CONTOH
LAPORAN PENELITIAN PENGARUH PACARAN
TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA MAN Bayah
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Pengertian singkat dari pacaran merupakan hubungan antara
lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang mempunyai hubungan khusus dan
melebihi dari status teman. Biasanya orang-orang banyak yang sudah melakukan
hubungan tersebut karena hubungan tersebut telah umum dimana saja. Dengan
menulis laporan penelitian ini kami bertujuan untuk meneliti mengenai pengaruh
pacaran terhadap prestasi belajar siswa MAN
Bayah yang menggunakan populasi 10 orang anak dari kelas XII IPS 1. kami mengambil tema tersebut
karena banyak siswa-siswi terutama pada siswa MAN Bayah yang telah melakukan pacaran di bawah umur. Semoga dengan
penelitian ini kami dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Memang tidak dapat dipungkiri bila
pacaran merupakan fenomena tersendiri dikalangan remaja. Dan kalaupun dicari
satu definisi tersendiri pacaran maka akan sulit. Sebagian ada yang
mendifinisikan pacaran adalah ajang dari untuk mendapatkan kepuasan libido
seksual, atau pacaran hanya sebagai label ”saya punya pacar dan dapat mendongkrak
percaya diri”. Ataukah pacaran adalah suatu hal yang penting karena dengan
pacaran kita punya seseorang yang bisa membantu kita dalam mengatasi persoalan
hidup dan untuk definisi pacaran tentu akan ada banyak yang lainnya. Di
kalangan remaja, seperti yang sedang kami alami saat ini, dorongan untuk
mencari jati diri dengan mencoba hal-hal baru amatlah kuat. Dan terkadang jika
‘kelewatan’ bisa merusak akal sehat. Tekanan untuk menjalani masa ‘pacaran’,
iming-iming dari orang-orang sekitar, dan siaran media masa-pun turut andil
dalam keinginan remaja untuk menjalani sebuah masa ‘pacaran’.
Masa remaja adalah masa yang indah.
Banyak hal yang terjadi pada masa transisi remaja dari masa kanak-kanak menuju
dewasa. Satu proses masa yang semua anak manusia telah, sedang dan akan teradi
dalam sebuah proses tumbuh kembang remaja. Dunia remaja memang unik, sejuta
peristiwa terjadi dan sering diciptakan dengan ide-ide cemerlang
dan positif. Namun demikian tidak sedikit juga hal-hal negatif yang
terjadi. Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah
trend pacaran yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang
dewasa gemar melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasanya bila ada
remaja yang belum punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang
lengkap.
1.2 Rumusan
masalah
1)
Pengertian
Budaya Pacaran ?
2)
Bagaimana
membimbing para remaja yang berpacaran agar dapat menerima dampak postif dari
berpacaran?
3)
Apa
Dampak Positif dan Negatif dari Berpacaran?
4)
Bagaimana Kiat-Kiat Menghindari
Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Dini?
1.3
Batasan masalah
Mengingat
jumlah siswa MADRASAH ALIYAH NEGERI
BAYAH ini sangat banyak, kami tidak mungkin menyajikan satu persatu. Agar
efektifdan efisien, maka kami membatasi masalah dikelas XII IPS 1 yang berjumalah 32 orang dan diambil sampel 10 orang,
agar lebih mudah untuk mengkajinya.
1.4
Hipotesis
Budaya
Pacaran adalah trend remaja masa kini dimana para remaja mencari dan mengakui
jati dirinya dengan status “Berpacaran”. Saat remaja adalah saat dimana seorang
manusia mulai mencari jati dirinya, biasanya dia mencari dalam berbagai hal.
Tidak banyak yang tahu apa dampak negatif dan positif dari berpacaran dan tidak
banyak yang tahu juga apa pengaruh dampak tersebut dalam prestasi belajar
siswa.
Menurut
penulis dampak positif berpacaranan ini bisa meningkatkan semangat belajar
namun dampak negatifnya bisa menyebabkan hilangnya moral siswa dan membentuk
karakter siswa yang buruk. Tidak hanya itu budaya berpacaran sangat
mempengaruhi prestasi belajar siswa dimana saat remaja emosi siswa masih sangat
labil dan jika ia merasa terpuruk itu sangat berpengaruh pada gaya belajar dan
prestasi siswa.
1.5
Tujuan penelitian
1.
Untuk
mengetahui apa itu Pacaran
2.
Untuk
mengetahui bagaimana membimbing para remaja yang berpacaran.
3. Menganalisa Dampak Positif dan Negatif
dari Berpacaran
4. Untuk mengetahui kiat-kiat Menghindari
Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Dini
1.6
Manfaat penelitian
1.
Bagi
kalangan remaja yang belum mengerti tentang berpacaran dengan baik hal ini
dapat di jadikan sebagai masukan dan pengetahuan
2.
Bagi
orang tua penelitian ini dapat dijadikan sebagai pencerahan bagaimana membimbing
anak-anakanya saat berpacaran yang baik.
3.
Memahami
dengan baik dampak positif yang di dapatkan berpacaran saat remaja
4.
Memahami
dengan baik dampak negative yang di akibatkan berpacaran saat remaja
dan di harapkan untuk menjauhi dan menghindarinya.
5.
Supaya
pembaca lebih mnengutamakan sekolah daripada pacaran.
6.
Adanya
sikap saling kerja sama dalam menyelesaikan tugas.
7.
Agar
siswa-siswi lebih bersemangat dalam menggapai prestasi belajar yang tinggi.
8. Media pembelajaran dalam Metodologi Penelitian.
9. Memperluas pengetahuan penulis tentang berbagai hal
mengenai pacaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Pacaran
Definisi yang dibakukan di
buku KBBI, kamus resmi bahasa. Buku PIA mengungkap: “Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah
kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan
cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau]
berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah
mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri
menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu
di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20) Jika
definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca
dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau
berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu
yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap
(yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan
dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya
“lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun
masih dapat disebut ‘pacaran’ Sedangkan, pada dua orang yang baru saling
mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada
hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran. Hubungan yang ‘tetap’
itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan
berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berujud apa saja.
Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan
pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’.
KBBI sebagai sarana awal untuk
membantu kita memahami sebuah istilah indonesia, tentu adalah suatu usaha yang
baik. Tetapi ketika kita ingin berbicara lebih jauh mengenai istilah itu, maka
kembalikanlah definisi istilah itu kepada para ahlinya. Sebagaimana
yang juga sering digembar-gemborkan oleh SPPI untuk “merujuk kepada ahlinya”.
Jika istilah2 itu digunakan untuk mewakili sebuah fenomena alam, maka para ahli
ilmu alam lah rujukannnya. Jika istilah2 yang dimaksud adalah untuk mewakili
sebuah fenomena sosial/fenomena kejiwaan, maka para ahli sosiologi atau
psikologi yang bisa menjawabnya. Dan jika ada kata2 dalam definisi tersebut
yang mesti diperjelas, maka wajib untuk dijelaskan. Misalkan pada “bercintaan”
yang seperti apakah yang mungkin halal, dan pada “kekasih tetap” yang
bagaimanakah yang disebut halal. Karena didalam Islam jelas, perkara
“bercintaan” dan “kekasih tetap” yang dihukumi “halal” itu hanya terjadi, jika
telah diawali dengan sebuah proses yang disebut dengan “Pernikahan”.
Jadi, kita tidak hendak menyalahkan
“arti” yang telah dijelaskan oleh KBBI dalam hal ini, tetapi justru, dengan
merujuk kepada ahlinya bertujuan untuk memperkuat maksud, dan memperjelas duduk
perkara yang tercantum didalam KBBI. Dan siapapun yang mencari kebenaran, tentu
tidak perlu takut terhadap proses (mengembalikan pengertian kepada para ahli)
ini, apalagi bagi seorang SPPI yang “katanya” siap dengan kritikan dsbnya.
Kembali ke topik, istilah “pacaran” itu sendiri menurut para ahli mungkin dalam
pembahasaannya ada sedikit perbedaan. Tetapi tidak dalam konteks dan realita.
Karena setidaknya ada tiga hal yang pasti, bahwa pacaran itu ‘mensyaratkan’
adanya “cinta”, “keintiman” dan “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai
pacar”. Mungkin pada “kadar” cinta dan keintiman,
masing2 orang boleh jadi berbeda, tetapi masalah “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar” adalah
perkara mutlak yang tidak terbantahkan lagi sebagai prasyarat
suatu hubungan disebut “pacaran”. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu sulit
untuk dipahami. Bahkan jika kita mau jujur, bertanya kepada
mereka yang “aktifis” pacaran, sebelum ada kejelasan “status sebagai pacar”
maka hubungan yang terjalin antara 2 insan lain jenis itu belum diakui sebagai
“Pacaran”. Mungkin ada yang menyebutnya“TTM” atau “HTS” atau
“sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”. Terhadap “catatan” yang
dibuat oleh SPPI atas definisi yang menjadi rujukan kami, kami pun mencatat
beberapa beberapa hal atas “catatan” SPPI tersebut. Terhadap poin :“Gerhana
matahari merupakan fenomena alam; pacaran merupakan fenomena sosial. Kedua
fenomena ini memiliki sifat yang sangat berbeda, sehingga tidak bisa
dianalogikan.”
1. Tidak ada yang hendak menyamakan “gerhana
matahari” dan “pacaran”. Bahwa kedua hal ini memiliki kesamaan, itu fakta.
Kesamaan itu terletak pada fakta bahwa kedua hal ini mewakili sebuah
“fenomena”, hal inilah yang mesti kita pahami terlebih dahulu. Dan untuk
mengetahui “fenomena” apa yang terjadi pada “gerhana matahari” atau “pacaran”,
maka kita kembalikan kepada definisi yang dibuat oleh para ahli, agar kemudian
asumsi-asumsi subjektif bisa kita hindari. Jika fenomena itu adalah fenomena
alam maka rujukannya kepada ahli alam (fisikawan, ahli astronomi dsbnya). Dan
jika fenomena itu adalah fenomena kejiwaan, atau masyarakat, tentu lebih tepat
jika kita merujuknya ke ahli psikologi, atau ahli astronomi, dan seterusnya.
Sehingga statement SPPI diatas tidak bisa kita terima.
“Berbeda dengan ilmu eksakta, setiap
pakar ilmu non-eksakta (psikologi, sosiologi, dsb) memiliki definisi
sendiri-sendiri mengenai istilah kunci yang dikemukakan di karya tulis
masing-masing. Definisi sang pakar itu berlaku pada karya tulis yang
menyebutkan definisi tersebut, tetapi TIDAK berlaku untuk karya tulis lain,
apalagi yang ditulis oleh pakar lain.”
2. SPPI hendak mengajak kita kepada
sebuah kondisi yang “relative”. Tetapi ketahuilah sebuah istilah ilmiah tentu
bisa diuji keilmiahannya. Apakah sesuai dengan kenyataan, gejala-gejala, dan
fakta dilapangan (fenomena) Jika iya, maka definisi tersebut bisa diterima,
jika tidak, maka definisi tersebut tidak boleh kita terima. Dalam konteks
“pacaran” juga seperti itu, jika anda berasumsi bahwa ada definisi lain dari
ahli psikologi yang berbeda dari yang diungkapkan oleh Reiss, kita lihat dimana
perbedaannya, dan kita ukur manakah diantara kedua definisi itu yang mendekati
kebenaran (lebih kuat). Jadi, asumsi juga harus menyertakan bukti. Jika tidak
bisa menyertakan bukti, asumsi tersebut tidak lebih sebagai dugaan yang lemah,
dan tertolak.
“Fenomena pacaran yang hendak kita
islamisasikan ini berfokus pada Indonesia. Mengapa SPIP ikut-ikutan artikel
kompas, merujuk ke buku karya orang Barat? Mengapa tidak merujuk ke definisi baku
(standar) yang disusun oleh para pakar dari Indonesia? Apakah SPIP belum tahu
bahwa penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu tidak hanya melibatkan
ahli bahasa, tetapi juga melibatkan para pakar di bidangnya (termasuk sosiologi
dan psikologi)?”
3. Mengenai tim penyusun KBBI,
ketahuilah bahwa tim tersebut hanya terdiri dari ahli bahasa saja. Jika
diperlukan untuk merujuk kepada ahli tertentu, maka dilakukan secara terpisah,
semacam konsultan. Adapun kamus yang menghimpun para ahli dibidangnya, seperti
ahli fisika, biologi, kedokteran, dsbnya, maka kamus seperti ini diistilahkan
“Kamus Istilah”, sebagai rujukan untuk istilah-istilah ilmiah.
“Tingkat “keintiman” pada pacaran
antara budaya Barat dan Timur (termasuk Indonesia) berbeda. Batas keakraban
hubungan pacaran pada budaya Timur lebih ketat.”
4. Lebih “ketat”?? Seperti apakah yang
dimaksud dengan “ketat” disini?? Satu yang pasti, Barat sudah terbiasa dengan
fenomena hubungan lawan jenis pranikah semacam pacaran. Apakah barat juga
memaklumi “pacaran” itu pada awalnya?? Saya pikir tidak. Karena banyaknya
(orang yang dianggap sebagai) pemuka agama pada waktu itu mencari-cari
pembenaran terhadap hal ini, maka yang terjadi, “pacaran” ada dimana-mana,
beserta masalah sosial lain yang ditimbulkannya. Apakah ada pemuka agama
diBarat yang tidak setuju dengan pacaran??, insyaAllah masih banyak, terutama
dari kalangan Islam. Jangan juga diartikan bahwa “tidak setuju” disini adalah
pasti dengan cara2 yang keras dan jauh dari sikap lemah lembut. Tetapi
cara-cara yang lemah lembut itu jangan sampai jatuh kepada perbuatan
mencari-cari pembenaran demi pembenaran.
Bagi mereka yang hidup lebih dahulu
dibandingkan dengan remaja-remaja sekarang tentu mengakui bahwa gaya pacaran
masa lalu lebih “sopan” dibandingkan dengan gaya masa sekarang. Itu semata-mata
karena informasi tentang ‘pacaran’ itu belum terlalu banyak, hal tersebut
dicontohkan oleh mereka yang berasal dari kota besar, atau melalui film-film
bioskop (contoh film-film yg dibintangi Roy Mar***), selebihnya (bagi yang
tinggal dikampung) nilai-nilai agama masih ‘agak’ mewarnai’. Sedangkan diera
informasi seperti ini, tidak sulit menemukan ‘keintiman’ dibarat itu seperti
apa. Bahkan film-film dan sinetron-sinetron indonesia pun melakukan copy paste
dari produk barat untuk mengkampanyekan ‘keintiman’ yang sama. Sehingga
tidak benar jika dikatakan ada yang berbeda dengan “keintiman” ditimur dan
dibarat. Justru yang menjadi titik perbedaannya adalah, ketika “keintiman” itu
dipahami tidak dengan kerangka syariat, maka hal seperti itulah yang
akan menjadi petaka.
“5) Perilaku “saling mengakui pasangan
sebagai pacar”, yang oleh SPIP diklaim sebagai yang terpenting, TIDAK mutlak
berlaku pada fenomena budaya Timur walau sesuai dengan budaya Barat. Pada
budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan.”
5. Apakah SPPI sebelum menulis tentang
“pacaran ala beliau” itu juga menjelaskan perbedaan antara fenomena budaya
Timur dan fenomena budaya Barat?? Tidak pernah. Jika dikatakan ‘Pada budaya
Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan’,
seharusnya dijelaskan kenapa bisa berbeda?? Secara umum,
manusianya sama, dari sumber yang sama, hasratnya juga sama, keinginannya juga
sama, dsbnya juga sama baik yang dibarat dan ditimur. Timur dan Barat tidak menjadi
sebab bahwa “watak” dan “budaya” orang-orang Timur itu berbeda dengan orang
Barat. Orang Barat banyak yang tidak tahu malu, orang Timur
juga banyak. Orang Barat banyak yang terbuka, orang Timur juga banyak. Jadi
nilai kebenaran haruslah universal, berlaku di Barat dan di Timur. Pada konteks
dunia “Pacaran”, apa yang terjadi di Barat sesungguhnya juga terjadi di Timur.
Apakah kemudian para ulama dibarat
membolehkan pacaran?? Tidak. Kemudian jika melihat ke timur, katakanlah
Indonesia, SPPI menduga “pacaran” itu tidak mutlak mengakui pasangan sebagai pacar,
apakah dugaan ini ada buktinya?? Siapa yang berkata dan dimana
kita bisa merujuknya?? Tidak ada buktinya kan. Justru faktanya adalah
“Pacaran” itu harus mensyaratkan “kedua insan lain jenis” itu untuk saling
mengakui sebagai pacar. Karena ngga mungkin ada yang pacaran, rela..jika
pacarnya dipacari oleh orang lain??
Jadi, catatan SPPI itu sendiri penuh
dengan “catatan”. Ketidakmampuan SPPI untuk memberikan bukti
yang meyakinkan atas dugaan2nya tersebut, seringkali menjadikan yang
bersangkutan memperlebar dan mengaburkan masalah yang sebenarnya. Sesuatu
yang seharusnya dapat secara mudah kita pahami, menjadi sesuatu yang “rumit”
dan kabur. Mungkin ketika orang sudah bingung dengan apa yang dibicarakan, baru
kemudian diganti dengan apa yang hendak SPPI inginkan. Sehingga
tidak perlulah terlalu jauh berbicara tentang “islamisasi pacaran”, jika
“pacaran” itu sendiri belum dipahami dengan sebagaimana mestinya.
2.2 Alasan Remaja SMA Pacaran
Pacaran sangat akrab dengan kehidupan remaja.
Bisa saja remaja melakukan hubungan pacaran karena adanya tujuan agar bisa
bekerja sama untuk menyelesaikan tugas di sekolah. Remaja
memiliki beragam alasan kenapa mereka berpacaran diantaranya pacaran
bisa meningkatkan semangat belajar; pacaran diakui mampu menghilangkan
kejenuhan atau membuat hidup lebih hidup; pacaran untuk mengetahui pribadi
pasangan yang dicintainya agar kalau menikah tidak perlu ragu-ragu
lagi; pacaran pun diyakini bisa membawa rezeki nomplok;menjadikan lebih dewasa;
bahkan ada yang mengaku sekadar iseng doang serta pacaran untuk menemukan cinta
sejati untuk memilah dan memilih siapa pasangan yang oke.
Pada perkembangannya pacaran
zaman sekarang merupakan suatu mode, bila seorang belum pernah
pacaran bisa dikatakan ketinggalan zaman. Hal itulah yang membuat remaja
membangun persepsi bahwa wajibnya pacaran bagi remaja. Pacaran sangat
dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses
asimilasi menjadi mudah karena lingkup asimilasi menjangkau pada ideologi dan
budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumulatif atau
menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan remaja mengenai
pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui.
2.3
Pengertian Prestasi Belajar
Siswa
Prestasi
belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajar
siswa di sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dilihat dari nilai rapornya yang
bagus. Kesuksesan yang diperoleh dan ilmu pengetahuan yang didapat. Dalam
kehidupan kita di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak ingin berprestasi,
seandainya ada orang yang tidak ingin berprestasi, sebenarnya tidak mempunyai
tujuan atau cita-cita hidup. Untuk mencapai prestasi belajar , kita perlu
mengubah sikap yang tidak baik menuju pada suatu sikap dan tindakan yang lebih
baik. Dalam hal ini kita perlu mempersiapkan diri dan bersedia untuk mengambil
resiko demi mencapai prestasi yang cemerlang. Ada beberapa faktor yang perlu
ada pada diri kita untuk mencapai prestasi belajar.
Pertama,
kita seharusnya memiliki cita-cita. Dengan adanya wawasan, kita akan berusaha
secara total mencapai cita-cita itu, sehingga dapat diwujudkan menjadi ssuatu
kenyataan. Kedua, kita hendaknya membuang malas, karena sikap malas adalah
salah satu musuh dan penghalang kita untuk mencapai pretasi. Prestasi hanya
akan dapat diperoleh dengan berusaha dan bukan dengan bermalas-malasan. Oleh
sebab itu, kita perlu menanamkan di dalam diri kita sikap rajin berusaha dan
ingin selalu mencoba, lebih bi kita menconba sesuatu tetapi gagal, daripada
tidak mencoba tetapi merasa gagal dalam berprestasi. Ketiga, `kita haruslah
berfikir positif untuk berbuat sesuatu. Setiap teguran dan kritikan perlu
dianggap sebagai suatu hal yang positif, kita tidak harus marah atas teguran
serta kritikan orang lain. Dari kritikan inilah kita dapat mengetahui antara
yang benar dan yang salah untuk dapat dijadikan acuan dalam membangun potensi
diri muneju prestasi. Keempat, menempatkan sifat malu sesuai pada kedudukannya.
Seandainya kita malu untuk bertanya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat,
maka apa yang hendak kita capai akan mengalami hambatan. Malu memang harus kita
miliki, tetapi hanya dalam hal berbuat sesuatu yang tidak baik serta dilarang
oleh ajaran agama. Adapun dalam berbuat sesuatu yang baik justru dapat membuat
kita berhasil dalam mencapai prestasi, kita tidak boleh malu.
2.4
Pengaruh Perilaku Pacaran
Terhadap Motivasi Belajar Siswa SMA
Pengaruh Pacaran terhadap motivasi belajar siswa
memang cukup berarti. Ada sebagian orang yang tampak meningkat proses
belajarnya saat menjalin hubungan pacaran dengan orang yang dikasihinya.
Misalnya saja para siswa yang menjalin hubungan pacaran dengan teman
sekelasnya,akan terpicu semangatnya karena merasa gengsi dan malu pada
pasangannya jika diketahui hasil belajarnya buruk. Akibatnya siswa ini akan
terpicu semangat belajarnya untuk meningkatkan prestasi.Tetapi ada pula remaja
yang berpacaran karena ingin dianggap gaul,ujungnya menuju ke arah negatif. Dampak
buruk dari pacaran pun tak bisa dihindari,banyak orang yang malas belajar hanya
karena pikirannya merasa terganggu dengan hubungan yang dijalaninya. Lebih
buruk lagi adalah pacaran untuk anak usia dini, misalnya para pelajar SD, SMP
dan juga SMA. Usia remaja adalah usia coba-coba. Tak berlebihan jika agama
mengharamkan proses pacaran karena untuk melindungi pemeluknya.
Banyak remaja di usia sekolah terjebak pergaulan bebas yang dimulai
dari proses pacaran.
Jangankan memikirkan nasib studinya,
terkadang justru harga diri orang tua ikut terkorbankan akibat kelakuan anak. Lalu,seks
bebas mengarah lagi pada penggunaan obat berbahaya, hal pornografi
bahkan minuman keras. Akhirnya, harapan orang tua memiliki anak yang
sukses studi tinggallah harapan. Semua berangkat dari proses pacaran yang tidak
tepat dijalani oleh sang anak. Untuk melawan pengaruh negatif dari perilaku
pacaran diperlukan solusi dengan tujuan mencegah maupun
mengatasinya. Solusi dalam bentuk preventif (mencegah) yakni melalui peranan
orang tua di rumah dan peranan dari sekolah.
Orang tua adalah media pertama bagi remaja
untuk mendapatkan pengetahuan atau pendidikan seks. Sosialisasi tersebut sangat
membantu remaja dalam keluarga sebelum remaja mendapatkan informasi tentang
seksual melalui media massa dan saluran media online yang cenderung distorsif,
maka pihak keluarga pertama melakukan sosialisasi pendidikan seksual dengan
cara yang tepat. Selain peran orang tua (keluarga), sekolah turut membantu
remaja dalam mendapatkan informasi tentang pendidikan seksual melalui kurikulum
pendidikan kesehatan reproduksi tingkat SMA dalam mata pelajaran biologi dan
agama sehingga memungkinkan terjadi proses pendidikan seks secara
sehat. Sehingga dengan adanya peranan keluarga dan sekolah tidak lagi
bermunculan istilah hamil di luar nikah. Diperlukan pula pendidikan seks (sex
education) bersistem dan terarah serta materi yang sesuai dengan usia
perkembangannya.
2.5
Dampak positif dan negatif
berpacaran
1. Dampak
Negatif
a.
Kekerasan
fisik
Koalisi
Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami
kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya seperti mendorong, memukul,
mencekik, dan membunuh. Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak korban
ataupun pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Penyebab
kekerasan fisik pada remaja di antaranya kecemburuan, sifat posesif, dan
temperamen dari pasangan si anak remaja. Pelaku, misalnya, mengontrol cara
berpakaian si anak. Hal itu sebenarnya adalah bentuk kekerasan, yang sering
kali dilihat oleh si anak sebagai bentuk perhatian.
b. Kekerasan
seksual
Pemerkosaan
dalam pacaran adalah bentuk kekerasan seksual dalam pacaran. Komisi
Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia mengategorikan
kekerasan jenis itu sebagai kekerasan dalam pacaran (KDP). KDP secara seksual
terjadi ketika seseorang diserang secara seksual oleh orang lain yang dikenal
dan dipercaya, seperti teman kencan. Kekerasan seksual dapat juga terjadi saat
korban mabuk di suatu pesta, misalnya. Pesta menjadi ajang yang paling mudah
bagi pelaku untuk mengincar remaja dengan lebih dahulu memberikan narkoba,
kemudian menjadikannya korban kekerasan seksual.
c. Cenderung
menjadi pribadi yang rapuh
Anak
remaja yang mulai pacaran sejak usia dini lebih banyak mengalami sakit kepala,
perut dan pinggang. Mereka juga lebih banyak depresi dibanding rekan seusianya
yang belum pernah pacaran. Seseorang, yang mengenal cinta lebih dini cenderung
menjadi pribadi yang rapuh, sakit-sakitan, merasa tidak aman dan mudah depresi.
contohnya remaja, akan memiliki alarm rasa sakit yang lebih tinggi, terutama
jika remaja itu menjalin hubungan yang buruk dengan pasangannya.
d. Kehamilan dan
penularan penyakit menular seksual
Anak
yang berpacaran di usia dini mengarah pada kemungkinan yang lebih besar untuk
melakukan hubungan seksual. Hal itu sangat memungkinkan terjadinya kehamilan
dan penularan penyakit menular seksual (PMS). Menurut The Centers for
Disease Control (CDC), kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah
kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular PMS.
e. Menurunkan
konsentrasi
Hal
ini terjadi jika remaja telah mengakhiri hubungan dengan pacarnya
sehingga emosinya menjadi labil, konsentrasi menjadi buyar karena terus
memikirkan pacarnya sehingga remaja tersebut tidak dapat menyelesaikan
tugas-tugas yang di berikan kepadanya dan mengerjakan ulangan dengan baik
sehingga dapat menurunkan prestasi remaja tersebut.
f. Menguras harta
Akan
menguras harta, karena orang yang pacaran akan selalu berkorban untuk pacarnya,
bahkan uang yang seharusnya untuk ditabung bisa habis untuk membelikan hadiah
untuk pacarnya.
g. Tidak setia
Bila
dalam berpacaran tidak sesuai dengan yang kita inginkan dan ada orang lain yang
memberikan apa yang tidak di berikan oleh pacar kita, selingkuh akan menjadi
alternatifnya. Sehingga itu akan menyakiti orang lain.
h. Pembunuhan
Ini
dampat negatif pacaran yang paling ekstrim, demi seorang pacar rela berkelahi
dengan orang lain dan lebih parah bisa membunuh untuk mendapatkan pujaan hati
tersebut.
2.
Dampak
Positif
a. Bisa
untuk saling menginggatkan dalam hal-hal positif
b. Sebagai
penyemangat dalam belajar
c. Bisa
menjadi teman curhat
d. Bisa
menjadi orang yang selalu ada dimanampun kita berada.
e. Mengisi
Waktu Luang
f. Perasaan
Aman, Tenang, Nyaman, dan Terlindung
2.6 Pembimbingan Remaja Yang Berpacaran
Bagaimanapun seorang remaja(siswa) yang berpacaran,
berpacaran memiliki dampak negative yang lebih banyak di bandingkan dampak
postifnya oleh karena itu peranan orang tua dan guru sangat di perlukan untuk
membimbing para remaja agar terhindar dari prilaku-prilaku negative yang
ditimbulkan berpacaran. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk
membimbing anak-anaknya adalah memantau dan slalu mengawasi kegiatan mereka
apakah mereka dapat menepatkan waktu yang tepat atau tidak seperti saat belajar
maka harus belajar dll. Hal itu dapat membuat mereka tidak melupakan kegiatan
belajarnya karena terlalu memikirkan hubunganya, selain itu orang tua juga
dapat mengajarkan hal-hal apa yang di larang oleh agama kepada seseoarang yang
bukan muhrimnya sehingga prilaku negative dapat dihindarkan akibat berpacaran.
Guru adalah salah satu yang sangat berperan dalam prestasi
belajar disekolah bagi seorang siswa dimana guru merupakan orang tua setelah di
sekolah selain di rumah ada ayah dan ibu,peran guru dalam membimbing siswa yang
berpacaran agar tidak menurun prestasi belajarnya adalah dengan cara selalu
memberi nasihat semangat dan dorongan kepada siswa dan tak lupa mengajarakan
bagaimana berpacaran yang baik dan tidak melupakan kewajiban belajaranya selain
hal tersebut seorang guru dapat pula mengajarkan mana hal yang baik dan buruk
terutama pada guru agama sehingga mereka dapat mengerti dan menghindari
perilaku yang tidak baik pada saat berpacaran.
2.7 Kiat-Kiat Menghindari
Dampak Negatif Dalam Pacaran Di Usia Remaja
1) Hati-hati berpacaran
Setelah melalui fase “ketertarikan”
maka mulailah pada fase saling mengenal lebih jauh alias berpacaran. Saat ini
adalah saat paling tepat untuk mengenal pribadi dari masing-masing pasangan.
Sayangnya, tujuan untuk mengenal pribadi lebih dekat, sering disertai aktivitas
seksual yang berlebihan. Makna pengenalan pribadi berubah menjadi pelampiasan
hawa nafsu dari masing-masing pasangan.
2) No Seks
Katakan “tidak pada seks”, jika
pasangan menghendaki aktivitas berpacaran melebihi batas. Karena yang paling
rugi adalah pihak wanita. Ingat, sekali wanita kehilangan kegadisannya, seumur
hidup ia akan menderita, karena norma yang dianut dalam masyarakat kita masih
tetap mengagungkan kesucian. Berbeda dengan wanita, keperjakaan pria tidak
pernah bisa dibuktikan, sementara dengan pemeriksaan dokter kandungan dapat
ditentukan apakah seorang gadis masih utuh selaput daranya atau tidak.
3) Rem Keimanan
Iman, merupakan rem paling pakem dalam
berpacaran. Justru penilaian kepribadian pasangan dapat dinilai saat
berpacaran. Mereka yang menuntut hal-hal yang melanggar norma-norma yang
dianut, tentunya tidak dapat diharapkan menjadi pasangan yang baik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang berdasarkan pada fakta-fakta yang benar. Adapun
pendekatan yang diambil dengan cara pengumpulan data menggunakan angket
(kusioner). Khususnya XII IPS 1 MAN BAYAH. Angket ini disampaikan langsung
kepada 10 orang siswa-siswi XII IPS 1.
3.2 Populasi Dan
Sampel
1.
Populasi
Dalam penelitian ini
populasinya adalah siswa-siswi kelas XII IPS 1.
2.
Sampel
Jumlah sampel pada penelitian
ini adalah siswa-siswi MAN BAYAH yang berjumlah 10 orang. Objek penelitiannya
adalah pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa.
3.3 Pengumpulan Data
Cara pengambilan data untuk
memperoleh tujuan dari penelitian ini adalah dengan cara penyebaran angket
kepada sampel yang disebarkan ke 10 siswa/siswi kelas XII IPS 1 MAN BAYAH.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :
1.
Menurut anda apakah idientitas
diri seseorang dapat ditentukan karena seseorang itu telah mempunyai pacar atau
kekasih ?
Dari hasil penelitian
diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
2.
Apakah anda memilki kekasih atau pacar ?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
3.
Apakah pada saat disekolah anda sering pergi bersama pacar ?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
4.
Apakah orang tua anda mengizinkan anda berpacaran ?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
5.
Berdasarkan
yang telah anda alami, adakah pengaruh dari memiliki atau tidak memiliki pacar
atau kekasih dalam prestasi belajar anda?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
6.
Menurut
anda apakah dampak positif berpacaran lebih banyak di bandingkan dengan dampak negatifnya?
Dari hasil penelitian
diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
|
Jumlah (frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
7.
Menurut
anda apakah dampak negatif berpacaran lebih banyak di bandingkan dengan dampak
positifnya?
Dari hasil penelitian
diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
8.
Apakah
anda merasa malu dan kurang percaya diri jika anda tidak mempunyai pacar atau
kekasih?
Dari hasil penelitian
diperoleh jawaban sebagai berikut :
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
9.
Berdasarkan
yang telah anda alami, adakah pengaruh dari memiliki atau tidak memiliki pacar
atau kekasih dalam prestasi belajar anda?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
10.
Apakah
teman teman anda mengejek atau mencemooh saat anda tidak memiliki pacar atau
kekasih?
Jawaban
|
Jumlah
(frekuensi)
|
Presentase
|
Ya
|
||
Tidak
|
||
Jumlah
|
10
|
100%
|
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada dasarnya
berpacaran saat remaja merupakan hal yang tidak baik karena secara usia dan
pesikologi seorang remaja belum siap, tetapi apabila hanya untuk mengenal
satu-sama lain dan dalam batas sewajarnya hal tersebut tidak apa-apa dilakukan
terutama untuk meningkatkan prestasi belajar mereka sendiri selain itu peran
orang tua dan guru sangat penting agar mereka tidak terjerumus dalam
prilaku-prilaku tidak baik yang ditimbulkan.
5.2 Saran
Dalam melakukan hubungan pada saat
remaja seperti berpacaran, hendaknya seorang remaja seperti kita hanya fokus
untuk belajar saja dan meraih cita-cita, menyadari dalam berpacaran usia
seperti kita ini selayaknya belum mencukupi dan belum matang untuk hubungan
yang lebih serius karena belum siap dalam berbagai aspek hal yang dibutuhkan.
·
Kepada
Siswa
Penulis menyarankan para siswa yang
berpacaran agar mengutamakan belajar dari pada pacaran. Karena belajar
merupakan kewajiban utama para siswa. Kemudian harus tahu bagaimana
batasan-batasan dalam menjalin hubungan terutama dalam berpacaran.
·
Kepada
Orangtua
Penulis menyarankan bagi para orangtua
siswa yang berpacaran agar mengingatkan anaknya yang pacaran untuk lebih fokus
belajar daripada pacaran dengan cara yang anak sukai dan dengan penyampaian
yang nyaman sehingga anak nyaman untuk melakukannya.
·
Kepada
Guru
Penulis menyarankan bagi para guru lebih
memperhatikan siswanya yang pacaran agar lebih mengingatkan siswanya untuk
lebih fokus lagi dalam belajar dibandingkan dengan pacaran dengan cara
yang disukai anak.