan evaluasi keputusan teoritis memiliki tujuan untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.

Model Evaluasi Lester & Steward
Untuk pembanding, James P. Lester dan Joseph Steward Jr (2000), mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi, diantaranya: (1) evaluasi impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil atau pengaruh dari implementasi kebijakan; (2) evaluasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki; dan (3) evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi dari berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.

Model Evaluasi House
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi model evaluasi menjadi delapan model, yaitu sebagai berikut:
No.
Model
Indikator
1.
Sistem
Efisiensi
2.
Perilaku
·         Produktivitas
·         Akuntabilitas
3.
Formulasi Keputusan
·         Keefektivan
·         Keterjagaan Kualitas
4.
Tujuan-bebas (goal free)
·         Pilihan Pengguna
·         Manfaat Sosial
5.
Kekritisan Seni (art criticism)
·         Standar yang semakin baik
·         Kesadaran yang semakin meningkat
6.
Review Profesional
Penerimaan Profesional
7.
Kuasi-legal (quasi-legal)
Resolusi
8.
Studi Kasus
Pemahaman atas diversitas

Ada pula pemilihan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:
1.    Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dan hasilnya), di satu tempat yang sama atau berlainan
2.    Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut
3.    Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis labolatorium
4.    Evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot)

Model Evaluasi Anderson
Dalam model ini terbagi menjadi tiga tipe evaluasi kebijakan menurut James Anderson (2011:276-278), sebagai berikut:
1.    Evaluasi kebijakan publik dipahami sebagai kegiatan fungsional yang selalu melekat pada setiap kebijakan publik
2.    Evaluasi yang memfokuskan kepada proses bekerjanya kebijakan publik
3.    Evaluasi sistematis untuk mengukur kebijakan atau negukur pencapaian dibanding target yang ditetapkan.

Di sisi lain, Edrwad A. Suchman lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1.    Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2.    Analisis terhadap masalah
3.    Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4.    Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5.    Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain
6.    Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak (dikutip Winarno, 2002:169).

Model Evaluasi Wibawa
Menurut Wibawa dkk. (1993:10-11), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu:
No.
Fungsi
Keterangan
1.
Eksplansi
·         Dapat diketahui realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas.
·         Evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan
2.
Kepatuhan
·         Dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku sesuai dengan standard an prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan
3.
Audit
·         Dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru kebocoran atau penyimpangan
4.
Akunting
·         Dapat diketahui apa akibat atau implikasi sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut.

Model Evaluasi Bingham dan Felbinger
Bingham dan Felbinger (dalam Lester & Steward, 2000) membagi evaluasi kebijakan menjadi tiga empat jenis, yaitu:
1.    Evaluasi proses, yang focus kepada bagaimana proses implementasi dari suatu.
2.    Evaluasi impak, yang memberikan focus kepada hasil akhir dari suatu kebijakan.
3.    Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang direncanakan dalam kebijakan pada saat dirumuskan.
4.    Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau temuan evaluasi dari berbagai kebijakan yang terkait.

Model Evaluasi Howlet dan Ramesh
Howlet dan Ramesh (1995) mengkelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu:
1.    Evaluasi administrative, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administrasi- anggaran, efisiensi, biaya- dari proses kebijakan di dalam pemerintah, berkenaan dengan, yaitu berkenaan dengan:
a.    Effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan
b.    Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan oleh kebijakan
c.    Eduquacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan
d.   Efficiency evaluation, yang menilai biaya program, dan memberikan penilaian tentang kefektivan biaya tersebut
e.    Process evaluations, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program
2.    Evaluasi jusdisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukumndi mana kebijakan diimplementasikan termasuk di dalamnya kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi Negara, hingga hak asasi manusia.
3.    Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konsistuen politik terhadap kebijakan public yang diimplementasikan.

Metode Evaluasi Kuantitatif
 Evaluasi kebijakan adalah tindakan untuk menilai/mengukur keseuaian hasil/produk/output/outcome suatu kebijakan dengan tujuan kebijakan yang sudah ditentukan sebelumnya. Produk evaluasi kebijakan adalah nilai/skor dampak/impak/capaian/kinerja/ kebijakan kepada public/target kebijakan/objek kebijakan. Hasilnya adalah seleisih (gap) antara tujuan dan capaian, penyebab selisih, dan apa feedback/koreksi/ pembelajaran yang dapat diambil. Untuk disepakati, tujuan umum (setiap) evaluasi (kebijkan) adalah:
1.    Menilai prestasi
2.    Menemukan kesenjangan antara prestasi yang dicapai dan harapan prestasi  yang hendak dicapai
3.    Menemukan pembelajaran untuk perbaikan ke depan.

Bagaimana menilai prestasi? Ada dua metode untuk menilai prestasi, yaitu metode komparasi dan metode non-komparasi. Metode komparasi terdiri atas teknik:
1.    Komparasi dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya (komparasi manajerial)
2.    Komparasi dengan prestasi di masa sebelumnya (komparasi historical)
3.    Komparasi dengan organisasi sejenis yang terbaik (best practions benchmarking)
4.    Komparasi dengan rata-rata kinerja organisasi sejenis (komparasi rerata industri)

Metode non-komparasi yang baisanya menggunakan metode penilaian prestasi berperingkat (rating based performance) mempunyai bebrapa pendekatan, yaitu:
1.    Rating oleh organisasi bersangkutan, yang dilakukan oleh:
a.    Pengawas
b.    Pimpinan
2.    Rating oleh organisasi lain, yang dilakukan oleh:
a.    Tunggal, atau satu organisasi
b.    Multi, atau banyak organisasi

Secara operasional, metode non-komparasi yang biasanya menggunakan metode penilaian prestasi berperingkat (rating based performance) dari berbagai pendekatan tersebut mempunyai beberapa teknik, yaitu:
1.    Penilaian dengan metode SMART
2.    Peniaian dengan metode BSC (cek KRA dan kemudian KPI)
3.    Penilaian dengan metode Malcolm Baldrige for Perfomance of Excellence
4.    Penilaian dengan metode BARS (behaviorally anchored rating scales)
Karena evaluasi adalah pengukuran, perlu diketahui cara pengakurannya. Pada pelaksanannya, metode non-komparasi dari berbagai pendekatan dan teknik tersebut mempunyai beberapa teknik pengukuran sebagai berikut, yaitu:
a.    Penilaian dengan skala tinga tingkat
1)   Pencapaian keseluruhan: luar baisa, dapat diterima, tidak selurunya dapat diterima
2)   Pencapaian sasaran: melampaui, memenuhi, gagal (memenuhi)
3)   Kompetensi: sangat kompeten, kompeten, kurang kompeten
4)   Penyebaran kemampuan: di atas rata-rata, rata-rata, di bawah rata-rata
b.    Penilaian dengan skalam lima tingkat berbasiskan Likert
c.    Penilaian dengan skala empat tingkat, dengan menghilangkan faktor “tengah”, untuk menghilangkan faktor kategori ambigu (menengah) atau katogeri menyakitkan (paling bawah)
d.   Penialain dengan skala enam tingkat
1)   Exceptional performance
2)   Excellence performance
3)   A well balanced performance
4)   Reasonable performance
5)   Uanacceptable performance

 Evaluasi total
Sesungguhnya evaluasi kebijakan public mempunyai empat lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, evaluasi kinerja kebijakan, da evaluasi lingkungan kebijakan. Evaluasi kebijakan berfokus pada 4 hal yakni, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, lingkungan kebijakan, dan kinerja kebijakan. Karena keempat komponen kebijakan tersebutlah yang menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak. Namun demikian, konsep di dalam konsep “evaluasi” sendiri selalu terikut konsep “kinerja”, sehingga evaluasi kebijakan public pada ketiga wilayah bermakna “kegiatan pasca”. Pembedaan ini penting untuk memilahkannya dengan “analisis” (kebijakan). Dari proses kebijakan selalu ada sisi evaluasi kebijakan dari setiap public kebijakan publik. Namun sebagian besar dari kita memahami evaluasi kebijakan sebagai evaluasi atau implementasi kebjakan saja. Sesungguhnya evaluasi kebijakan publik mempunyai tiga lingkup mkna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan.

Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum,evaluasi formulasi kebijakan public berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan public telah dilaksanakan:
1.    Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, karena setiap masaah kebijakan publik yang berlainan;
2.    Mengarah kepada permasalahan yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesmaan dan keterpaduan langkah perumusan;
3.    Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduanlangkah perumusan.
4.    Mendayagunakan sumberdaya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumberdaya waktu dana, manusia dan kondisi lingkungan strategis.

Secara praktis, paling tidak ada tida belas model evaluasi formulasi kebijakan public (model pengamatan terpadu/ mixed scanning dikeluarkan dari daftar), yaitu:
1.        Model Kelembagaan (Institutional)
2.        Model Proses (Process)
3.        Model Kelompok (Group)
4.        Model Elite (Elite)
5.        Model Rasional (Rational)
6.        Model Inkemental (Incremental)
7.        Model Teori Permainan (Game Theory)
8.        Model Pilihan Public (Pubic Choice)
9.        Model Sistem (System)
10.    Model Demokratis
11.    Model Strategis
12.    Model Delebratif

Sederhananya, jika formulasi kebijakan menentukan menggunakan model kelompok, karena  masalah yanh dihadapi akan dapat diselesaikan dengan model kebijakan yang dirumuskan dalam kelompok, maka proses formulasinya pun harus secara model kelompok. Apabila konsep model formulasinya adalah model kelompok, namun prakti formulasinya menggunakan model elite, maka dapat dikatakan bahwa formulasi kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara proses.

Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijkana public adalah bagian yang terpenting dari suatu kebijakan, tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan. Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan public dapat diringkas sebagai berikut:


Model sederhana Evaluasi Implementasi

Evaluasi Kinerja Kebijakan
Penilaian kinerja menjadi isu penting dalam kebijakan publik. Alasan pertama, karena kebijakan dibuat untuk suatu tujuan. Karena itu, kebijakan harus dinilai sejauh mana ia mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Di sini kita memasuki alasan kedua, bahwa pengukuran kinerja menentukan kemana kebijakan akan dibawa. Terdapat penilaian kinerja kebijakan yang berkenan dengan:
1.    Dimensi hasil
2.    Dimensi proses pencapaian hasil dan pembelajaran
3.    Dimensi sumber daya yang digunakan (efiseinsi dan efektivitas)
4.    Dimensi keberadaan dan perkembangan organisasi
5.    Dimensi kepemimpinan dan pembelajaran

Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Istilah environment mempunyai padanan kata surrounding yaitu everything that is around of near; the conditions that affect the development yang berasal dari kata environs yang berarti the area surrounding a place (Oxford Dictionary, 2005 (1948): 511-2; lingkungan adalah surrounding around, a ring round, encircle, circumstances, envelope, enclose (Oxford Dictionary on Historical Princiles, Vol I A-M, 1973 (1933): 667). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun dipahami sebagai keadaan sekitar yang mempengaruhi (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 830).
Seringkali dikatakan karyawan atau staf adalah lingkungan internel. Sesungguhnya “mereka” bukan lah lingkungan organisasi, melainkan komponen organisasi. Lingkungan adalah segala sesuatu yang bukan komponen organisasi.
Sebagaimana tentang “Kebijakan dan Lingkungan,” maka dapat dipahami bahwa lingkungan kebijakan terdiri dari delapan konteks, yaitu:
1.    Politik
2.    Budaya dan nilai-nilai
3.    Ekonomi
4.    Teknologi
5.    Sosial dan demografi
6.    Sejarah
7.    Alam (iklim)
8.    Kebijakan lain

Kedelapan konteks lingkungan tersebut mempengaruhi kebijakan publik melalui dua institusi, yaitu kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Jadi, lingkungan selalu bermakna “eksternal”. Evaluasi kebijakan merujuk kepada segala sesuatu di luar kebijakan, baik rumusan (dan proses perumusannya), implementasi, dan kinerja kebijakan. Konteks “lingkungan” dikedepankan karena perubuahan yang terjadi hari ini dan di masa depan adalah perubahan pada volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini sangat mencemaskan, karena kita banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat, mendadak sudah menjadi usang karena perubahan. Evaluasi ini sendiri terbagi menjadi dua yaitu, evaluasi lingkungan formuasi kebijakan dan evaluasi lingkungan implementasi kebijakan. Evaluasi lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan sebuat deskripsi bagaimana lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan seperti itu. Evaluasi lingkungan implementasi kebijakan berkenaan dengan faktor-faktor lingkungan apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil diimplementasikan. Jadi, pada prinsipnya evaluasi lingkungan kebijakan publik memberikan sebuah deskripsi yang jelas bagaimana konteks kebijakan dirumuskan dan konteks kebijakan diimplementasikan.

Praktik Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan berbeda dengan penelitian kebijakan, karena sifatnya strategis, dan bukan akademis. Untuk itu, disarankan langkah-langkah praktik evaluasi kebijakan sebagai berikut:
1.    Mempersiapkan rencana evaluasi
2.    Membentuk tim evaluasi.
3.    Proses penyusunan rencana kerja
4.    Proses evaluasi kebijakan.
5.    Pelaporan

Jenjang Evaluasi Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan di depan, terpapar beberapa jenjang dalam kebijakan publik, yang disampaikan secara beruntutan sebagai berikut:
1.    Kebijakan
2.    Program
3.    Proyek
4.    Kegiatan
Evaluasi pada jenjang kebijakannya: UU, PP, Perpres, Perda, Kepmen, dan seterusnya, berkenaan dengan formalisasi misi lembaga, visi pemimpin, dan strategi tim manajemen. Yang dievaluasi adalah: apakah rumusan berisi strategi yang terbaik untuk mencapai visi?
Evaluasi pada jenjang programnya: program pembangunan tertentu, berkenaan dengan klusterisasi strategi menjadi bagian-bagian yang kepadanya dilekatkan anggaran. Evaluasinya adalah: apakah klusterisasi sudah sesuai dan anggaran sesuai dengan kebutuhan per kluster?
Evaluasi pada jenjang proyeknya: proyek pembangunan tertentu, yaitu berkenaan dengan klusterisasi program menjadi bagian-bagian yang dilekatkan pelaksanaanya (who doing what).  Evaluasinya adalah: apakah klusterisasi who doing what sudah sesuai dengan “tupoksi” dan kapasitas pelaksana.
Evaluasi pada jenjang kegiatannya: Pelaksanaan kegiatan pembangunan tertentu, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan dari setiap program di lapangan sesuai dengan rincian pekerjaan yang sudah dibuat. Evaluasinya adalah: apakah pekerjaan diselenggarakan sesuai rincian dan diselenggarakan secara efisien?

Evaluasi di Indonesia
Dengan diterbitkannya PP No.39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, telah membuat isu evaluasi kebijakan menjadi perhatian yang sangat penting di Indonesia. Dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa permasalahan diantaranya; Pertama, secara konsep yaitu pengendalian pembangunan karena evaluasi merupakan bagian dari pengendalian. Kedua, Pasal 1 ayat (1) (2) (3) menyebutkan tiga isu penting dalam kebijakan yaitu pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Ketiga, kebingungan membedakan antara “program” dengan “kebijakan”. Pasal 1 ayat 22 menjelaskan bahwa keluaran adalah barang/jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Keempat, kebingungan membedakan “efektivitas” “kemanfaatan” “keluaran” dan “hasil”. Bappenas telah memiliki konsep standar yakni keluaran (output), kemanfaatan (outcome) dan hasil mencakup keluaran dan kemanfaatan. Kelima, kebingungan memahami konsep “evaluasi” yakni sebuah kegiatan pasca kegiatan. Menilai sebuah kegiatan yang telah selesai dilaksanakan. Istilah “Evaluasi” yang digunakan “pada saat pelaksanaan” bukanlah evaluasi itu sendiri, melainkan pengawasan yang didalamnya terdapat tugas penilaian.
Evaluasi senantiasa dilakukan pasca implementasi, karena kinerja ada setelah implementasi selesai. Tidaklah fair jika evaluasi dilakukan sebelum pekerjaan selesai. Evaluasi yang disarankan adalah evaluasi yang menggunakan “taktik” dalam penyelesaian masalahnya. Jadi tiga bulan sebelum evaluasi, dilakukan “pra-evaluasi” agar proses evaluasinya sendiri dapat dilakukan dengan lebih cepat. Karena hasil evaluasi dengan segera akan digunakan sebagai materi perencanaan periode atau tahap selanjutnya. Bagi indonesia, model yang disarankan adalah mulai mengembangkan penilaian antara evaluasi yang bersifat teknis. Namun demikian, jika Bappenas tidak dikehendaki sebagai agen evaluasi, Bappenas telah menjadi agen perencanaan, maka peran evaluasi dapat dilakukan oleh agen yang bersifat khusus yang dimasa lalu bernama sekretaris pengendalian operasional pembangunan yang melekat kepada kantor kepresidenan.

Evaluasi dan Good Governance
Dari sisi akuntabilitasnya, evaluasi kebijakan merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan good governance. Dengan evaluasi kebijakan, pemerintah dapat mempertanggung jawabkan dirinya dalam konteks ketata kelolaan yang baik. Evaluasi kebijakan perlu dilaksanakan secara memadai dari sisi dimensi kebijakan publik, untuk mendapatkan gambaran terbaik dimana terjadi kemajuan dan di mana ada kemandegan. Hal ini merupakan sisi fairness dalam good governance. Panduan utama untuk menilai suatu evaluasi itu baik dan bisa dipertanggungjawabkan, maka dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni; Pertama, evaluasi digunakan pada keempat dimensi kebijakan publik. Kedua, evaluasi dilakukan dengan tujuan melihat sejauh mana tujuan yang dikehendaki oleh kebijakan tujuan intervensi secara terbatas dicapai. Ketiga, evaluasi dilakukan dari  sisi input, proses, dan produk, serta by product nya. Keempat, evaluasi kebijakan dilakukan untuk mencapai akuntabilitas dengan beberapa tingkatan. Secara minimal, paling tidak evaluasi harus mencapai akuntabilitas teknis/administratif, strategis/manajerial, legal, politik dan moral, sembari menggagas bahwa kebijakan publik yang dibuat kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Kuasa yang juga memberi kesempatan untuk memegang kekuasaan didunia sebagai pertanggungjawaban kebijakan publik.

Pengganjaran
Setiap kebijakan publik harus dan wajib untuk dinilai. Penilaian dilakukan melalui evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga tersebut, lembaga diatasnya, lembaga pengawas, dan/atau masyarakat atau publik. Setelah penilaian, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah diganjar. Jika berhasil diberikan insentif (reward) dan jika gagal diberikan hukuman (punishment). Ganjaran tentu tidaklah sederahana yang diperkirakan, karena ganjaran bergerak pada lima jenjang;
1.    Etika: dengan hukuman terberat adalah social punishment berupa pengucilan dan pendiskreditan secara sosial.
2.    Politik: dengan hukuman terberat adalah impeachment.
3.    Hukum: dengan hukuman terberat adalah penjara dan/atau denda.
4.    Manajemen: dengan hukuman terberat adalah pemberhentian dari jabatan manajemen.
5.    Teknis/finansial: dengan hukuman terberat mengganti kerugian.

Konsep pengganjaran menjadi sebuah solusi final untuk mengendalikan kebijakan agar dapat menccapai tujuannya. Terdapat model-model evaluasi kebijakan yang tidak diikuti oleh hadiah jika berprestasi, atau sanksi jika gagal. Adapun kebijakan tertentu yang mengandung sanksi biasanya hanya untuk masyarakat, khususnya pelaku usaha atau korporasi. Jika tidak memenuhi aturan maka akan dikenakan sanksi. Namun tidak ada kriteria sanksi untuk organisasi publik yang tidak berprestasi. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada kebijakan yang memberikan insentif jika kebijakan dilaksanakan dengan baik dan perform. Kebijakan di indonesia masih bersifat hukum semata yang hanya melihat kesalahan dan kemudian hukum.

Revisi Kebijakan
Ketika evaluasi kebijakan menghasilkan kesimpulan, maka ada kebijakan yang dihentikan dan ada pula yang dilanjutkan. Ketika dilanjutkan maka biasanya terdapat revisi dalam kebijakan tersebut. Revisi dilakukan karena kebijakan itu hidup sebab ada pada masyarakat yang hidup. Perubahan diperlukan untuk adaptasi dan antisipasi. Paul Sabatier dan Hank C.Jenkins-Smith (1993) menyebut revisi kebijakan sebagai policy change yang merupakan proses yang terkait sebagai akibat interaksi dari para pihak yang berkoalisi. Proses yang dilakukannya sangat pelik karena melibatkan sub-sub sistem didalam proses kebijakan publik. Sedangkan menurut pemahaman Grindle dan Thomas (1980) mengistilahkan revisi kebijakan sebagai policy reform yang dapat dipahami sebagai bagian yang sebangun dengan proses perumusan kebijakan. Perbedaannya, revisi kebijakan harus dimulai dari evaluasi kebijakan. Oleh karena itu, prosesnya dapat disusun sebagai berikut.
1.        Munculnya isu kebijakan yang memerlukan evaluasi kebijakan
2.        Menangkap isu kebijakan dan membentuk tim evaluasi kebijakan yang merangkap tim revisi kebijakan
3.        Proses evaluasi kebijakan
4.        Proses revisi kebijakan/penyusunan draf nol
5.        Forum publik I (para pakar kebijakan dan pakar yang berkenan dengan masalah terkait)
6.        Forum publik II (Instansi pemerintah diluar lembaga pemerintahan yang merumuskan kebijakan tersebut)
7.        Forum publik III (beneficiaries)
8.        Forum publik IV (seluruh pihak terkait secara luas: tokoh masyarakat, LSM, asosiasi usaha terkait)
9.        Perumusan draf 1
10.    Diskusi FGD draf 1 dilaksanakan
11.    Perumusan draf 2 (draf final)
12.    Pengesahan (untuk kebijakan yang bukan Undang-Undang) atau proses legislasi (untuk kebijakan Undang-Undang)