Kamis, 28 Mei 2015

Laporan penelitian pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa | Sosiologi

CONTOH 
LAPORAN PENELITIAN PENGARUH PACARAN
TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA MAN Bayah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar belakang
Pengertian singkat dari pacaran merupakan hubungan antara lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang mempunyai hubungan khusus dan melebihi dari status teman. Biasanya orang-orang banyak yang sudah melakukan hubungan tersebut karena hubungan tersebut telah umum dimana saja. Dengan menulis laporan penelitian ini kami bertujuan untuk meneliti mengenai pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa MAN Bayah yang menggunakan populasi 10 orang anak dari kelas XII IPS 1. kami mengambil tema tersebut karena banyak siswa-siswi terutama pada siswa MAN Bayah yang telah melakukan pacaran di bawah umur. Semoga dengan penelitian ini kami dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Memang tidak dapat dipungkiri bila pacaran merupakan fenomena tersendiri dikalangan remaja. Dan kalaupun dicari satu definisi tersendiri pacaran maka akan sulit. Sebagian ada yang mendifinisikan pacaran adalah ajang dari untuk mendapatkan kepuasan libido seksual, atau pacaran hanya sebagai label ”saya punya pacar dan dapat mendongkrak percaya diri”. Ataukah pacaran adalah suatu hal yang penting karena dengan pacaran kita punya seseorang yang bisa membantu kita dalam mengatasi persoalan hidup dan untuk definisi pacaran tentu akan ada banyak yang lainnya. Di kalangan remaja, seperti yang sedang kami alami saat ini, dorongan untuk mencari jati diri dengan mencoba hal-hal baru amatlah kuat. Dan terkadang jika ‘kelewatan’ bisa merusak akal sehat. Tekanan untuk menjalani masa ‘pacaran’, iming-iming dari orang-orang sekitar, dan siaran media masa-pun turut andil dalam keinginan remaja untuk menjalani sebuah masa ‘pacaran’.
Masa remaja adalah masa yang indah. Banyak hal yang terjadi pada masa transisi remaja dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Satu proses masa yang semua anak manusia telah, sedang dan akan teradi dalam sebuah proses tumbuh kembang remaja. Dunia remaja memang unik, sejuta peristiwa terjadi dan sering diciptakan dengan ide-ide cemerlang dan positif. Namun demikian tidak sedikit juga hal-hal negatif yang terjadi. Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasanya bila ada remaja yang belum punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang lengkap.
1.2     Rumusan masalah
1)      Pengertian Budaya Pacaran ?
2)      Bagaimana membimbing para remaja yang berpacaran agar dapat menerima dampak postif dari berpacaran?
3)      Apa Dampak Positif dan Negatif dari Berpacaran?
4)      Bagaimana  Kiat-Kiat  Menghindari Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Dini?

1.3     Batasan masalah
Mengingat jumlah siswa MADRASAH ALIYAH NEGERI BAYAH ini sangat banyak, kami tidak mungkin menyajikan satu persatu. Agar efektifdan efisien, maka kami membatasi masalah dikelas XII IPS 1 yang berjumalah 32 orang dan diambil sampel 10 orang, agar lebih mudah untuk mengkajinya.

1.4     Hipotesis
Budaya Pacaran adalah trend remaja masa kini dimana para remaja mencari dan mengakui jati dirinya dengan status “Berpacaran”. Saat remaja adalah saat dimana seorang manusia mulai mencari jati dirinya, biasanya dia mencari dalam berbagai hal. Tidak banyak yang tahu apa dampak negatif dan positif dari berpacaran dan tidak banyak yang tahu juga apa pengaruh dampak tersebut dalam prestasi belajar siswa.
Menurut penulis dampak positif berpacaranan ini bisa meningkatkan semangat belajar namun dampak negatifnya bisa menyebabkan hilangnya moral siswa dan membentuk karakter siswa yang buruk. Tidak hanya itu budaya berpacaran sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa dimana saat remaja emosi siswa masih sangat labil dan jika ia merasa terpuruk itu sangat berpengaruh pada gaya belajar dan prestasi siswa.

1.5     Tujuan penelitian
1.    Untuk mengetahui apa itu Pacaran
2.    Untuk mengetahui bagaimana membimbing para remaja yang berpacaran.
3.    Menganalisa Dampak Positif dan Negatif dari Berpacaran
4.     Untuk mengetahui kiat-kiat Menghindari Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Dini
1.6     Manfaat penelitian
1.    Bagi kalangan remaja yang belum mengerti tentang berpacaran dengan baik hal ini dapat di jadikan sebagai masukan dan pengetahuan
2.    Bagi orang tua penelitian ini dapat dijadikan sebagai pencerahan bagaimana membimbing anak-anakanya saat berpacaran yang baik.
3.    Memahami dengan baik dampak positif yang di dapatkan berpacaran saat remaja
4.    Memahami dengan baik dampak negative  yang di akibatkan berpacaran saat remaja dan di harapkan untuk menjauhi dan menghindarinya.
5.    Supaya pembaca lebih mnengutamakan sekolah daripada pacaran.
6.    Adanya sikap saling kerja sama dalam menyelesaikan tugas.
7.    Agar siswa-siswi lebih bersemangat dalam menggapai prestasi belajar yang tinggi.
8.    Media pembelajaran dalam Metodologi Penelitian.
9.    Memperluas pengetahuan penulis tentang berbagai hal mengenai pacaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.





BAB II
LANDASAN TEORI
2.1     Pengertian Pacaran
Definisi yang dibakukan di buku KBBI, kamus resmi bahasa. Buku PIA mengungkap: “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20) Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran. Hubungan yang ‘tetap’ itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berujud apa saja. Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’.
KBBI sebagai sarana awal untuk membantu kita memahami sebuah istilah indonesia, tentu adalah suatu usaha yang baik. Tetapi ketika kita ingin berbicara lebih jauh mengenai istilah itu, maka kembalikanlah definisi istilah itu kepada para ahlinya. Sebagaimana yang juga sering digembar-gemborkan oleh SPPI untuk “merujuk kepada ahlinya”. Jika istilah2 itu digunakan untuk mewakili sebuah fenomena alam, maka para ahli ilmu alam lah rujukannnya. Jika istilah2 yang dimaksud adalah untuk mewakili sebuah fenomena sosial/fenomena kejiwaan, maka para ahli sosiologi atau psikologi yang bisa menjawabnya. Dan jika ada kata2 dalam definisi tersebut yang mesti diperjelas, maka wajib untuk dijelaskan. Misalkan pada “bercintaan” yang seperti apakah yang mungkin halal, dan pada “kekasih tetap” yang bagaimanakah yang disebut halal. Karena didalam Islam jelas, perkara “bercintaan” dan “kekasih tetap” yang dihukumi “halal” itu hanya terjadi, jika telah diawali dengan sebuah proses yang disebut dengan “Pernikahan”.
Jadi, kita tidak hendak menyalahkan “arti” yang telah dijelaskan oleh KBBI dalam hal ini, tetapi justru, dengan merujuk kepada ahlinya bertujuan untuk memperkuat maksud, dan memperjelas duduk perkara yang tercantum didalam KBBI. Dan siapapun yang mencari kebenaran, tentu tidak perlu takut terhadap proses (mengembalikan pengertian kepada para ahli) ini, apalagi bagi seorang SPPI yang “katanya” siap dengan kritikan dsbnya. Kembali ke topik, istilah “pacaran” itu sendiri menurut para ahli mungkin dalam pembahasaannya ada sedikit perbedaan. Tetapi tidak dalam konteks dan realita. Karena setidaknya ada tiga hal yang pasti, bahwa pacaran itu ‘mensyaratkan’ adanya “cinta”, “keintiman” dan “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar”. Mungkin pada “kadar” cinta dan keintiman, masing2 orang boleh jadi berbeda, tetapi masalah “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar” adalah perkara mutlak yang tidak terbantahkan lagi sebagai prasyarat suatu hubungan disebut “pacaran”. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Bahkan jika kita mau jujur, bertanya kepada mereka yang “aktifis” pacaran, sebelum ada kejelasan “status sebagai pacar” maka hubungan yang terjalin antara 2 insan lain jenis itu belum diakui sebagai “Pacaran”. Mungkin ada yang menyebutnya“TTM” atau “HTS” atau “sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”. Terhadap “catatan” yang dibuat oleh SPPI atas definisi yang menjadi rujukan kami, kami pun mencatat beberapa beberapa hal atas “catatan” SPPI tersebut. Terhadap poin :“Gerhana matahari merupakan fenomena alam; pacaran merupakan fenomena sosial. Kedua fenomena ini memiliki sifat yang sangat berbeda, sehingga tidak bisa dianalogikan.”

1. Tidak ada yang hendak menyamakan “gerhana matahari” dan “pacaran”. Bahwa kedua hal ini memiliki kesamaan, itu fakta. Kesamaan itu terletak pada fakta bahwa kedua hal ini mewakili sebuah “fenomena”, hal inilah yang mesti kita pahami terlebih dahulu. Dan untuk mengetahui “fenomena” apa yang terjadi pada “gerhana matahari” atau “pacaran”, maka kita kembalikan kepada definisi yang dibuat oleh para ahli, agar kemudian asumsi-asumsi subjektif bisa kita hindari. Jika fenomena itu adalah fenomena alam maka rujukannya kepada ahli alam (fisikawan, ahli astronomi dsbnya). Dan jika fenomena itu adalah fenomena kejiwaan, atau masyarakat, tentu lebih tepat jika kita merujuknya ke ahli psikologi, atau ahli astronomi, dan seterusnya. Sehingga statement SPPI diatas tidak bisa kita terima.
“Berbeda dengan ilmu eksakta, setiap pakar ilmu non-eksakta (psikologi, sosiologi, dsb) memiliki definisi sendiri-sendiri mengenai istilah kunci yang dikemukakan di karya tulis masing-masing. Definisi sang pakar itu berlaku pada karya tulis yang menyebutkan definisi tersebut, tetapi TIDAK berlaku untuk karya tulis lain, apalagi yang ditulis oleh pakar lain.”

2. SPPI hendak mengajak kita kepada sebuah kondisi yang “relative”. Tetapi ketahuilah sebuah istilah ilmiah tentu bisa diuji keilmiahannya. Apakah sesuai dengan kenyataan, gejala-gejala, dan fakta dilapangan (fenomena) Jika iya, maka definisi tersebut bisa diterima, jika tidak, maka definisi tersebut tidak boleh kita terima. Dalam konteks “pacaran” juga seperti itu, jika anda berasumsi bahwa ada definisi lain dari ahli psikologi yang berbeda dari yang diungkapkan oleh Reiss, kita lihat dimana perbedaannya, dan kita ukur manakah diantara kedua definisi itu yang mendekati kebenaran (lebih kuat). Jadi, asumsi juga harus menyertakan bukti. Jika tidak bisa menyertakan bukti, asumsi tersebut tidak lebih sebagai dugaan yang lemah, dan tertolak.
“Fenomena pacaran yang hendak kita islamisasikan ini berfokus pada Indonesia. Mengapa SPIP ikut-ikutan artikel kompas, merujuk ke buku karya orang Barat? Mengapa tidak merujuk ke definisi baku (standar) yang disusun oleh para pakar dari Indonesia? Apakah SPIP belum tahu bahwa penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu tidak hanya melibatkan ahli bahasa, tetapi juga melibatkan para pakar di bidangnya (termasuk sosiologi dan psikologi)?”

3. Mengenai tim penyusun KBBI, ketahuilah bahwa tim tersebut hanya terdiri dari ahli bahasa saja. Jika diperlukan untuk merujuk kepada ahli tertentu, maka dilakukan secara terpisah, semacam konsultan. Adapun kamus yang menghimpun para ahli dibidangnya, seperti ahli fisika, biologi, kedokteran, dsbnya, maka kamus seperti ini diistilahkan “Kamus Istilah”, sebagai rujukan untuk istilah-istilah ilmiah.
“Tingkat “keintiman” pada pacaran antara budaya Barat dan Timur (termasuk Indonesia) berbeda. Batas keakraban hubungan pacaran pada budaya Timur lebih ketat.”

4. Lebih “ketat”?? Seperti apakah yang dimaksud dengan “ketat” disini?? Satu yang pasti, Barat sudah terbiasa dengan fenomena hubungan lawan jenis pranikah semacam pacaran. Apakah barat juga memaklumi “pacaran” itu pada awalnya?? Saya pikir tidak. Karena banyaknya (orang yang dianggap sebagai) pemuka agama pada waktu itu mencari-cari pembenaran terhadap hal ini, maka yang terjadi, “pacaran” ada dimana-mana, beserta masalah sosial lain yang ditimbulkannya. Apakah ada pemuka agama diBarat yang tidak setuju dengan pacaran??, insyaAllah masih banyak, terutama dari kalangan Islam. Jangan juga diartikan bahwa “tidak setuju” disini adalah pasti dengan cara2 yang keras dan jauh dari sikap lemah lembut. Tetapi cara-cara yang lemah lembut itu jangan sampai jatuh kepada perbuatan mencari-cari pembenaran demi pembenaran.
Bagi mereka yang hidup lebih dahulu dibandingkan dengan remaja-remaja sekarang tentu mengakui bahwa gaya pacaran masa lalu lebih “sopan” dibandingkan dengan gaya masa sekarang. Itu semata-mata karena informasi tentang ‘pacaran’ itu belum terlalu banyak, hal tersebut dicontohkan oleh mereka yang berasal dari kota besar, atau melalui film-film bioskop (contoh film-film yg dibintangi Roy Mar***), selebihnya (bagi yang tinggal dikampung) nilai-nilai agama masih ‘agak’ mewarnai’. Sedangkan diera informasi seperti ini, tidak sulit menemukan ‘keintiman’ dibarat itu seperti apa. Bahkan film-film dan sinetron-sinetron indonesia pun melakukan copy paste dari produk barat untuk mengkampanyekan ‘keintiman’ yang sama. Sehingga tidak benar jika dikatakan ada yang berbeda dengan “keintiman” ditimur dan dibarat. Justru yang menjadi titik perbedaannya adalah, ketika “keintiman” itu dipahami tidak dengan kerangka syariat, maka hal seperti itulah yang akan menjadi petaka.
“5) Perilaku “saling mengakui pasangan sebagai pacar”, yang oleh SPIP diklaim sebagai yang terpenting, TIDAK mutlak berlaku pada fenomena budaya Timur walau sesuai dengan budaya Barat. Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan.”

5. Apakah SPPI sebelum menulis tentang “pacaran ala beliau” itu juga menjelaskan perbedaan antara fenomena budaya Timur dan fenomena budaya Barat?? Tidak pernah. Jika dikatakan ‘Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan’, seharusnya dijelaskan kenapa bisa berbeda?? Secara umum, manusianya sama, dari sumber yang sama, hasratnya juga sama, keinginannya juga sama, dsbnya juga sama baik yang dibarat dan ditimur. Timur dan Barat tidak menjadi sebab bahwa “watak” dan “budaya” orang-orang Timur itu berbeda dengan orang Barat. Orang Barat banyak yang tidak tahu malu, orang Timur juga banyak. Orang Barat banyak yang terbuka, orang Timur juga banyak. Jadi nilai kebenaran haruslah universal, berlaku di Barat dan di Timur. Pada konteks dunia “Pacaran”, apa yang terjadi di Barat sesungguhnya juga terjadi di Timur.
Apakah kemudian para ulama dibarat membolehkan pacaran?? Tidak. Kemudian jika melihat ke timur, katakanlah Indonesia, SPPI menduga “pacaran” itu tidak mutlak mengakui pasangan sebagai pacar, apakah dugaan ini ada buktinya?? Siapa yang berkata dan dimana kita bisa merujuknya?? Tidak ada buktinya kan. Justru faktanya adalah “Pacaran” itu harus mensyaratkan “kedua insan lain jenis” itu untuk saling mengakui sebagai pacar. Karena ngga mungkin ada yang pacaran, rela..jika pacarnya dipacari oleh orang lain??
Jadi, catatan SPPI itu sendiri penuh dengan “catatan”. Ketidakmampuan SPPI untuk memberikan bukti yang meyakinkan atas dugaan2nya tersebut, seringkali menjadikan yang bersangkutan memperlebar dan mengaburkan masalah yang sebenarnya. Sesuatu yang seharusnya dapat secara mudah kita pahami, menjadi sesuatu yang “rumit” dan kabur. Mungkin ketika orang sudah bingung dengan apa yang dibicarakan, baru kemudian diganti dengan apa yang hendak SPPI inginkan. Sehingga tidak perlulah terlalu jauh berbicara tentang “islamisasi pacaran”, jika “pacaran” itu sendiri belum dipahami dengan sebagaimana mestinya.
2.2     Alasan Remaja SMA Pacaran
Pacaran sangat akrab dengan kehidupan remaja. Bisa saja remaja melakukan hubungan pacaran karena adanya tujuan agar bisa bekerja sama untuk menyelesaikan tugas di sekolah. Remaja memiliki  beragam alasan kenapa mereka berpacaran diantaranya pacaran bisa meningkatkan semangat belajar; pacaran diakui mampu menghilangkan kejenuhan atau membuat hidup lebih hidup; pacaran untuk mengetahui pribadi pasangan  yang dicintainya agar kalau menikah tidak perlu ragu-ragu lagi; pacaran pun diyakini bisa membawa rezeki nomplok;menjadikan lebih dewasa; bahkan ada yang mengaku sekadar iseng doang serta pacaran untuk menemukan cinta sejati untuk memilah dan memilih siapa pasangan yang oke.
  Pada perkembangannya pacaran zaman sekarang  merupakan suatu mode, bila seorang belum pernah pacaran bisa dikatakan ketinggalan zaman. Hal itulah yang membuat remaja membangun persepsi bahwa wajibnya pacaran bagi remaja. Pacaran sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses asimilasi menjadi mudah karena lingkup asimilasi menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumulatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui.

2.3     Pengertian Prestasi Belajar Siswa
Prestasi belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajar siswa di sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dilihat dari nilai rapornya yang bagus. Kesuksesan yang diperoleh dan ilmu pengetahuan yang didapat. Dalam kehidupan kita di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak ingin berprestasi, seandainya ada orang yang tidak ingin berprestasi, sebenarnya tidak mempunyai tujuan atau cita-cita hidup. Untuk mencapai prestasi belajar , kita perlu mengubah sikap yang tidak baik menuju pada suatu sikap dan tindakan yang lebih baik. Dalam hal ini kita perlu mempersiapkan diri dan bersedia untuk mengambil resiko demi mencapai prestasi yang cemerlang. Ada beberapa faktor yang perlu ada pada diri kita untuk mencapai prestasi belajar.
Pertama, kita seharusnya memiliki cita-cita. Dengan adanya wawasan, kita akan berusaha secara total mencapai cita-cita itu, sehingga dapat diwujudkan menjadi ssuatu kenyataan. Kedua, kita hendaknya membuang malas, karena sikap malas adalah salah satu musuh dan penghalang kita untuk mencapai pretasi. Prestasi hanya akan dapat diperoleh dengan berusaha dan bukan dengan bermalas-malasan. Oleh sebab itu, kita perlu menanamkan di dalam diri kita sikap rajin berusaha dan ingin selalu mencoba, lebih bi kita menconba sesuatu tetapi gagal, daripada tidak mencoba tetapi merasa gagal dalam berprestasi. Ketiga, `kita haruslah berfikir positif untuk berbuat sesuatu. Setiap teguran dan kritikan perlu dianggap sebagai suatu hal yang positif, kita tidak harus marah atas teguran serta kritikan orang lain. Dari kritikan inilah kita dapat mengetahui antara yang benar dan yang salah untuk dapat dijadikan acuan dalam membangun potensi diri muneju prestasi. Keempat, menempatkan sifat malu sesuai pada kedudukannya. Seandainya kita malu untuk bertanya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, maka apa yang hendak kita capai akan mengalami hambatan. Malu memang harus kita miliki, tetapi hanya dalam hal berbuat sesuatu yang tidak baik serta dilarang oleh ajaran agama. Adapun dalam berbuat sesuatu yang baik justru dapat membuat kita berhasil dalam mencapai prestasi, kita tidak boleh malu.

2.4     Pengaruh Perilaku Pacaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa SMA 
Pengaruh Pacaran terhadap motivasi belajar siswa memang cukup berarti. Ada sebagian orang yang tampak meningkat proses belajarnya saat menjalin hubungan pacaran dengan orang yang dikasihinya. Misalnya saja para siswa yang menjalin hubungan pacaran dengan teman sekelasnya,akan terpicu semangatnya karena merasa gengsi dan malu pada pasangannya jika diketahui hasil belajarnya buruk. Akibatnya siswa ini akan terpicu semangat belajarnya untuk meningkatkan prestasi.Tetapi ada pula remaja yang berpacaran karena ingin dianggap gaul,ujungnya menuju ke arah negatif. Dampak buruk dari pacaran pun tak bisa dihindari,banyak orang yang malas belajar hanya karena pikirannya merasa terganggu dengan hubungan yang dijalaninya. Lebih buruk lagi adalah pacaran untuk anak usia dini, misalnya para pelajar SD, SMP dan juga SMA. Usia remaja adalah usia coba-coba. Tak berlebihan jika agama mengharamkan proses pacaran karena untuk melindungi pemeluknya. Banyak  remaja di usia sekolah terjebak pergaulan bebas yang dimulai dari proses pacaran.
Jangankan memikirkan nasib studinya, terkadang justru harga diri orang tua ikut terkorbankan akibat kelakuan anak. Lalu,seks bebas  mengarah lagi pada penggunaan obat berbahaya, hal pornografi bahkan minuman keras. Akhirnya, harapan  orang tua memiliki anak yang sukses studi tinggallah harapan. Semua berangkat dari proses pacaran yang tidak tepat dijalani oleh sang anak. Untuk melawan pengaruh negatif dari perilaku pacaran  diperlukan  solusi dengan tujuan mencegah maupun mengatasinya. Solusi dalam bentuk preventif (mencegah) yakni melalui peranan orang tua di rumah dan peranan dari sekolah.
Orang tua adalah media pertama bagi remaja untuk mendapatkan pengetahuan atau pendidikan seks. Sosialisasi tersebut sangat membantu remaja dalam keluarga sebelum remaja mendapatkan informasi tentang seksual melalui media massa dan saluran media online yang cenderung distorsif, maka pihak keluarga pertama melakukan sosialisasi pendidikan seksual dengan cara yang tepat. Selain peran orang tua (keluarga), sekolah turut membantu remaja dalam mendapatkan informasi tentang pendidikan seksual melalui kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi tingkat SMA dalam mata pelajaran biologi dan agama sehingga  memungkinkan terjadi proses pendidikan seks secara sehat. Sehingga dengan adanya peranan keluarga dan sekolah tidak lagi bermunculan istilah hamil di luar nikah. Diperlukan pula pendidikan seks (sex education) bersistem dan terarah serta materi yang sesuai dengan usia perkembangannya.

2.5     Dampak positif dan negatif berpacaran
1.    Dampak Negatif
a.    Kekerasan fisik
Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Penyebab kekerasan fisik pada remaja di antaranya kecemburuan, sifat posesif, dan temperamen dari pasangan si anak remaja. Pelaku, misalnya, mengontrol cara berpakaian si anak. Hal itu sebenarnya adalah bentuk kekerasan, yang sering kali dilihat oleh si anak sebagai bentuk perhatian.
b. Kekerasan seksual
Pemerkosaan dalam  pacaran adalah bentuk kekerasan seksual dalam pacaran. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia mengategorikan kekerasan jenis itu sebagai kekerasan dalam pacaran (KDP). KDP secara seksual terjadi ketika seseorang diserang secara seksual oleh orang lain yang dikenal dan dipercaya, seperti teman kencan. Kekerasan seksual dapat juga terjadi saat korban mabuk di suatu pesta, misalnya. Pesta menjadi ajang yang paling mudah bagi pelaku untuk mengincar remaja dengan lebih dahulu memberikan narkoba, kemudian menjadikannya korban kekerasan seksual.
c. Cenderung menjadi pribadi yang rapuh
Anak remaja yang mulai pacaran sejak usia dini lebih banyak mengalami sakit kepala, perut dan pinggang. Mereka juga lebih banyak depresi dibanding rekan seusianya yang belum pernah pacaran. Seseorang, yang mengenal cinta lebih dini cenderung menjadi pribadi yang rapuh, sakit-sakitan, merasa tidak aman dan mudah depresi. contohnya remaja, akan memiliki alarm rasa sakit yang lebih tinggi, terutama jika remaja itu menjalin hubungan yang buruk dengan pasangannya.
d. Kehamilan dan penularan penyakit menular seksual
Anak yang berpacaran di usia dini mengarah pada kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual. Hal itu sangat memungkinkan terjadinya kehamilan dan penularan penyakit menular seksual (PMS). Menurut The Centers for Disease Control (CDC), kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular PMS.
e. Menurunkan konsentrasi
Hal ini terjadi jika remaja telah  mengakhiri hubungan dengan pacarnya sehingga emosinya menjadi labil, konsentrasi menjadi buyar karena terus memikirkan pacarnya sehingga remaja tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang di berikan kepadanya dan mengerjakan ulangan dengan baik sehingga dapat menurunkan prestasi remaja tersebut.
f. Menguras harta
Akan menguras harta, karena orang yang pacaran akan selalu berkorban untuk pacarnya, bahkan uang yang seharusnya untuk ditabung bisa habis untuk membelikan hadiah untuk pacarnya.
g. Tidak setia
Bila dalam berpacaran tidak sesuai dengan yang kita inginkan dan ada orang lain yang memberikan apa yang tidak di berikan oleh pacar kita, selingkuh akan menjadi alternatifnya. Sehingga itu akan menyakiti orang lain.
h. Pembunuhan
Ini dampat negatif pacaran yang paling ekstrim, demi seorang pacar rela berkelahi dengan orang lain dan lebih parah bisa membunuh untuk mendapatkan pujaan hati tersebut.
2.    Dampak Positif
a.    Bisa untuk saling menginggatkan dalam hal-hal positif
b.    Sebagai penyemangat dalam belajar
c.    Bisa menjadi teman curhat
d.   Bisa menjadi orang yang selalu ada dimanampun kita berada.
e.    Mengisi Waktu Luang
f.     Perasaan Aman, Tenang, Nyaman, dan Terlindung
2.6     Pembimbingan Remaja Yang Berpacaran
Bagaimanapun seorang remaja(siswa) yang berpacaran, berpacaran memiliki dampak negative yang lebih banyak di bandingkan dampak postifnya oleh karena itu peranan orang tua dan guru sangat di perlukan untuk membimbing para remaja agar terhindar dari prilaku-prilaku negative yang ditimbulkan berpacaran. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk membimbing anak-anaknya adalah memantau dan slalu mengawasi kegiatan mereka apakah mereka dapat menepatkan waktu yang tepat atau tidak seperti saat belajar maka harus belajar dll. Hal itu dapat membuat mereka tidak melupakan kegiatan belajarnya karena terlalu memikirkan hubunganya, selain itu orang tua juga dapat mengajarkan hal-hal apa yang di larang oleh agama kepada seseoarang yang bukan muhrimnya sehingga prilaku negative dapat dihindarkan akibat berpacaran.
Guru adalah salah satu yang sangat berperan dalam prestasi belajar disekolah bagi seorang siswa dimana guru merupakan orang tua setelah di sekolah selain di rumah ada ayah dan ibu,peran guru dalam membimbing siswa yang berpacaran agar tidak menurun prestasi belajarnya adalah dengan cara selalu memberi nasihat semangat dan dorongan kepada siswa dan tak lupa mengajarakan bagaimana berpacaran yang baik dan tidak melupakan kewajiban belajaranya selain hal tersebut seorang guru dapat pula mengajarkan mana hal yang baik dan buruk terutama pada guru agama sehingga mereka dapat mengerti dan menghindari perilaku yang tidak baik pada saat berpacaran.
2.7     Kiat-Kiat  Menghindari Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Remaja
1)    Hati-hati berpacaran
Setelah melalui fase “ketertarikan” maka mulailah pada fase saling mengenal lebih jauh alias berpacaran. Saat ini adalah saat paling tepat untuk mengenal pribadi dari masing-masing pasangan. Sayangnya, tujuan untuk mengenal pribadi lebih dekat, sering disertai aktivitas seksual yang berlebihan. Makna pengenalan pribadi berubah menjadi pelampiasan hawa nafsu dari masing-masing pasangan.
2)   No Seks
Katakan “tidak pada seks”, jika pasangan menghendaki aktivitas berpacaran melebihi batas. Karena yang paling rugi adalah pihak wanita. Ingat, sekali wanita kehilangan kegadisannya, seumur hidup ia akan menderita, karena norma yang dianut dalam masyarakat kita masih tetap mengagungkan kesucian. Berbeda dengan wanita, keperjakaan pria tidak pernah bisa dibuktikan, sementara dengan pemeriksaan dokter kandungan dapat ditentukan apakah seorang gadis masih utuh selaput daranya atau tidak.
3)   Rem Keimanan
Iman, merupakan rem paling pakem dalam berpacaran. Justru penilaian kepribadian pasangan dapat dinilai saat berpacaran. Mereka yang menuntut hal-hal yang melanggar norma-norma yang dianut, tentunya tidak dapat diharapkan menjadi pasangan yang baik.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1   Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang  berdasarkan pada fakta-fakta yang benar. Adapun pendekatan yang diambil dengan cara pengumpulan data menggunakan angket (kusioner). Khususnya XII IPS 1 MAN BAYAH. Angket ini disampaikan langsung kepada 10 orang siswa-siswi XII IPS 1.
3.2   Populasi Dan Sampel
1.    Populasi
Dalam penelitian ini populasinya adalah siswa-siswi kelas XII IPS 1.
2.    Sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah siswa-siswi MAN BAYAH yang berjumlah 10 orang. Objek penelitiannya adalah pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa.
3.3   Pengumpulan Data
Cara pengambilan data untuk memperoleh tujuan dari penelitian ini adalah dengan cara penyebaran angket kepada sampel yang disebarkan ke 10 siswa/siswi kelas XII IPS 1 MAN BAYAH.



BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1   Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :
1.         Menurut anda apakah idientitas diri seseorang dapat ditentukan karena seseorang itu telah mempunyai pacar atau kekasih ?
Dari hasil penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


2.         Apakah anda memilki kekasih atau pacar ?
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%

3.         Apakah pada saat disekolah anda sering pergi bersama pacar ?
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


4.         Apakah orang tua anda mengizinkan anda berpacaran ?
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


5.         Berdasarkan yang telah anda alami, adakah pengaruh dari memiliki atau tidak memiliki pacar atau kekasih dalam prestasi belajar anda?
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


6.         Menurut anda apakah dampak positif berpacaran lebih banyak di bandingkan dengan dampak negatifnya?
Dari hasil penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


7.         Menurut anda apakah dampak negatif berpacaran lebih banyak di bandingkan dengan dampak positifnya?
Dari hasil penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


8.         Apakah anda merasa malu dan kurang percaya diri jika anda tidak mempunyai pacar atau kekasih?
Dari hasil penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%


9.         Berdasarkan yang telah anda alami, adakah pengaruh dari memiliki atau tidak memiliki pacar atau kekasih dalam prestasi belajar anda?

Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%

10.     Apakah teman teman anda mengejek atau mencemooh saat anda tidak memiliki pacar atau kekasih?
Jawaban
Jumlah (frekuensi)
Presentase
Ya


Tidak


Jumlah
10
100%



BAB V
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Pada dasarnya berpacaran saat remaja merupakan hal yang tidak baik karena secara usia dan pesikologi seorang remaja belum siap, tetapi apabila hanya untuk mengenal satu-sama lain dan dalam batas sewajarnya hal tersebut tidak apa-apa dilakukan terutama untuk meningkatkan prestasi belajar mereka sendiri selain itu peran orang tua dan guru sangat penting agar mereka tidak terjerumus dalam prilaku-prilaku tidak baik yang ditimbulkan.
5.2  Saran
Dalam melakukan hubungan pada saat remaja seperti berpacaran, hendaknya seorang remaja seperti kita hanya fokus untuk belajar saja dan meraih cita-cita, menyadari dalam berpacaran usia seperti kita ini selayaknya belum mencukupi dan belum matang untuk hubungan yang lebih serius karena belum siap dalam berbagai aspek hal yang dibutuhkan.
·      Kepada Siswa
Penulis menyarankan para siswa yang berpacaran agar mengutamakan belajar dari pada pacaran. Karena belajar merupakan kewajiban utama para siswa. Kemudian harus tahu bagaimana batasan-batasan dalam menjalin hubungan terutama dalam berpacaran.
·      Kepada Orangtua
Penulis menyarankan bagi para orangtua siswa yang berpacaran agar mengingatkan anaknya yang pacaran untuk lebih fokus belajar daripada pacaran dengan cara yang anak sukai dan dengan penyampaian yang nyaman sehingga anak nyaman untuk melakukannya.
·      Kepada Guru
Penulis menyarankan bagi para guru lebih memperhatikan siswanya yang pacaran agar lebih mengingatkan siswanya untuk lebih fokus lagi dalam belajar dibandingkan dengan pacaran dengan cara yang disukai anak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar