Senin, 24 Oktober 2016

Prinsip-prinsip dan Metode Peningkatan Kualitas Akidah/Akidah Akhlak

PRINSIP-PRINSIP DAN METODE PENINGKATAN KUALITAS AKIDAH


A.  Pengertian Aqidah Islam
Dalam kamus al-munawwir secara etimologis aqidah berakar dari kata عَقِيْدَةًيَعْقِدُعَقَدَ berarti simpul, ikatan, perjanjian yang kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata عَقَدٌ dan عَقِيْدَة adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Sedangkan menurut sumber lain kata aqidah yang kini sudah menjadi bagian dari kosakata bahasa indonesia, berasal dari bahasa arab yang memiliki arti “yang dipercayai hati” kata عَقِيْدَة seakar dengan kata ”اَلْعَقْد” yang bermakna menghubungkan menjadi satu dari semua ujung benda sehingga menyatu dan menjadi kuat yang sulit dibuka ikatan tersebut. Alasan digunakan kata aqidah untuk mengungkapkan makna kepercayaan atau keyakinan adalah karena kepercayaan merupakan pangkal dan sekaligus merupakan tujuan dari segala perbuatan mukallaf. Menurut Hasan al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-Rasa’il.
اَلْعَقَائِدُ هِيَ الْأُمُوْرُالَّتِي يَـجِبُ أَنْ يُصَـدِّقَ بِهَاقَلْبُكَ وَتَطْمَئِـنَّ إِلَيْـهَا نَفْسُكَ وَتَكُوْنَ يَقِيْـنًاعِنْدَكَ لاَيُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَيُـخَالِطُهُ شَكٌ
 Artinya : “Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengna keraguan-raguan” (Al-Banna.1963;465)

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam aqidah al-mu’min :
اَلْعَقِيْـدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنَ قَضَايَةِالْحَقِّ الْبَدِهِيَّةِ الْمُسْلِمَةِبِالْعَقْلِ والسَّمْعِ وَالْفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْـهَاالْإِ نْسَانُ قَلْبَهُ وَيُشَنِّى عَلَيْـهَاصَدْرَهُ جَازِمًابِصِحَّتِـهَاقَاطِعًابِوُجُوْدِهَا
Artinya : “Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan didalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti”. (al-Jazairy, 1978;21).

Sejalan dengan itu, Mahmud Syaltut (mantan rektor al-azhar mesir) mendefinisikan aqidah islam adalah “suatu sistem kepercayaan dalam islam, yakni sesuatu yang harus diyakini sebelum apa-apa dan sebelum melakukan apa-apa, tanpa ada keraguan sedikitpun dan tanpa ada unsur yang menganggu kebersihan keyakinan” yang disebut dengan “Sesuatu yang harus diyakini sebelum apa-apa” adalah bahwa keyakinan akan keberadaan Allah dengan segala fungsinya untuk kehidupan manusia. Serta kebenaran aturan-aturan yang dibuatnya dan yakin akan adanya para malaikat beserta unsur-unsur lain yang terkumpul dalam rukun iman, harus sudah tertanam saat pertama seorang berikrar menyatakan ke islamannya atau sudah mulai ditanamkan sejak dini yakni sejak dapat mengenal sesuatu dapat membedakan sesuatu dari sesuatu, bagi orang yang menjadi muslim karena kelahirannya. Sedang yang dimaksud dengan “sesuatu yang harus diyakini sebelum melakukan apa-apa” adalah bahwa keyakinan tersebut merupakan dasar pijakan serta tujuan dari segala perbuatannya serta menjadi landasan motivasi dan kekuatan kontrol terhadap semua gerak langkah dalam melakukan perbuatan tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa aqidah adalah iman atau keyakinan, karena itu Aqidah selalu ditautkan dengan rukun iman yang merupakan asas dari seluruh ajaran islam. Dari pengertian tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih proposional.
Pertama, setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indera itu untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing instrumen tersebut pada posisi yang sebenarnya.
Kedua, keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan, sebelum seseorang sampai ke tingkat yaqin, dia akan mengalami lebih dahulu pertama,شَكُّ  yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu ataupun menolaknya, kedua,ظَنُّ  yaitu salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena adanya dalil yng menguatkan, ketiga, غَلَبَةُ الظَّنِّ yaitu cenderung lebih menguatkan salah satu karena sudah meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ketingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.
Ketiga, aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian hal ini mensyaratkan adanya keselarasan dan kesejajaran antara keyakinan yang bersifat lahiriah serta keyakinan yang bersifat batiniah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriah dan batiniah.
Keempat, apabila seorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup  membuang jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya. Karena seorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
Kelima, tingkat keyakinan seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil. Untuk itu keyakinan yang tidak didasarkan pada dalil akan mudah tergoyahkan oleh berbagai tantangan dan problema yang dihadapinya.
Kelima uraian diatas sudah dijelaskan dalam al-quran bahwa manusia yang dilahirkan kedunia ini sudah menyatakan ikatan iman kepada Allah, yaitu pada saat berada di alam azali, yaitu alam yang hanya Tuhan saja yang mengetahuinya. Pernyataan diri meningkatkan keimanan kepada Allah itu selanjutnya dikenal dengan istilah bersyahadat. Hal ini dinyatakan dalam al-quran yang berbunyi :
وَإِذْ أَخَذَرَبُّكَ مِنُ بـَنِىءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّ يَّتـَهُـمْ وَأَشْهَدَ هُمْ عَلَىٰ أَنْــفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّـكُـمْ ۖ قَالُوأبَلَىٰ شَهِدْنَــآ
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) bukankah aku ini Tuhan mu?”  mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Qs.Al-A’raaf, 7:172).

Ikatan aqidah yang dinyatakan dialam azali itu harus terus dipelihara hingga akhir hayatnya. Itulah sebabnya pada saat manusia lahir ke dunia, dianjurkan agar dikumandangkan azan pada telinga kananya dan diiqomatkan pada telinga kirinya. Azan dan iqomat ini pada intinya mengingatkan manusia pada ikatan aqidahnya. Pernyataan kesaksian tersebut selanjutnya diwujudkan dalam ucapan dua kalimat syahadat yang berbunyi :
اَشْهَدُاَنْ لاَاِلَهَ اِلَا اللّٰهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَدَارَسُوْلُ اللّٰهِ
Artinya “Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah”. Disamping itu, sesuai dengan proses dan konsep kejadian manusia yang secara umum terbagi tiga yaitu pra-dunia, dunia dan pasca dunia, maka ada bagian yang tidak dapat dijangkau oleh pasca indera serta imajinasi manusia. Informasi tentang proses dan kemungkinan keadaan kehidupan diluar dunia tersebut. Hanya mungkin diterima dengan sikap percaya dan keyakinan hati bahwa semua informasi tersebut adalah benar.
Seseorang mukmin harus mempercayai alam ghaib yang tidak kasat mata. Demikian pula dengan masalah aqidah ini terutama yang berkaitan dengan iman kepada malaikat, alam ghaib (surga, neraka dan sebagainya) yang kesemuanya itu harus diyakini tanpa harus dibuktikan melalui rekayasa teknologi.
Dengan demikian pula, objek keyakinan hati atau keimanan tersebut pada umumnya adalah sesuatu yang ghaib, yakni sesuatu yang ada namun keberadaanya tidak dapat dijangkau serta diidentifikasi oleh panca indera dan imajinasi manusia kecuali unsur-unsur yang nampak seperti rasul dan kitab suci yang dibawanya yang penekanan kepercayaan bukan pada aspek ada atau tidaknya tapi pada segi sikap untuk menerima segala fungsi dan peranannya untuk kehidupan manusia.

B.  Prinsip-Prinsip Aqidah
Islam mengajarkan setiap manusia wajib menyembah hanya kepada Allah saja. Dengan demikian islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang  harus dijadikan pedoman dalam menjaga aqidahnya agar tetap lurus dan tidak menyimpang dari ajaran islam. Firman Allah swt :
قُلمْ يَـأَهْلَ الْكِتَٰـبِ تَعَالَوْاْ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءِ بَيْنَـنَاوَبَيْنَـكُمْ أَلَّا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْـئَاوَلَايَتَّخِذَيَعْضُنَايَعْضًا أَرْبَابًامِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۚ فَـإِن تَوَلَّوْاْفَقُوااُشْهَدُوأبِـأَ نَّـامُسْلِمُوْنَ ۝
Artinya : Katakanlah (Muhammad)”Wahai Ahli Kitab! Marilah (Kita) menuju kepada satu kalimat (Pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidah menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain Tuhan-Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka) “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim”. (Ali Imran/3 : 64)

Dari ayat ini dapat dijabarkan lebih luas sebagai berikut :
1)       Bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadist (Qs. Al-Najm : 3-4)
2)   Sama dengan aqidah yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul Allah terdahulu (Qs. Al- Anbiya;25)
3)       Meluruskan aqidah yang telah menyimpang (Qs. Al-Baqarah;102)
4)    Menjaga dan memupuk fitrah ketuhanan yang telah ada sejak manusia ditiupkan ruh dalam kandungan (Qs. Al-A’rof;172)
5)      Menjauhkan manusia dari segala bentuk kemusyrikan (Qs.Al-Nisa;48)

Menurut pendapat Syekh Ali Thanthawi “Fitrah dan akal manusia berperan penting dalam masalah aqidah yang yakini seorang”. Pendapat ini dijabarkan dalam kitab; “Ta’rif Am bin Dinil islam, fasal Qowaa’idul ‘Aqaid” maksud dari pendapat tersebut penulis ringkas berikut ini;
Pertama, apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakini adanya, kecuali bila akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu. Misalnya bila saya pertama kali melihat sepotong kayu didalam gelas berisi air putih terlihat bengkok tentu saya akan membenarkannya. Tetapi jika terbukti kemudian hasil penglihatab indera saya itu salah, makka untuk kedua kalinya bila saya melihat yang sama, akal saya akan langsung mengatakan tidak demikian hal yang sebenarnya.
Kedua, keyakinan. Disamping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bisa melalui berita yang diyakini kejujuran sipembawa berita. Banyak hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri tetapi kita meyakini adanya. Misalkan tentang fakta sejarah Daulah Abbasiyah atau Umayyah. Anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang anda terima dari sumber yang dipercaya. Bahkan jika seseorang memperhatikan apa yang diyakini adanya, ternyata yang belum disaksikannya lebih banyak dari yang sudah disaksikan.
Ketiga, anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera mata. Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Oleh karena itu kita tidak dapat memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikan.
Keempat, seseorang hanya bisa mengkhayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya. Khayalan manusiapun terbatas pada apa yang mampu dijangkau inderanya. Manusia tidak akan bisa mengkhayalkan sesuatu yang baru sama sekali. Karena khayalan akan selalu terkait dengan hukum-hukun tertentu (sunatullah) yang telah ditetapkan. Misalnya anda tidak akan bisa mengkhayalkan suara yang nadanya harum, karena keduanya memiliki hukum yang berbeda.
Kelima, akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terkait dengan ruang dan waktu. Akal tidak akan dapat menjangkau sesuatu yang tidak terikat ruang dan waktu. Bisakah akal menjelaskan kapan terjadi suatu peristiwa, jika peristiwa itu tidak terjadi dulu sekarang dan tidak juga pada masa akan datang.
Keenam, iman sebagai fitrah setiap manusia yang terlahir dialam dunia setiap manusia yang hidup didunia memiliki fitrah mengimani adanya pencipta dan pengatur kehidupan (al-kholiq al-mudabbir). Tetapi fitrah itu hanya merupakan potensi dasar milik manusia yang harus dikembangkan dan dipelihara, karena fitrah bisa tertutup oleh bermacam hal yang menjadi daya tarik dalam kehidupan manusia.
Ketujuh, kepuasan tentang hari akhir merupakan konsekuensi logis dari keyakninan tentang adanya Allah. Beriman kepada Allah menuntut adanya sikap penerimaan terhadap sifat-sifat yang dimiliki Allah menurut adanya sikap penerimaan terhadap sifat-sifat yang dimiliki Allah, termasuk sifat “Adil” jika tdak ada kehidupan lain diakhirat bisakah keadilan Allah itu terlaksana. Oleh karena itu iman pada Allah memberikan konsekuensi keimanan adanya alam akhirat setelah berakhirnya kehidupan dialam dunia, sebagai pertanggung jawaban kehidupan manusia dan membuktikan kebenaran janji serta kekuasaan Allah sebagai “al-malik al-yaumuddin”.

C.  Ruang Lingkup Aqidah Islam
Menurut sistematika Hasan Al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah islamiyah adalah :
1)  Ilahiyah yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan illah (Tuhan,Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat Allah, perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan lain-lain.
2)   Nubuwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat dan sebagainya.
3)     Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang  berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, setan, roh dan lain sebagainya.
4)   Sam’iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i, yakni dalil naqli berupa al-quran dan as-sunnah seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan seterusnya.

Disamping sistematika diatas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika Arkanul Iman yaitu :
1)     Kepercayaan akan adanya Allah dan segala sifat-sifat-Nya, yaitu sifat wajib, mustahil dan sifat jaiz serta wujud-Nya yang dapat dibuktikan dengan keturunan dan keindahan alam semesta ini.
2)   Kepercayaan tentang alam ghaib yaitu kepercayaan akan adanya alama yang ada dibalik alam nyata ini, yang tidak bisa diamati oleh alat indera. Demikian pula makhluk-makhluk yang ada didalamnya seperti malaikat, jin, iblis, setan dan ruh.
3) Kepercayaan kepada kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul. Kitab-kitab itu diturunkan Allah kepada para rasul agar dijadikan pedoman hidup masyarakat sesuai dengan zamannya. Dengan berpedoman pada kitab-kitab Allah, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang hak dan yang bathil, serta yang halal dan yang haram.
4)   Kepercayaan kepada para nabi dan rasul yang telah dipilih oleh Allah untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia agar melakukan hal-hal yang baik dan hak
5)  Kepercayaan kepada hari akhir serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada saat itu, seperti ba’ats (bangkit dari kubur), mizan (timbangan amal baik dan amal buruk), pahala, surga dan neraka.
6)  Kepercayaan kepada takdir (qadha dan qadar) Allah. Dengan takdir Allah itulah terciptanya alam dan segala isinya.

D.  Metode Peningkatan Aqidah
Manusia dalam kehidupan ini tidak terlepas dari berbagai macam masalah. Jalan yang ditempuh kadang-kadang datar, kadang-kadang menurun, manusia akan bertemu dengan nikmat dan bencana, bahagia dan sengsara dan lain sebagainya. Dalam mengarungi gelombang kehidupan yang demikian, manusia harus mempunyai landasan tempat berpijak, mempunyai tali untuk berpegang. Landasan tempat berpijak itu ialah iman dan iman tersebut juga memerlukan kondisi yang baik agar tetap lurus dan tidak menyimpang bahkan harus mempunyai grafik yang meningkat. Dengan demikian diperlukan kiat-kiat untuk menjaga aqidah tersebut. Dan berikut adalah metode-metode untuk meningkatkan awidah agar tetep kokoh dan tak tergoyahkan.
1)        Memperbanyak membaca al-quran (Qs.Al-Isra;82)
2)        Mendalami ilmu agama dan ilmu lain yang mendukungnya (Qs.Fatir;28)
3)        Banyak melakukan amal shaleh yang sesuai dengan syariah islam (Qs.Al-Hadid;21)
4)        Memperbanyak dzikir baik dzikir qouli maupun amali (Qs.Al-Ro’du;28)
5)        Menghayati keagungan dan kekuasaan Allah melalui ayat-ayat baik qouliyah maupu kauniyah (Qs.Al-Zumar;67)
6)        Memperbanyak ibadah baik mahdhah maupun gharu mahdhah

Disamping kiat-kiat diatas peningkatan aqidah dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid Laa Ilaaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah), tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah dan kebahagiaan di segenap lapangan hanya diperoleh dengan jalan berakhlak mulia.
Didalam Al-Quran disebutkan bahwa iman itu tergambar dari amal atau tergambar dari sifat dan tingkah laku seseorang. Dan kadang-kadang Allah menyebutkan amal pada urutan pertama dan iman urutan kedua, karena itu dapat dikatakan, amal merupakan syarat kebenaran iman seseorang, dan seperti telah disebutkan diatas iman menjadi syarat syahnya amal seseorang. Firman Allah Swt :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّٰلِحَٰتِ وَهُوَمُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًاوَلَاهَضْمًا۝
Artinya : “Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia (dalam keadaan) beriman maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (Qs.Taha/20:112)

E.  Kualitas Aqidah dalam Kehidupan
Sebagai seorang mukmin harus menyadari bahwa keimanan yang ada pada dirinya memiliki pengaruh langsung dalam totalitas kehidupan yang dijalani. Menurut Abu ‘Ala Maududi, “Iman yang benar memiliki pengaruh yang amat menentukan terhadap kesuksesan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya didunia ataupun akhirat”.
a)    Manusia yang beriman tidak mungkin berpandangan sempit dan berakal pendek. Ia percaya kepada Allah Swt sebagai penguasa dan pemelihara alam semesta. Dia tidak akan pernah merasa asing dengan apapun yang ada didunia. Pandangannya menjadi luas, wawasan intelektualnya menjadi lebih terbuka,, pendiriannya bebas seperti layaknya kekuasaan Allah.
b)   Keimanan yang benar dapat mengangkat manusia menuju derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai manusia.
c)     Keimanan yang benar akan dapat mengalirkan kedalam diri manusia, rasa kesederhanaan dan kebersahajaan.
d)  Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar. Ia yakin tidak ada jalan lain untuk mencapai kesuksesan dan keselamatan kecuali denggan kesucian jiwa dan tingkah laku yang baik
e)   Keimanan dapat membuat hati orang-orang beriman menjadi tenang, terisi dengan kepuasan dan optimis untuk menghadapi masa depan
f)     Orang yang beriman tidak akan putus asa atau patah hati dengan keadaan yang dihadapi
g)   Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia. Tidak takut mati dan menyatakan bahwa tidak ada orang lain selain Allah yang dapat mencabut nyawanya.
h)    Keimanan dapat mengembangkan sikap cinta damai dan adil, menghalau rasa cemburu, dengki dan iri hati
i)  Pengaruh yang terpenting dari keimanan adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah.
j)  Keimanan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena itu keimanan menjadi aspek yang pertama dan terpenting untuk menjadi seseorang muslim sejati. Muslim berarti kepatuhan dan ketaatan kepada Allah, kepatuhan kepada Allah tidak mungkin tumbuh dalam diri seseorang jika ia tidak mempunyai keyakinan dan keimanan terhadap kalimat Tauhid tersebut. Atau dengan kata lain tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

2 komentar: